Sabtu, 31 Desember 2011

WELCOME 2012



Minggu, 25 Desember 2011

Selamat Natal 2011



Teman-teman....



Juga..

Jumat, 09 Desember 2011

Apakah Anda Bangga Bangsa Ini Menempati Urutan Atas Pengguna Jasa Komunikasi Maya?


Kliping
Jumat 10:00 pagi, 09 Desember 2011. Baru pulang setelah deadline dan sempat beli koran Kompas. Lihat TV dan ada JK di KompasTV. JK untuk 'Jalan Keluar' sekaligus 'Jusuf Kalla', si pemandu acara. Mereka bahas soal potensi pertanian. Isinya memilukan. Impor, impor, impor. Yang amat memalukan adalah kita impor beras, ikan, garam, dan buah. Memalukannya lagi bahwa kita impor pertanian-pertanian dari India dan Pakistan yang kering dibanding kita yang subur. Banyak sentilan dari JK yang khas itu. JK bilang kantor-kantor kita lebih besar dari kantor negara-negara tetangga. Lalu insinyur-insinyur pertanian kita lebih suka berkantor daripada bersawah. Jadinya kita serba impor. Semua tertawa. Benar itu (dan saya berpikir pasti bangga arsitek-arsitek arsitektur perkantoran kita).

Acara selesai lanjut ke koran di tempat tidur. Banyak sekali artikel bagus dari koran yang selalu tebal di hari Jumat. Lagi-lagi bertemu hal senada dengan bahasan berbeda. Ini tentang kebodohan. Juga tentang makna sebuah kebanggaan. Tema ini terus berputar-putar dalam tidur hingga ke meja studio siang harinya. Kita makin lama makin bodoh. Mungkin setidaknya makin dangkal. Dan orang dangkal senang membanggakan diri. Narsis? Siang itu saya kliping saja. Itulah kerjaan sisa siang di studio. Buat jaga-jaga perlu juga kliping digital. Banyak betul. Tapi demi tidak bodoh. 
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


"Kalau perlu, barusan buang angin pun diberitahukan ke seluruh dunia. Untuk bisa selalu update, orang terus-menerus memelototi Blackberry.
Apanya yang harus dibanggakan dengan itu semua?"


- Bre Redana -


Kompas, Jumat, 09 Desember 2011
------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------


HIPERKONSUMERISME, HIPERTEKS, HIPERMEDIA

Oleh: Bre Redana

Apakah Anda bangga bangsa ini menempati urutan atas pengguna jasa komunikasi maya? Sebagai pengguna Facebook terbesar kedua di dunia, terbesar ketiga untuk Twitter. Pengguna telepon seluler meningkat pesat dari tahun ke tahun. Lalu, sejumlah orang terinjak-injak ketika mengantre Blackberry yang dijual separuh harga di Pacific Place, Jakarta. 

Kamis, 08 Desember 2011

(Konflik) CAD Interior Menjenuhkan Di Akhir Tahun


Bagaimana Israel tahu kapan negara-negara tetangganya yang besar-besar itu akan menyerang? Gampang. Israel tinggal mengamati hiruk pikuk di rumah sakit-rumah sakit, toko-toko obat, gudang-gudang makanan, dan dapur-dapur umum negara-negara itu. Mossad (intelijen luar negeri Israel) tak perlu pakai teknologi canggih dan bermahal-mahal. Cukup laporan pandangan mata sederhana dari para pekerja biasa di tempat-tempat itu.

Kira-kira begitu juga yang terjadi di kantor-kantor di negeri ini. Termasuk juga di markas-markas dimana prajurit bersarang. Gampang jika awam ingin tahu kapan pertempuran-gila terakhir berlangsung atau bagaimana suasana batin-tugas di situ. Cukup amati hiruk pikuk benda-benda khas penghuninya. Apa mereka ada pada tempatnya atau tidak. Sebagaimana situasi serba darurat maka segala posisi umumnya serba kacau tak pada tempatnya. Gambaran sama untuk kota-kota kita sejauh ini. Serba darurat. Serba siap perang. Semua kacau. Benda-benda tidak pada tempatnya. Semua itu yang seperti kita tahu.

Cobalah berkunjung ke Markas BDS Bali penghujung akhir tahun ini. Mungkin banyak temuan menarik yang bisa menggambarkan dengan jelas suasana serba darurat siaga perang khas penghujung akhir tahun. Foto hal-hal sederhana berikut, yang diambil minggu pertama Desember 2011, mungkin cukup mewakili tanpa perlu tahu jadwal tugas yang mendekati kegilaan itu. Bahkan mungkin sudah melampaui. 

Sisa makanan

Kamis, 01 Desember 2011

Bapak Tua Kurus


Bapak Tua Kurus, Jalan Hayam Wuruk Denpasar, 29 November 2011.
Barusan saja, selagi sendirian menunggu teman di teras kafe, 
lewat seorang bapak tua kurus di tengah hiruk pikuk jalanan Hayam Wuruk Denpasar.
Bawa karung, memikul cangkul, tanpa sandal, tampak letih dan lusuh. 
Kelihatannya dia sudah bekerja keras dan berjalan kaki jauh hari ini.

Bapak tua kurus itu berhenti, menurunkan cangkul, menarik napas sejenak. 
Coba saya tawari makan dan minum. 
Tapi bapak tua kurus itu menolak. 
Dia lebih pilih lanjutkan jalan. 
Mungkin merasa itu bukan haknya. 
Seandainya dia mengemis, pasti banyak yang mau memberi. 
Tapi dia malah menolak pemberian. 
Ini aneh untuk zaman ini.

Iya juga. 
Mungkin bapak tua kurus itu kira ada alien ujug-ujug muncul. 
Alien yang coba tawari suatu eksperimen luar angkasa. 
Sesosok berpakaian aneh untuk zaman ini.
Tapi memang bolehlah salut bahwa bapak tua itu mau bekerja keras.
Mengambil hasil yang memang haknya lalu pulang ketika waktunya.  
Terus berjalan kaki tanpa istirahat untuk perjalanan yang jauh. 
Pikirannya fokus bahwa masih ada keluarga menanti di rumah.

Seperti pula anak-anak muda yang bekerja keras seharian.
Mereka buru-buru pulang dengan mobil atau motor. 
Mereka ingin berkumpul dengan keluarga atau pacarnya.
Pantaslah jika semua berebut adu cepat di jalanan kota.

-------------------------------------------------------------

Masih sendirian menunggu teman di teras kafe.

Memandangi jalanan yang makin hiruk pikuk.
Sambil sesekali melihat jam, berpikir-pikir sedang dimana teman-teman.
Seharusnya sejam lalu sudah di ruang acara. 
Menikmati diskusi-diskusi, berkenalan dengan Taman 65.
Ikut berpesta mengapresiasi buku baru.
Tapi dimana teman-teman karena kalau sendirian tak tahu jalan ke sana.

Seandainya saya jadi bapak tua kurus itu mungkin tak perlu gelisah soal buku-buku.
Bapak tua kurus kelihatannya tidak seberuntung itu.
Tidak seperti kita-kita yang punya kesempatan merayakan buku-buku.

GERILYA

Ini materi untuk Bali Creative Festival 2011.

Senin, 21 November 2011

Buah Lokal Gak keren, Ayo Bikin Keren!


Saya bukan maniak makan buah.
Juga bukan pemerhati buah-buahan.
Kalau beli buah pun tidak peduli asal-usulnya.
Yang penting bagus, enak dimakan, harga terjangkau.

Tapi suatu hari saya baca ulasan utama Kompas hari Minggu, 16 Oktober 2011.
Tentang buah lokal yang kalah dengan buah impor.
Rasanya miris betul baca ulasan di situ.
Lagi-lagi menambah informasi serba aneh negeri ini setelah sebelumnya soal impor garam, impor ikan, impor BBM!
(belum lagi soal impor pria-wanita bule untuk perbaiki garis keturunan)

Tapi sekali lagi, saya bukan ahli buah-buahan.
Juga bukan ahli garam-garaman, apalagi ikan-ikanan.
Makan buah pun kadang-kadang dan itu pun bukan beli di pasar rakyat tapi supermarket pakai AC.

Jadi jangan berharap tinggi-tinggi tentang saya ketika menyodorkan hal-hal beginian. Saya bukan malaikat atau aktivis nasionalis serba ketat. Jadi tenang saja. Saya cuma baru bisa bikin gambar dan cuap-cuap.

(sengaja artikel Kompas cetak digital tersebut disalin ulang disini (Buah Lokal Yang Terjungkal, Manggis Si Ratu Buah Tropisagar tidak lupa dan tidak hilang. Maklum juga bahwa Kompas cetak digital ini tidak bisa diakses sebebas (musti langganan) dan terarsip selama dulu. Cepat sekali lupanya, maksud saya hilangnya artikel tersebut)


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Sekarang kalau saya pikir,

makan buah 'made in' lokal saja tidak tidak cukup.
Kelihatannya perlu usaha-usaha ekstra terkait pertarungan buah-buahan ini.

Saya pikir-pikir dan membayangkan 

anak-anak muda kreatif yang tidak hanya makan buah saja.
Lebih jauh, mereka bisa membantu penyuluhan tentang buah yang baik.
Lebih jauh lagi, mereka bantu sistem pemasaran dan distribusi buah.
Dan lebih jauh nan asik lagi, mereka menggerakkan aksi-aksi berkebun di kota.
Tanam buah sendiri, panen sendiri, makan sendiri (rame-rame tentu boleh).
Penghijauan kena, olahraga kena, ekonomi kena, sosial kena, soal gizi pribadi pun kena.

Bayangkan, anak-anak muda kreatif ini tidak sekedar makan

tapi bisa bikin buah ini jadi keren di tiap kepala kita.
Masukkan ke film, 
masukkan ke musik, 
masukkan ke kartun, ke kaos, 
branding-branding-branding, 
kemas-kemas-kemas, 
dan lain-lain-lain keseharian khas anak muda.

Selain tentu saja pendampingan petani-tukang buah agar buah-buah itu sendiri benar-benar berkualitas. Buah lokal yang keren dan memang benar berkualitas.


Ayo Kita bikin!

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tapi sekali lagi,

jangan berharap tinggi-tinggi dari saya ketika saya menyodorkan hal-hal ini. 
Saya bukan malaikat atau aktivis nasionalis serba ketat.
Bikin-bikin beginian mungkin biar saya tak kalah keren saja dengan nasib buah-buah impor.
Maklum jarang makan buah.

(Silakan yang ingin terlibat lebih jauh menyimak ulasan di sini >> 
http://akarumput.com/en/category/urban-farming/)




Buah Lokal Yang Terjungkal, Manggis Si Ratu Buah Tropis



”Bahkan ada pandangan doanya lebih sampai kalau menggunakan buah impor ketimbang buah lokal,”

- I Ketut Sumadi -

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tentang nasib buah lokal.
Ini tema harian Kompas hari Minggu, 16 Oktober 2011.
Saya baca ini dan Senin pagi saya tulis status fesbuk soal ini.
Saya tulis begini:

"Ini lucu banget deh. Ada pandangan (di Bali) bahwa doa akan lebih sampai kalo sesajinya menggunakan buah impor ketimbang buah lokal. Juga kenyataan negeri paling subur di dunia dengan keanekaragaman buah tropis paling kaya ternyata di pasaran dalam negeri isinya buah impor. Bahkan buah pengembangan orang2 hebat dalam negeri pun dinamai sesuatu yang berbau asing agar dianggap buah impor."

Dan seperti yang saya duga bahwa ini menarik perhatian dan menjadi bahan diskusi panjang di kolom komentar. Hanya sayang bahwa teman-teman itu belum sempat membaca artikel lengkapnya dan kesulitan membuka Kompas Cetak versi digital dari komputer markas untuk membagi tulisan tersebut.

Berikut ini dua tulisan diantaranya dari harian Kompas hari Minggu, 16 Oktober 2011.

(harap maklum saya baru bisa meneruskan artikel-artikel dan mengingatnya dengan bikin gambar (Buah Lokal Gak keren, Ayo Bikin Keren). Belum bisa melakukan lebih jauh di lapangan soal cinta tanah air. Tas punggung National Geographic yang sering saya pakai saja ternyata buatan China sebagaimana diberitahu teman saya)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

BUAH LOKAL YANG TERJUNGKAL

Lihatlah sekeranjang buah atau tataplah deretan buah di balik etalase toko. Menggiurkan, menggoda mata, dan menggugah selera. Ah, sayang di negeri kaya ini, buah cantik dan menggiurkan itu kebanyakan buah impor.

Di supermarket premium Ibu Kota hingga ke pasar kota kecamatan di banyak daerah, buah-buahan impor mudah didapat. Saat mengantar buah untuk kerabat pun, buah impor lebih kerap dipilih. Kombinasi apel, pir, anggur, dan jeruk, misalnya -sebagian besar buah impor-ditenteng Dewi (34), pegawai negeri sipil di Kota Solo, Jawa Tengah, untuk buah tangan bagi relasi kantor.

”Kalau untuk relasi, tampilan buahnya penting. Nah, yang tampilannya enak dilihat, kan, buah impor. Kalau untuk dimakan sendiri di rumah, lebih penting rasa dan kandungan gizinya, itu biasanya saya pilih yang lokal,” ujar Dewi.

Buah impor tidak saja memasuki ranah konsumsi, tetapi juga menusuk ke dalam hal yang lebih substansial, seperti ritual. Di Bali, kini sebagian warga lebih suka menggunakan buah impor sebagai bahan sajen dalam upacara. Dikatakan oleh dosen Institut Hindu Dharma, I Ketut Sumadi, jika mempersembahkan buah impor, warga merasa sesajinya lebih ”berkelas” karena buah impor biasanya lebih mahal ketimbang buah lokal. Secara sosial, jika persembahan lebih mahal, yang mempersembahkan pun merasa ”kelas” sosialnya lebih tinggi.

”Bahkan ada pandangan doanya lebih sampai kalau menggunakan buah impor ketimbang buah lokal,” kata doktor kajian budaya dari Universitas Udayana, Denpasar, itu. Padahal, inti persembahan kepada Tuhan adalah dengan tulus mempersembahkan apa yang kita miliki, berarti juga apa yang tumbuh di sekitar kita.

Namun, perubahan lingkungan seolah tak sejalan lagi dengan ajaran itu. ”Banyak tanah sudah berubah jadi rumah, tidak mungkin menanam buah atau bunga lagi. Jadi, mereka semua membeli sekarang. Saat itulah hukum pasar berlaku. Di pasar, buah impor dominan, itulah yang dipersembahkan,” ujar Sumadi.

Di luar lingkup rumah tangga, buah-buahan juga menjadi bahan baku industri makanan dan minuman. Di Indonesia, industri ini berkembang baik. Namun, dalam skala besar industri, buah-buahan -atau konsentrat buah- yang jadi bahan baku pun diimpor.

”Untuk minuman ringan sari buah yang diproduksi perusahaan besar, hampir semua bahan bakunya impor karena kontinuitas pasokan harus terjamin. Standardisasi juga ketat, tidak bisa rasa asam dan manisnya beda tergantung musim,” ujar Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Franky Sibarani.

Buah-buahan impor yang menjadi bahan baku industri ini umumnya dihasilkan perkebunan besar, bukan kebun rakyat. Pada perkebunan besar, sentuhan teknologi diaplikasikan dari penanaman hingga pascapanen sehingga kontinuitas pasokan serta standardisasi rasa dan bentuk buah bisa didapat.

Tersisih

Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau yang dikelilingi lautan, mempunyai curah hujan tinggi dan cahaya matahari sepanjang tahun, ditambah tanah vulkanik yang subur. Karena itu, keanekaragaman hayati di negeri ini amat kaya, juga untuk buah-buahan tropis.

”Dalam perdagangan internasional, buah-buahan tropis kini tengah ’naik daun’ alias menjadi tren,” kata Ketua Komite Tetap Pengembangan Pasar Pertanian Kadin Indonesia, Karen Tambayong. Membuktikan hal itu, pada 2010, permintaan pasar dunia untuk buah-buahan tropis ditaksir meningkat 87 persen.

Karena itu, menjadi ironi apabila buah-buahan Indonesia - jangankan dikenal luas di pasar dunia - menjadi tuan rumah di negeri sendiri pun belum. Padahal, buah-buahan lokal ini bisa ”menang” dalam urusan rasa. Nilai gizinya juga lebih baik karena tidak melalui penyimpanan lama atau pengawetan yang menurunkan kualitas.

Buah-buahan impor umumnya bisa disimpan enam bulan hingga setahun. Bentuk luarnya dapat dipertahankan dengan lapisan lilin atau teknik penyinaran, tetapi vitaminnya merosot.

”Buah impor berkualitas tinggi juga ada di Indonesia, tetapi bukan yang dijual murah sampai ke pasar-pasar kecamatan karena harga buah impor berkualitas bagus yang tidak disimpan lama itu mahal,” ujar Reza Tirtawinata, Kepala Divisi Laboratorium dan Riset PT Mekar Unggul Sari yang mengelola Taman Wisata Mekarsari, Bogor.

Selain lebih segar, beberapa buah tropis juga terbukti lebih unggul kandungan vitaminnya dibandingkan buah subtropis. Kandungan vitamin C dan vitamin A pada buah mangga lokal, misalnya, lebih tinggi 10 kali lipat dibandingkan apel impor.

Akan tetapi, buah-buahan lokal kerap kalah ”cantik” dari buah impor. ”Bagaimana bisa cantik kalau pisang dibawa dari kebun dengan ditumpuk-tumpuk dalam truk, ditekan-tekan pula supaya padat,” ujar Reza.

Durian Petruk

Selain soal penampilan, ketersediaan pasokan buah-buahan lokal untuk pasar dalam negeri pun belum mencukupi. Di Rumah Durian Harum, Jakarta Barat, misalnya, setiap hari terjual 500-600 durian. Sebagian besar jenis montong yang diimpor dari Thailand karena jenis durian ini pasokannya paling banyak sepanjang tahun dan sudah populer.

”Durian lokal sebenarnya juga ada, tetapi stoknya enggak bisa banyak dan jenisnya berbeda-beda tergantung musim. Durian petruk, misalnya, sebenarnya berkualitas paling bagus, paling mahal, dan laku, tetapi paling lama hanya ada sebulan dalam setahun. Itu pun setiap harinya enggak bisa tersedia banyak,” kata Alan, kepala toko khusus durian ini.

Di toko swalayan premium seperti Kem Chicks Pacific Place, Jakarta, yang konsumennya lebih banyak orang asing, buah tropis lokal sebenarnya diminati. ”Kami memang menyediakan tempat khusus untuk buah lokal karena peminatnya tak kalah dengan buah impor. Ke depan, kami bahkan akan memperbanyak porsi buah lokal,” kata Manajer Toko Kem Chicks Pacific Place, Fofo.

Buah lokal berkualitas bagus, rasa ataupun penampilannya, meski tak banyak, bisa juga ditemukan di pasar. Namun, kadang buah lokal ini justru harus ”didongkrak” dengan nama ”berbau” buah impor. Durian asal Bogor yang rasanya lebih lezat dari montong Thailand, misalnya, dinamai ”montong lokal”.

Pepaya california
dan pepaya hawaii yang mulai banyak dijumpai di pasar modern sekitar Jakarta juga merupakan varietas pepaya yang dikembangkan Institut Pertanian Bogor dengan ”nama asli” IPB 3 atau carisya dan IPB 9 atau callina.
(CAN/IYA/WKM)

(Nur Hidayati)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

MANGGIS, SI RATU BUAH TROPIS

Siapa bilang buah-buahan asli Indonesia kalah menggiurkan dari buah impor? Buktinya, manggis ”made in” Indonesia laris di pasar dunia. Begitu eksotiknya manggis hingga si bulat ungu ini dijuluki ”The Queen of Tropical Fruit”.

Di balik kulitnya yang keunguan atau agak coklat tersimpan daging putih bersih. Perpaduan rasa manis dan asam dalam tekstur daging yang lembut, berair, terasa begitu menyegarkan. Uniknya, jumlah daging buahnya bisa dihitung dari kelopak yang ada di pangkal buah.

Tak puas karena biji manggis yang besar? Jangan salah, keanekaragaman plasma nutfah negeri ini memunculkan pula jenis manggis tak berbiji yang disebut malakensis. Ukurannya lebih kecil dibandingkan manggis pada umumnya. Buah yang pohon induknya terdapat di Riau, Jambi, dan Malaka ini juga biasa disebut baby mangosteen.

Selain malakensis, ada pula mundu (manggis kuning) dan beruas atau manggis berwarna oranye. Juga ada mundar yang sebesar telur ayam dengan kulit berwarna merah cerah, kontras dengan daging putih bersih di dalamnya. Buah yang tekstur dagingnya agak bertepung ini ditemukan di Kalimantan Selatan.

Sayang, mendapatkan varian manggis seperti itu di pasar masih cukup sulit karena belum diproduksi secara luas. Buah dari tanaman liar yang rata-rata berasal dari hutan di berbagai daerah ini baru diperbanyak untuk kepentingan koleksi di Taman Wisata Mekarsari, Bogor, Jawa Barat.

Reza Tirtawinata, Kepala Divisi Laboratorium dan Riset PT Mekar Unggul Sari yang mengelola taman ini, menjelaskan, Indonesia memang produsen terbesar manggis, tetapi pengekspor terbesar manggis adalah Thailand.

”Manggis rawan di pascapanen karena kalau jatuh saat dipetik, langsung ada urat getah kuning yang pecah dan merusak bagian dalamnya. Jadi 70 persen produksi manggis kita tidak bisa diekspor,”
kata Reza yang meraih gelar doktornya dalam ilmu permanggisan.

Durian Matahari

Mekarsari sebagai kebun koleksi tanaman buah tropik dapat menampilkan potret keanekaragaman hayati negeri ini. Di kebun ini, misalnya, terdapat 45 jenis durian dari berbagai daerah di Indonesia.

Salah satunya adalah durian matahari yang kerap disebut sebagai varian durian ”nomor satu” karena dagingnya yang tebal, legit, berwarna kuning, dengan biji yang kecil. Ada pula durian tanpa sekat yang dagingnya mengumpul di tengah. Lain lagi, durian gundul atau tanpa duri. Kedua jenis durian ini ditemukan di Lombok, ”disediakan” alam tanpa rekayasa genetika.
”Durian-durian unik ini rasanya juga lezat lho,” kata Reza. Jenis buah yang dikembangkan dan dikoleksi Mekarsari ini sudah didaftarkan ke Kementerian Pertanian dan mendapat izin pelepasan varietas atau bisa diproduksi bibitnya.

Buah asli lain dari Indonesia yang juga tak kalah banyak jenisnya adalah rambutan. Mekarsari mencatat dan memiliki setidaknya 21 jenis rambutan, seperti rambutan binjai, lebak bulus, rapiah, hingga rambutan aceh.

”Plasma nutfah di Indonesia luar biasa. Kita tidak perlu repot-repot melakukan rekayasa. Tinggal mencari ke dalam hutan, bibitkan, tanam ramai-ramai,” kata Reza.
Ia mengingatkan, ”pencurian” varietas tanaman yang ada di suatu kawasan—atau negara—sangat sulit dicegah. Satu-satunya yang paling mungkin dilakukan untuk ”menyelamatkan” adalah mengembangkan sebanyak mungkin, tidak membiarkannya punah di negeri sendiri.

Tuan di Negeri Buah

Hal itu pula yang telah dilakukan Nanang Koswara (38), petani manggis asal Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Manggis dari kebunnya seluas 6,8 hektar itu sudah diekspor sampai ke China dan Uni Emirat Arab. Tak lama lagi, pasar manggis dari kebun Nanang dan petani lain di desanya akan mencapai Australia.

Data Kementerian Pertanian menunjukkan, pada 2010 lalu, produksi buah lokal Indonesia mencapai 19,1 juta ton, hanya 276.000 ton di antaranya yang diekspor. Ekspor utama buah Indonesia adalah manggis, nanas, mangga, dan rambutan.

Sementara itu, impor buah ke Indonesia pada 2010 tercatat 667.000 ton atau hanya 4 persen dari produksi nasional. Namun, melihat banyak dan luasnya peredaran buah impor, sejumlah kalangan meragukan data itu. ”Saya termasuk yang meragukan kebenaran data itu,” ujar Ketua Dewan Hortikultura Nasional Benny A Kusbini.

Masih panjang jalan untuk membuat buah-buahan Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Toh, jalan itu mesti ditempuh.

Sekjen Dewan Hortikultura Nasional Karen Tambayong mengingatkan, terkait pola makan masyarakat Indonesia misalnya, konsumsi buah dan sayur masih jauh di bawah patokan yang disarankan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Konsumsi buah di Indonesia hanya 32,67 kilogram per kapita per tahun, separuh dari ketentuan FAO sebesar 65,75 kg per kapita per tahun. Karena itu, diperlukan diversifikasi makanan yang lebih kaya buah dan sayur.

Di sisi lain, kita juga belum terbiasa dengan gagasan untuk tampil indah sekaligus produktif. Kata Karen, ”Lihat di Singapura, pohon sukun untuk pembatas jalan, ubi dan singkong juga bisa untuk tanaman dekorasi.”

(Yulia Sapthiani/Nur Hidayati)


=======================================================================



Senin, 14 November 2011

Hal-Hal Lain Di Sekitar Sanggar Anak Tangguh




Foto-foto berikut menggambarkan suasana  Desa Guwang di Gianyar, Bali. Inilah gambaran paling dekat sekitar Sanggar Anak Tangguh. Tidak sempat memang bermain ke aliran sungai atau menjelajahi hamparan-hamparan sawah. Tapi suasana sepi, bersih, asri, tidak panas di pinggiran jalan meskipun itu siang sekitar jam 3 sudah cukup memuaskan. Sambil minum kopi, sejenak menikmati ketenangan dan lingkungan.

Bermain (Arsitektur) ke Sanggar Anak Tangguh



Arsitek selalu dihujani sekian deadline dan tuntutan gambar. Sibuk tak kenal waktu. Tapi 30 Oktober 2011 Minggu pagi itu berbeda. Tak ada dedline, tak ada tuntutan gambar. Baru saja semua selesai pada malam beberapa jam sebelumnya.

Pagi itu pukul 09.30 Rizeki Raharja, Cok Gung Pamanayogi, dan Hadi Pramana sudah berkumpul di markas Bensley Design Studios Bali di Sanur. Sementara saya, tuan rumah, baru bangun dan baru menyusul 30 menit kemudian setelah ngebut bersepeda  di tengah cuaca yang suram-mendung. Cok Gung sudah siap dengan materi dan peralatannya. Hadi Pramana siap dengan sapaan-sapaan kanak-kanaknya. Rizeki selalu siap dengan senyuman dan sekian cerita entah kemana-mana. Dan saya masih harus menyadarkan diri bahwa kami akan mengunjungi Sanggar Anak Tangguh dan bermain arsitektur bersama anak-anak sanggar itu. Mas Adi, begitu kami memanggil Komang Adiartha, sudah lama dan berulang kali mengundang kami untuk bermain bersama anak-anak sekolah alternatif asuhannya. Bermain tentang apa itu arsitektur.

Sabtu, 05 November 2011

Vote Robin Lim For CNN Hero 2011


Di saat kita ramai-ramai mempeributkan sesuatu yang remeh temeh
dan juga di tengah ramai-ramai berita tentang keterpurukkan negeri ini
ada beberapa sosok yang terus bergerak,
senyap dalam sepi,
berbuat sesuatu untuk sesamanya yang membutuhkan.


Sosok-sosok ini bergerak karena dorongan hati.
Tulus, sungguh-sungguh, mengalir wajar, tak berharap gegap gempita.
Kesungguhannya bisa diukur dari waktu,
dari seberapa lama ia telah abdikan dirinya.
Mungkin pula dari pengorbanan
yang tak semuanya bisa diukur dengan matematika.


Ada banyak sesungguhnya sosok-sosok seperti ini.
Salah satunya saja Ibu Robin Lim,
seorang bidan,
mungkin juga seorang ibu bagi kita semua,
yang telah membantu kelahiran di banyak keluarga
utamanya yang tak mampu
dengan berbekal kearifan-kearifan lokal nusantara kita
dan tentu saja cinta.


Mungkin sekilas saja kita tahu dari Kick Andy
atau dari berbagai publikasi lainnya.
Dan mungkin pula hanya sebentar gambaran akan sosok ini bertengger di kepala kita.


Tapi coba tanya pada mereka yang ditolong
ataupun terlibat mengabdi berdampingan bersamanya
ataupun cobalah bertemu langsung menyaksikan dari dekat
atau bahkan mungkin langsung merasakan sentuhan pertolongannya.
Sosok ini tentu akan makin berarti dari sekedar teks-teks.


Saya beruntung berada di Bali.
Sempat melihat dari dekat sosoknya meskipun itu hanya saat presentasi.
Tapi saya lihat sendiri bagaimana ekspresi orang-orang yang pernah ditolongnya
ataupun orang-orang yang terlibat aktif dengannya.
Itu ekspresi-ekspresi luar biasa yang sulit dipetakan dengan kata-kata.


Seandainya rekan-rekan tak seberuntung saya
mungkin saja tulisan yang dibuat rekan-rekan akarumput.com ini,
'Pesan cinta dari Robin Lim',
masih bisa mewakili ribuan kata yang ingin saya utarakan.


Semoga saja kita masih punya cukup waktu dan kemampuan 
untuk bisa membaca dan meresapinya.
Dan semoga pula masih tersisa hari kita untuk sejenak memberikan dukungan.


Saya doakan rekan-rekan punya dan bisa.


------




(silakan klik Ibu dan bayi membutuhkan kamu atau Vote Robin Lim untuk CNN Hero 2011)



Selasa, 25 Oktober 2011

Gempa 6,8 SR dan Markas BDS


Gempa 6,8 SR Bali 13 Oktober 2011 bikin hati heboh.
Makin heboh lagi dengan bagaimana orang-orang Jakarta memberitakannya.
Saya sendiri tahu soal gempa heboh 6.8 SR ini dari televisi-televisi yang berpusat di Jakarta semua.
Maklum, saat itu masih di tempat tidur di kost dan masih berpikir cuma kepala sendiri yang goyang-goyang pasca heboh deadline pagi dinihari sebelumnya.
Tapi ternyata, sebagaimana orang-orang Jakarta menceritakannya, memang baru terjadi gempa yang cukup hebat, dan heboh!
Tingkat kehebohannya bisa diukur dari berapa lama 'breaking news' mengudara dan berapa banyak materi berita diulang-ulang (ini tentu untuk menguatkan betapa patut hebohnya suasana saat itu).
Bisa pula diukur dari seberapa banyak deringan panggilan menghampiri perangkat-perangkat canggih yang senantiasa mendampingi masing-masing manusia.
Kalau gempa beginian terjadi di rimba raya Papua mungkin lain cerita dari si Jakarta.


Tapi bayangan saya adalah bagaimana teman-teman di Markas BDS Bali.
Mereka prajurit-prajurit yang sudah terlatih dengan segala heboh-heboh beginian.
Gonjang-ganjing 6,8 SR mungkin tidak ada apa-apanya dibanding gonjang-ganjing revisi-revisi tugas yang tak pernah bisa diprediksi sebagaimana gempa yang tak bisa diramal, secanggih apapun perangkat teknologi inovasi Steve Job.
Saya yakin saat gempa semua kegiatan garis depan tetap berjalan.
Tak ada deadline ditunda. 
Tak ada lama-lama penyelamatan diri.
Bahkan makin banyak inspirasi-inspirasi baru.
Makin banyak revisi-revisi baru (pula).


(karena tak hadir saat gempa 6,8 SR dan tak ada jejak dokumentasi maka mungkin kira-kira situasi markas saat peristiwa seperti gambar berikut ini)




Mungkin perlu kita menyimak kata-kata bijak berikut (entah nyambung atau tidak, tapi kata-kata ini memang bijak!):


"Seorang arsitek yang baik tidak boleh ribut dan kacau dalam jiwanya. Ia harus mau meditasi, menghening agar refleksi ilham yang benar dapat tercermin hening."

- YB Mangunwijaya -


Meditasi, menghening, bahkan dalam kehebohan gempa.
........................................................

Sabtu, 22 Oktober 2011

Suatu Ketika Berjalan Kaki Ke Markas


Ini suatu hari yang agak berbeda di Sanur. Sabtu, 08 Oktober 2011.
Biasanya berangkat ke markas BDS (Bensley Design Studios) Bali menggunakan sepeda (markas? mungkin awam lebih senang menyebut kantor. Kalau yang ngakunya arsitek menyebut sebagai studio)  
Tapi kali ini terpaksa ke markas tanpa sepeda karena si sepeda musti turun mesin di depot perbaikan (sebagai dampak eksploitasi berlebih tanpa memeliharanya).

Dalam situasi tanpa sepeda begini maka keputusan paling logis adalah ikut numpang kendaraan teman untuk ke markas. Tapi ke markas di hari Sabtu untuk urusan rutin adalah menjemukan (ini harusnya hari bersenang-senang dengan waktu luang!). Maka keputusan logis dari masukkan variabel data beginian adalah: Jalan Kaki!
Makin lambat sampai tujuan makin baik.

Terasa sekali perbedaan perjalanan antara naik mobil, motor, sepeda, dan jalan kaki. Selain memang soal waktu tempuh dan kalori yang digunakan adalah soal bagaimana melihat sesuatu diperjalanan. Dengan berjalan kaki segala sesuatu jadi terlihat lebih akrab. Seolah dunia jadi berbeda warnanya. Dan seandainya teman-teman waktu itu ikut berjalan bersama maka mungkin juga akan melihat warna-warna berbeda itu. Dan kalaupun tidak, kiranya foto-foto ini bisa menggambarkan apa yang saya lihat selama perjalanan.

Tidak seluruh perjalanan. 
Hanya setengah terakhir saja. 
Ini Sabtu, 08 Oktober 2011.

Menuju jalan Tunjungsari dari jalan Batursari dengan penanda arah Cafe Tunjung Biru (01).

Jumat, 21 Oktober 2011

Ride on Time [Good Luck END]


Good Luck, salah satu serial terbaik Jepang. 
Ia menggambarkan bagaimana etos kerja Jepang pada dunia yang sarat dengan pelayanan, teknologi, dan keselamatan tinggi tanpa kehilangan unsur drama manusia. 
Bangsa kita perlu buat serial beginian. 
Sangat strategis. 
Garuda bisa kerjasama dengan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Ristek, serta didukung Lembaga Antariksa dan Penerbangan (LAPAN). Juga tentu pemda-pemda yang akan terkait.



(coba nikmati lagu indah Ride On Time karya musisi ternama Jepang, Tatsuro Yamashita, lengkap dengan klip yang menimbulkan rasa kagum akan penerbangannya)

Selasa, 18 Oktober 2011

Soal Bio Gas




Ada sebuah bangsa yang menggunakan kotoran manusia untuk memupuki kebunnya. 
Kotoran manusia ini bahkan diperjualbelikan di pasar. 
Ini tradisi dan benar-benar dianggap barang berharga.
Memang terasa menjijikkan dan terbelakang bangsa model beginian (apalagi ditambah kebiasaan jarang mandi) bagi kita.
Itulah Korea tahun 50-an. Ya Utara, ya Selatan.

Itulah hal menarik sekali yang saya baca dari buku Catatan Perang Korea karya Mochtar Lubis. Memang tepatlah dia satu-satunya jurnalis republik ini yang diundang ke sana tahun itu.

Dan mari benar-benar kembali obrolkan hal-hal sekarang.
Ini tentang Obrolan Rabu Malam (OBRAL) 28 September 2011.
Ini tentang "Green! Lifestyle atau Way of Life?"

Senin, 17 Oktober 2011

Gak Ada Embel-Embel Arsitektur





Saya tulis status fesbuk malam minggu saya: 
Ada acara 70 Tahun Sunaryono Basuki Ks: Peluncuran dan Bedah Buku "Antara Jimbaran dan Lovina".
Hari Minggu, 16 Oktober 2011  jam 11 di Danes Art Veranda. 
Saya tulis pula sebuah harapan sebagai penutupnya:
Semoga saja teman-teman diberi kesempatan menghadiri.


...................

Seorang teman bertanya apa ini acara arsitek. 
Wah, saya jawab bukan. 
Saya bilang gitu karena gak ada tuh embel-embel berbau arsitektur. 
Bahkan, saya menebak, ini lebih ke kebudayaan & sastra. 
Lalu teman saya dengan mantap mengajukan pertanyaan kritis: lalu buat apa arsitek datang? Wah, bingung saya jawab pertanyaan cerdas-kritis model beginian. 
Saya jawab ngawur: Lha ini biar seirama dengan pak dosen arsitek yang baru dipilih jadi wakil mentri pendidikan yang bidangi urusan kebudayaan. 
Biar lebih meyakinkan saya bilang si pak mentri dari arsitek itu kan juga seirama dengan presiden pertama kita. Ya kita ngikut juga donk musti paham hal-hal begituan. 
Lalu teman saya sekali lagi praktekkan semangat ala filsuf yang gemar bertanya sangat kritis: apa ini bermanfaat untuk hadapi bos kita & segenap deadline? 
Kalo tidak, gitu kata temen saya, jelas ini tidak praktis & menyia-nyiakan hidup yang teramat singkat yang sudah beruntung dikasih kesempatan menjalaninya.
Wah, memang benar sekali ini teman saya. 
Heran betul saya kenapa dia gak jadi filsuf aja.


(Tidak hanya filsuf. Teman saya ini berbakat pula jadi detektif. 
Bilang gini dia di akhir dialog: 
Ah, kau paling datang buat numpang makan siang gratis.)