Minggu, 25 Maret 2012

Mental Baja



Beberapa orang muda bergegas dengan semangat tinggi.
Mereka bersiap-siap menyambut hari penting dalam hidup mereka:
Wisuda!


Wisuda berarti menandakan mereka telah menyelesaikan jenjang 'pendidikan' tertentu.
Wisuda berarti mereka sah menambahkan embel-embel baru di sekitaran nama mereka.
Wisuda berarti mereka bisa berfoto ria mengenakan pakaian badut aneh bersama keluarga.
Wisuda berarti mereka masuk kasta baru yang dihormati dalam masyarakat.
Dan bagi orang 'goblok' kuliahan, wisuda berarti hari kebebasan.
Bebas dari keharusan untuk ketemu dosen membosankan.

Jadi wajarlah kalau semua orang senang kelewat dosis.
(perhatikan bagaimana pendatang-pendatang kasta sarjana ini berekspresi!)

Tapi tak semua berwajah senyum, ketawa-ketiwi kelewat girang (tante girang kalah kalau soal girang lawan wisudawan). Ada beberapa kaum yang sepi, datar-datar saja wajahnya (menambah populasi mereka yang dianugrahi wajah datar-membosankan), penuh ketidak-hepi-an pokoknya. Mereka bukan kaum filsuf-perenung. Tapi saat-saat seperti ini mereka yang tak biasa berfilsafat-merenung-renung bisa luar biasa menjiwai sifat-sifat filsuf-perenung. Coba simak percakapan datar mereka:

"Kawan, apa yang akan kau lakukan habis wisuda ini?"

"Entahlah, Tommorow Never Knows...Bagaimana dengan kau?"

"Entahlah, Let It Be.."

(bayangkan ada lagu Yesterday-nya Beatles mengiringi percakapan tersebut)

Mereka bukan orang-orang yang pesimistis.
Perencana yang buruk mungkin iya (mungkin pula tak pernah merencanakan apapun).
Tapi mereka orang yang realistis, peresap-peresap kenyataan.
Mereka sadar kalau apa yang mereka pelajari di dunia kampus tak cukup membekali mereka untuk terjun dalam kenyataan masyarakat. 
Terlalu kompleks nan rumit persoalan-persoalan dunia nyata dibanding statistik dan rumus-rumus fisika-matematika-kimia dan apalagi dunia maya. Mereka orang-orang yang menghayati betul 'Sajak Anak Muda'-nya WS Rendra.

".....
Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,
dan bukan ilmu latihan menguraikan.

......"

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Namun begitu bolehlah saya (dan kita) acungi jempol terhadap mereka yang beranjak mempersiapkan diri menjelang hari esok meski Tommorow Never Knows. Mereka ambil pelatihan keras. Bentuk kedisiplinan tinggi. Olah fisik terus menerus. Bangun mental sekeras baja. Mereka tempa diri layaknya prajurit tahan banting.

Lalu setelah itu berbaris rapi dan berjalan long march sembari meneriakkan semangat:

"Mari Taklukkan Jakarta, Mari Taklukan Indonesia!".

Benar, kalau mau sukses di negeri ini taklukkanlah Jakarta.
Ribuan orang-orang yang berduyun-duyun ke sana pastilah mengamini itu.

Jakarta mensyaratkan orang-orang bermental baja (selain juga butuh kaum asketis pengabdi sosial-kemanusiaan). Tak bisa orang-orang mental besi, emas, perak, perunggu, alumunium. Bermental komposit karbon atau mungkin graphene tentu boleh. Begitu kata rekan saya si ahli metalurgi dan material masa depan.

Kalau tak begitu, siap-siap saja jadi korban pertempuran.
Pecundang digilas zaman.
Zombi-zombi rindu jiwa.
Jadi gila dalam arti sebenar-benarnya.
(Begitu kata rekan-rekan saya yang kabur dari Jakarta)
(Sekarang saya tahu kenapa warung-warung diskusi kami sepi. Peserta-peserta itu sedang bertempur di ibukota bersama jutaan pemuda-pemudi lainnya)
:(
:(

Tidak ada komentar:

Posting Komentar