Rabu, 29 Agustus 2012

TAK PAKAI CELANA






Orang yang menganiaya orang lain berdasar agama, kepercayaan, dan pembenarannya sendiri seperti orang yang tak pakai celana sambil teriak yang lain tukang memalukan.

Dan orang yang diberi kekuasaan-wewenang untuk mencegah itu terjadi tapi tak menjalankan sepenuhnya namun tetap penuh kebanggaan segala atribut kekuasaan-kewenangan itu seperti orang datang kondangan lupa pakai celana tapi tetap naik ke panggung kehormatan sambil tebar senyuman-senyuman.


Serba memalukan tapi tak sadar malu.

- - -

Dan orang yang serba diam saja, apatis-cuek, seolah aman-aman tak ada masalah?

Ah, kalau itu sih orang-orang normal saja, pakai celana, yang ingin maju tapi serba malu-malu seolah malu adalah hal paling menakutkan di dunia sehingga buat apa bertindak ini-itu.

Duh, padahal yang paling menakutkan sebetulnya bukanlah itu kalau mengingat apa yang dibilang Johann Wolfgang von Goethe:

"There is nothing more frightful than ignorance in action."

(Goethe ini jelas tipe orang pakai celana yang ingin maju dan tak perlu malu-malu untuk itu)

- - -

Jadi mari kita mengheningkan cipta, merenung, berdoa, menurut agama, kepercayaan, dan suara bening hati kita masing-masing untuk para korban pembenaran serta guna langkah-langkah menemukan kebenaran universal sesungguhnya (bukan pembenaran masing-masing).

Menanggalkan dogma-dogma............ Dimulai!!

-----------------------------------------------------------------------------------------------

(sekedar keprihatinan tentang kekerasan yang senantiasa dan baru saja terjadi di negeri ini yang mengatas-namakan keyakinan)

Minggu, 26 Agustus 2012

Kapal Induk dan Kapal Selam


Kapal induk tidak pernah berlayar sendirian.
Dia selalu ditemani segerombolan kawan.
Tak pernah sepi mengarungi samudra.
Simbol supremasi kekuatan dan kebanggaan.

Tapi tanpa kawan ia tak berani berlayar.
Lebih baik diam di pangkalan darpada jadi sasaran empuk lawan.

Kapal selam senantiasa berlayar sendiri.
Menyelam dalam senyap-gelap lautan.
Tidak siang tidak malam mencari kedalaman.
Bergerak jauh seorang diri menembus batas-batas lawan.

Nasib kapal selam memang buka jalan untuk kawan.
Siap tenggelam tanpa kenal nama.
Tapi kapal induk tak boleh tenggelam.
Sekali tenggelam hilang negara punya nama.

- - -

Siapa mau jadi kapal induk?
Siapa mau jadi kapal selam?

(atau lebih enak kerumunan gerombolan?)

Rabu, 15 Agustus 2012

Me-ROKOK


Sabtu, 11 Agustus 2012.
Izinkan saya bercerita (mungkin mengeluh lebih tepatnya) soal kejadian pada sore (berangin) itu.

Patut disyukuri bahwa Pulau Bali memiliki banyak sekali agenda bermutu tapi (nah, yang paling disyukuri) gratis. Bagi orang-orang yang tak punya 'kerjaan' di malam Minggu tentu ini berkah (puji syukur sekian kali lipat!). Salah satu dari sekian agenda 'berkah Tuhan' itu adalah membahas novel. Ini novel sejarah dengan tema cukup serius: Tragedi '65 di Republik tercinta ini. Serius temanya (yang juga 'seksi' karena penuh misteri) tapi pop dalam cara saji (dengan bumbu yang juga seksi-seksi juga di novel itu). Apalagi pengarangnya adalah jurnalis-budayawan yang tulisannya di harian edisi Minggu enak-renyah betul dibaca. 

Oh, tentu pasti saya tempatkan sebagai agenda prioritas sejak panitia membocorkan info ini jauh-jauh minggu. Apalagi panitia empunya tempat yang rutin gelar berbagai agenda budaya amat aktip-agresip dalam mengajak massa. Kalau perlu mereka telpon satu-satu para pemilik nomor telpon agar datang hingga terbentuklah massa. Hebat betul taktik gerilyanya!

Saya aktip-agresip juga ajak teman-teman. Ini agar berkah 'kemerdekaan' dapat ilmu bisa dirasakan juga oleh kalangan lebih banyak dan lebih luas agar kemerdekaan tak dinikmati sendiri karena merdeka bersama-sama lebih membahagiakan (sesungguhnya juga agar saya dapat tumpangan dan teman obrolan selama ke sana dan di sana). Tapi gagal misi ajakan saya (teman-teman serba sibuk bahkan di malam Minggu) dan hukumannya ya saya ke sana sendirian.

Pukul 19.00 WITA sampai di TKP (Tempat Kejadian Perhelatan) setelah 30-an menit kayuh sepeda 'gerilya' senjata andalan mobilitas sehari-hari. TKP budaya biasanya masih masih sepi saat acara seharusnya dimulai (sehingga molor 1 jam). Tapi kali ini ramai betul. Halaman parkir di muka sudah penuh mobil dan benarlah dugaan dini bahwa yang datang adalah orang-orang cukup terpandang dalam ranah seni-budaya-sosial. Terlihat yang generasi tua ngumpul bentuk grup obrolan. Yang generasi muda juga ngumpul bikin grup obrolan gaul. Yang tua merasa muda dan yang muda tapi ketuaan juga aktip ngobrol sana-ngobrol sini (Tapi secara keseluruhan TKP sore ini dipenuhi yang tua-tua. Yang muda-muda lebih senang pacaran entah di mana, mungkin.)

Banyak yang mengobrol sambil ditemani cemilan dan minuman. Dan tidak lupa sesuatu yang seperti wajar ada di kaum-kaum seniman: Rokok (kalau bir belum terlihat. Tapi nanti ada). Ya, asap menghiasi suasana malam pesta taman tempat novel & tragedi '65 akan dibahas. Masih wajar. Tak ada tanda larangan merokok, ini di ruang terbuka, acara belum dimulai, dan ini kumpulan seniman-budayawan-penggiat sosial. 

Tapi jadi tak wajar kemudian. Ternyata ada anak-anak dan itu asap-asap masih saja terus mengebul dari mulut-mulut peserta hajatan saat acara menarik itu dibuka dengan film dokumenter. Seorang cewek muda yang saya tahu seorang penyanyi berbakat sebaris dengan saya di tangga ampiteater depan dengan enaknya mengebul-ngebul seolah sedang berada di tengah kebakaran hutan sehingga mungkin menurutnya terasa wajar asap-asap itu mengudara dan terekspor ke wilayah saya (angin mengarahkan begitu). Padahal ada anak perempuan kecil yang mondar-mandir penuh keriangan dekat situ seolah sedang berada di padang rumput maha luas tanpa batas. Eh ternyata di deretan kursi di belakang kami juga ada sosialita, tante necis-genit-penuh pede tingkat tinggi (dari caranya berbicara dan bersikap akan segera mengorbitkan dirinya dari sekian genangan massa), yang juga aktip-agresip ngebul-ngebul asap bikin mulutnya kayak cerobong pabrik jadul giat kejar setoran tanpa peduli lagi sama lingkungan.

Dan ternyata si pabrik jadul itu adalah tante yang cukup ternama pemilik beberapa galeri (termasuk di Paris!) yang aktip gelar perhelatan seni di mana-mana dan yang malam itu didaulat membacakan sepenggal kisah dari novel '65 yang seksi itu (benar, penuh kisah sex!) sambil diiringi permainan biola yang indah dari anak perempuan, usia SMP tapi amat berbakat, yang tadi duduk di dekatnya. Nyaris saja tante itu bawa cerobong asap, maksudnya rokok, ke panggung beralam terbuka itu dan mengebul-ngebul. Tapi tetap saja 'asap kebakaran hutan' yang diekspor cewek muda penyanyi berbakat masih menguasai pandangan saya ke panggung alam terbuka dan merusak kesenangan saya dalam menikmati pentas si tante dan si anak perempuan pemain biola. Entah yang lain terganggu juga atau tidak. Tapi yang jelas anak perempuan kecil yang mondar-mandir penuh keriangan dekat situ (seolah sedang berada di padang rumput maha luas tanpa batas) sepertinya tak terganggu karena masih saja beraksi begitu (kali ini sambil foto sana-foto sini). 

Pembahasan novel dan tragedi '65 oleh pengarang yang jurnalis-budayawan yang ditemani sahabatnya yang ilmuwan-peneliti-penggiat sosial dan dipandu moderator yang penyair sekaligus 'empunya' TKP jadi tak beroleh porsi besar lagi dari pikiran saya. Harus diakui bahwa sesungguhnya memang bermutu hajatan budaya malam itu (apresiasi juga untuk perserta yang aktip berinterasksi) selain juga karena temanya yang bagus (serius tapi seksi karena penuh misteri). Hanya memang harus diakui juga pikiran saya justru bermain-main soal betapa tak bermutu budaya adi-luhung itu orang-orang yang mengebul-ngebul asap tak peduli lingkungan sekitar, parahnya di dekat anak-anak kecil yang memang masa lagi gemar-gemarnya dalam meniru orang yang lebih berumur darinya. Saya malah teringat seorang teman 'jauh' yang hobi merokok tapi puasa itu di depan anaknya demi memberi teladan sebagai ayah yang baik. Teman saya itu mungkin tak seseniman-budayawan-penggiat sosial seperti yang melekat diakui (masyarakat luas) ada pada hadirin yang saya lihat saat itu tapi kepekaan hati dan jiwanya atas keberadaan orang serta lingkungan sekitarnya bolehlah (kita) acungi jempol punya kualitas seniman-budayawan-penggiat sosial. Itu dari aksi sederhana tak merokok di dekat anak kecil (anak siapapun itu). Harap maklum dan maafkan kalau rasa bersyukur saya berkurang atas berkah agenda malam Minggu ini. Amat sedih memang bahwa itu terjadi di tempat dan agenda berlabel 'budaya'.

Saya memang tak sepercaya diri partner gerilya saya (sayang sekali dia tak datang) yang pasti akan menegur langsung orang-orang itu. Seperti kata-katanya bahwa dia maklumi mereka-mereka yang bersenang-senang dengan mabuk, rokok, dan sebagainya asal itu tak mengganggu orang lain apalagi mengedukasikan 'senang-senang' itu pada mereka-mereka yang lain yang tak mengenal 'senang-senang' itu. Jadilah sikap saya diam tak berani peringatkan atau larang-larang (sekali lagi harap maklum saya ini minderan). Tapi tim gerilya di otak tak pernah tinggal diam (harap maklum mereka selalu suka bersiasat main belakang).

Pukul 22.30 WITA sambil kayuh sepeda 'gerilya' pulang melalui malam berangin kencang bergerilyalah pula pikiran untuk membalas itu kelakuan-kelakuan bikin pahit kenyataan.

Saya berimajinasi meremuk itu orang-orang dengan asap kendaraan, yang wah, amat tak ramah lingkungan!).



Ya, harap maklum senjata saya cuma imajinasi. 
Silakan saja cara kawan-kawan...