Jumat, 13 Agustus 2010

Ketika Banda Lebih Berharga daripada New York

Seperti biasa hari-hari biasa, di sebuah Kamis siang 12 Agustus 2010 sambil duduk di ruang ber-AC jenuh menatap warna-warni CAD layar monitor akhirnya saya lebih memilih membaca koran  Kompas hari itu dan menemukan banyak tulisan-tulisan menarik utamanya halaman 8 yang kemudian menjadi permenungan sambil menunggu jam jatah internet sore hari untuk menuliskannya dalam status fesbukk yang senantiasa kosong menganggur itu status fesbukk tidak seceria status kawan-kawan fesbukk yang senantiasa ceria-narsis ala ABG labil. (sungguh! membosankan menatap layar hitam dihiasi garis warna-warni tiap hari seminggu full!)

Berikut perihal yang nyangkut di kepala saking menggugahnya isi tulisan itu :

========================================================

Pada suatu masa, Pulau Run, sebuah pulau kecil di kepulauan Banda, Maluku, bernilai lebih tinggi daripada kota New York di Pulau Manhattan yang kala itu dinamakan Nieuw Amsterdam.

(Melanjutkan tulisan FB hasil bacaan Kompas Kamis kemaren yang terintrupsi bos) 

Kala itu, abad ke-17, daerah rempah-rempah merupakan rebutan negara-negara maju di zamannya, utamanya Inggris vs Belanda (sekantung karung rempah bernilai lebih mahal dari sekantung emas dengan berat yang sama). Belanda menguasai kepulauan Banda, tapi Pulau Run dipegang Inggris. Sementara Inggris menduduki sebuah wilayah luas di Amerika, tapi Nieuw Amsterdam masih dikolonikan Belanda.
Akhirnya dibarterlah. Inggris dapat Nieuw Amsterdam dan diubah menjadi New York. Belanda, yang senang luar biasa, dapat Pulau Run (makin lengkaplah koleksi Belanda di Nusantara) ditambah bonus Suriname.
Selepas revolusi industri New York makin makmur karena penjualan-penjualan produk akhir yang langsung dinikmati konsumen ataupun mengembangkan sektor jasa. 

Sementara Banda, seperti bagian lain dari Republik Indonesia, masih mengandalkan ekonomi dari menjual bahan mentah dan tidak menambah nilai ekonomis hingga jadi barang siap konsumsi. Pala, cengkeh, karet, kina, teh, kopi, semua dijual dalam produk mentah demi segera mendapat keuntungan yg tidak seberapa. 

Selanjutnya, produk siap konsumsi kembali diimpor bangsa Indonesia dengan harga lebih mahal!
Dan kini setelah 3 abad lebih Kepulauan Banda menjadi semakin sunyi sedangkan New York menjadi salah satu pusat perdagangan dan kebudayaan dunia.
Begitu kira-kira, pelajaran sebuah ironi sejarah.

(Pantes!!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar