Senin, 29 Juli 2013

Catatan Senin Dini Hari


Sehabis pulang kumpul-kumpul sambut kawan yang 'resign' dari biro arsitek besar di Jakarta, saya lihat bapak tua duduk di parkiran Indomaret Sumurboto. Bapak itu terlihat kelelahan. Dia berjualan kerupuk dengan berkeliling jalan kaki. Kelihatannya dagangannya hari ini kurang sukses. Kerupuk-kerupuknya masih bertumpuk. Sempat saya lihat bapak itu tertidur. Mungkin dia sudah tak bisa tahan kantuk. Maklum ini sudah tengah malam. Lalu, dengan pelan, bapak itu terbangun. Dua anak muda beli beberapa plastik kerupuknya.

Saya kasihan, tapi juga senang karena lihat ada yang beli kerupuknya. Saya tidak ikut beli. Saya cuma berpikir kami yang tadi kumpul lebih beruntung dari bapak itu. Sambil lalu saya merenung kami seharusnya bersyukur. Entah bagaimana  rasanya kalau saya sendiri di posisi bapak itu: "tak bisa 'resign' dari pekerjaan."

Jumat, 26 Juli 2013

FPI dan Pesawat Penyelamat



Kita tidak akan pernah menjangkau angkasa luar, 
apalagi bikin koloni menghindari bumi kiamat, 
kalau waktu kita masih dihabiskan buat urusi simbol-simbol 
dan berperilaku seolah kebenaran mutlak sudah kita pegang erat-erat.
- - -

Selasa, 16 Juli 2013

Perpus


Dulu, sekitar 6-7 tahun lalu, saya pernah ke perpuswil di jl. Sriwijaya Semarang. Saya disambut sikap tak ramah pegawai di resepsionis ruang baca. Dengan muka cemberut dia suruh saya tinggalkan tas pinggang mungil isi alat tulis yang selalu melekat di badan saya. Sejak itu saya gak mau lagi ke perpus yang ternyata koleksinya dan suasananya gak bagus-bagus amat.

Siang tadi saya ke perpus Unika Soegijapranata. Sudah sering saya nongkrong di sana terutama di lantai 5. Biasanya gak ada yang permasalahkan atribut standar saya: rompi angkut serba-guna. Tapi siang tadi seorang ibu yang tugas jaga suruh saya lepas rompi sambil tunjuk untuk isi kotak daftar pengunjung yang sebetulnya gak pernah ada yang hirau. Katanya, dengan sikap gak asik, rompi saya bisa aja buat selundupin buku perpus. Untung saya sabar dan cinta damai. Kalo tidak, ibu resek itu sudah saya tendang pantatnya. Apalagi kalo dia gak perlakukan hal yang sama buat walikota atau gubernur yang juga berompi safari.

Yang saya gerundelkan sebetulnya adalah sikap tidak ramah pegawai-pelayan tadi. Mentang-mentang yang dilayani tampilannya kayak penjual koran keliling tapi harusnya sikapnya tetaplah ramah murah senyum penuh simpatik meski sedang memberi peringatan. Apalagi ini di tempat di mana pemerintah dan berbagai pihak mati-matian bikin ajakan untuk berkunjung ke situ untuk memanfaatkan koleksi bacaannya. Kalo tak terpaksa karena tugas kuliah, perpus kampus ini saya yakin bakal sepi-mati. Udah ruangannya suram, koleksinya itu-itu saja, internetnya lambat, pelayannya bikin pengunjung ingin tendang pantatnya. Payah.. payah..

Ini beda dengan toko buku-toko buku besar di kota kita. Saya sering ke Gramedia. Di kota manapun selalu saya sempatkan ke toko buku itu kalo ada. Biasanya saat masuk saya cuma titip tas gantung dan jaket di penitipan. Rompi dan tas pinggang tetap saya pakai. Tapi kadang-kadang pelayannya suruh saya tetap pakai atribut ribet itu. Mungkin karena kasihan ngelihat saya keribetan mau lepas atribut-atribut itu. Di toko buku Gunung Agung pun begitu. Pelayanan toko buku-toko buku itu ramah-ramah. Sering mereka tawarkan tas belanja ketika melihat saya genggam banyak buku. Sistem informasinya juga bagus. Kalo ada buku yang dicari tapi tidak ketemu atau habis stoknya maka mereka siap pesankan dan hubungi kalo buku itu datang. Sering saya berlama-lama di toko buku, ngadem sambil bolak balik isi buku, dan pelayan-pelayan tetap senyum ramah gak cari-cari masalah. Kalo mau tutup juga tidak perlu sampai pasang muka usir pengunjung. Cukup musik lembut yang orang sudah tahu artinya: ini saatnya pulang dan bobok.

Toko buku 'terbatas' macam Aksara di Kemang, Jakarta, juga asik. Buku-bukunya bermutu, langka, apalagi kalo berhubung dengan arsitektur dan desain macem-macem. Musiknya juga gak umum-pasaran tapi enak buat telinga dan pikiran progesif kita. Pengalaman berkunjung ke situ makin kaya dengan suasana ruang yang ditata apik. Nah, ini yang bikin saya selalu senang ke sana: pelayannya anak-anak muda dan cantik-cantik plus ramah murah senyum. Modis-cantik khas anak urban-kampus metropolis Jakarta. Ini bikin saya jadi ingin berlama-lama urus transaksi di kasir seolah-olah banyak betul urusan terkait beli buku, beda dengan di meja pemerintah yang bawaannya serba ingin cepat-cepat selesai tapi malah di lama-lamain oleh pemerintah.

Itulah beda antara perpus pemerintah, perpus kampus, dan toko buku baik besar kecil. Bahkan kios buku pun penjualnya lebih ramah dan simpatik dibanding perpus besar pemerintah yang sepertinya malas berubah karena sudah merasa besar dengan menyandang nama pemerintah. Kalo saya walikota, gubernur, mentri, apalagi presiden, bakal saya tendang itu pelayan-pelayan perpus tua-cemberutan-arogan, apalagi yang berani larang saya pakai rompi. Perpus-perpus perlu modis, cantik, dan segar, tentu terutama pelayannya.

Mungkin nanti setelah pantat pejabat-pejabat purba di pemerintahan kita tendangi baru perpus-perpus kita bisa begitu.