Jumat, 09 Desember 2011

Apakah Anda Bangga Bangsa Ini Menempati Urutan Atas Pengguna Jasa Komunikasi Maya?


Kliping
Jumat 10:00 pagi, 09 Desember 2011. Baru pulang setelah deadline dan sempat beli koran Kompas. Lihat TV dan ada JK di KompasTV. JK untuk 'Jalan Keluar' sekaligus 'Jusuf Kalla', si pemandu acara. Mereka bahas soal potensi pertanian. Isinya memilukan. Impor, impor, impor. Yang amat memalukan adalah kita impor beras, ikan, garam, dan buah. Memalukannya lagi bahwa kita impor pertanian-pertanian dari India dan Pakistan yang kering dibanding kita yang subur. Banyak sentilan dari JK yang khas itu. JK bilang kantor-kantor kita lebih besar dari kantor negara-negara tetangga. Lalu insinyur-insinyur pertanian kita lebih suka berkantor daripada bersawah. Jadinya kita serba impor. Semua tertawa. Benar itu (dan saya berpikir pasti bangga arsitek-arsitek arsitektur perkantoran kita).

Acara selesai lanjut ke koran di tempat tidur. Banyak sekali artikel bagus dari koran yang selalu tebal di hari Jumat. Lagi-lagi bertemu hal senada dengan bahasan berbeda. Ini tentang kebodohan. Juga tentang makna sebuah kebanggaan. Tema ini terus berputar-putar dalam tidur hingga ke meja studio siang harinya. Kita makin lama makin bodoh. Mungkin setidaknya makin dangkal. Dan orang dangkal senang membanggakan diri. Narsis? Siang itu saya kliping saja. Itulah kerjaan sisa siang di studio. Buat jaga-jaga perlu juga kliping digital. Banyak betul. Tapi demi tidak bodoh. 
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


"Kalau perlu, barusan buang angin pun diberitahukan ke seluruh dunia. Untuk bisa selalu update, orang terus-menerus memelototi Blackberry.
Apanya yang harus dibanggakan dengan itu semua?"


- Bre Redana -


Kompas, Jumat, 09 Desember 2011
------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------


HIPERKONSUMERISME, HIPERTEKS, HIPERMEDIA

Oleh: Bre Redana

Apakah Anda bangga bangsa ini menempati urutan atas pengguna jasa komunikasi maya? Sebagai pengguna Facebook terbesar kedua di dunia, terbesar ketiga untuk Twitter. Pengguna telepon seluler meningkat pesat dari tahun ke tahun. Lalu, sejumlah orang terinjak-injak ketika mengantre Blackberry yang dijual separuh harga di Pacific Place, Jakarta. 

Saya sama sekali tidak bangga, bahkan prihatin. Kemajuan teknologi komunikasi telah sampai pada suatu paradoks: dia memisahkan, bukan menghubungkan. Benar, dia menghubungkan seseorang dengan mereka yang jaraknya jauh dari lingkungan fisik-sosial. Hanya saja, sebaliknya pada saat bersamaan orang itu tercerabut dari ruang sosial di mana secara fisik kita semua hadir.

Bercampur dengan semangat hiperkonsumerisme, manusia-manusia yang telah kehilangan kesadaran atas ruang dan waktu (dalam bahasa lebih filosofis mikrokosmos-makrokosmos) mengalami apa yang diistilahkan Benjamin Barber sebagai civic schizophrenia alias kegilaan warga.

Inikah yang dalam perbendaharaan lama disebut zaman edan? Pergeseran manusia dalam menghayati ruang dan waktu—yang secara eksistensial berarti bergesernya penghayatan atas makna hidup—terungkap dalam seluruh praktik kehidupan kita. Dari kehidupan pribadi sehari-hari di ruang privat sampai ke kehidupan sosial, termasuk di dalamnya dinamika politik.

Popularitas seorang pemimpin diukur lewat jajak pendapat menggunakan perangkat komunikasi masa kini yang disebut gadget. Di sana, politik menjadi bagian ”waktu luang” atau leisure dalam teori Thorstein Veblen atau free time dalam istilah Theodor Adorno.

Politik waktu luang adalah politik orang-orang iseng kelas menengah, kebanyakan waktu, kehilangan kontak dengan rakyat kecil yang banting tulang tak punya waktu luang. Realitas sosial tergantikan realitas maya dan terefleksikan dengan sempurna oleh televisi. Apa yang ada di televisi itulah realitas.

Kedermawanan presiden dan perhatiannya kepada rakyat kecil, misalnya, ditunjukkan lewat televisi dengan bagaimana ketika presiden mantu rakyat diperbolehkan ikut menikmati resepsi lewat layar lebar yang dipasang di lapangan. Perhatian presiden terhadap seni budaya ditunjukkan dengan presiden bergitar, menciptakan lagu.

Media massa kita, terutama media elektronik, menjadi penyokong utama dari apa yang kemudian diistilahkan para ahli sebagai politik pencitraan. Mereka menciptakan impresi instan, bukan pencatatan sistemis tentang kinerja.

Semua orang sadar betul mengenai hal itu sekarang. Maka, pidato di televisi, gaya rambut, model baju seragam, dan motif batik lebih penting daripada upaya sistemis menyelesaikan pekerjaan. Ini bukan hanya berlaku untuk kalangan politik. Pekerja perusahaan swasta juga dianggap sudah berprestasi jika bisa memberi impresi mengenai apa yang dikerjakan lewat presentasi dibantu program Power Point. Kinerja semu? Mungkin saja, soalnya ada buku yang topiknya lebih kurang: real CEO doesn’t use Power Point. Dia memilih memberi kacang ijo biar menu rakyat lebih bergizi.

Makna lebih jauh dari politik pencitraan adalah politik yang kehilangan kontak dengan realitas. Serupa dengan modus komunikasi zaman ini: orang terhubung dengan mereka yang jauh, tetapi terputus dengan ruang sosial secara fisik. Realitas fisik jadi kedodoran.

Untuk urusan pribadi, Anda silakan merefleksikan hubungan Anda sendiri dengan orang-orang terdekat. Menyebar wabah defisit atensi. Untuk lingkup sosial lebih luas, silakan lihat penelantaran kesejahteraan rakyat. Rakyat tambah miskin, murid-murid SD belajar di bangunan serupa kandang kambing, jembatan runtuh, dan seterusnya.

Apa yang dibanggakan?

Cukup banyak yang menyoroti konsekuensi digitalisasi kehidupan sekarang. Salah satunya, Nicholas Carr lewat buku The Shallows (2010). Anda bisa mengetahui di sana bagaimana internet mengubah cara kita berpikir, membaca, dan mengingat.

Di sana, dia membandingkan dua cara membaca. Pertama, membaca teks secara linear. Ini terjadi saat membaca buku, koran, atau majalah. Yang kedua, membaca teks secara berlapis-lapis atau diistilahkan hiperteks. Ini seperti ketika membaca lewat layar komputer, cara scrolling memungkinkan kita membaca berbagai teks secara bersamaan. Yang terakhir itulah yang ditawarkan teknologi multimedia atau lebih lanjut menjadi hipermedia.

Berbagai hasil penelitian dikutip di sana. Yang paling menonjol, ternyata penyerapan orang dalam pembacaan hiperteks jauh lebih rendah daripada pembacaan secara linear. Para dosen perguruan tinggi tempat penelitian dilakukan mengakui, para mahasiswa tidak betah berfokus pada satu hal. Perhatian dan fokus terus berpindah-pindah. Para peneliti menyimpulkan, teknologi multimedia tampaknya lebih membatasi daripada meluaskan kesanggupan seseorang mengakuisisi informasi.

Kita memiliki cognitive load—mungkin bisa diterjemahkan sebagai muatan kognitif? Kalau kebanyakan informasi yang mengalir ke sana melebihi muatan kognitif, maka seperti air, air akan tumpah. Kita tak sanggup memerangkap informasi itu atau menarik hubungan dengan informasi lain yang telah tersimpan sebelumnya di memori. Dengan kata lain, informasi hanya berseliweran, tak nyangkut di memori, apalagi membentuk pengetahuan koheren.

Maka, tidak banyak orang sekarang mampu berpikir koheren. Yang dikuasai cuma informasi sesaat. Itu yang secara cerdik diindustrikan media, menjadi komoditas laris bernama gosip. Yang disebut analisis politik sekarang sebenarnya rekonstruksi gosip. Di sini, sebenarnya media cetak harus ambil peranan. Dia diharapkan mempertahankan sivilisasi.

Yang dibangga-banggakan orang dengan multimedia sekarang—di mana orang katanya bisa melakukan beberapa pekerjaan sekaligus (multitasking)—sebenarnya ”terampil pada tingkat superfisial”. Ingat kata-kata filsuf Roma, Seneca, sekitar 2.000 tahun lalu: berada di mana-mana berarti tidak di mana-mana.

Ketergesa-gesaan, ketergopoh- gopohan, adalah ciri masyarakat masa kini. Munculnya jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter, mengakselerasi ketergopohan itu. Mereka menekankan pada kesegeraan dengan istilah yang dikenal para penggunanya sebagai status update. Kalau perlu, barusan buang angin pun diberitahukan ke seluruh dunia. Untuk bisa selalu update, orang terus-menerus memelototi Blackberry.

Apanya yang harus dibanggakan dengan itu semua?

http://cetak.kompas.com/read/2011/12/09/05491918/hiperkonsumerisme.hiperteks.hipermedia  

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



”Bukan hanya teknologi baru, berebut BLT dan ketemu selebriti pun bisa rusuh dan makan korban,”

- Bagus Takwim -


Kompas, Jumat, 09 Desember 2011 
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

PINGSAN BEREBUT PUN DIJALANI

Koordinator Pemasaran dan Komunikasi PT Pacific Place Monica Cindy Nugroho awalnya mengaku bangga lobi selatan malnya terpilih untuk peluncuran pertama di dunia ponsel pintar Blackberry Bold 9790 atau Bellagio.

Namun, kebanggaannya pupus. Acara peluncuran pada Jumat, 25 November, lalu itu berubah kacau dan nyaris berbuah malapetaka. Ribuan orang berdesakan. Puluhan orang jatuh pingsan dan luka. Polisi pun turun tangan.

”Sejak manajemen menyetujui, kami sudah meminta acara berlangsung dengan syarat ketat dan rinci, termasuk keamanan,” kata Monica , Senin (5/12).

Kepolisian Resor Jakarta Selatan menetapkan empat orang sebagai tersangka, yaitu General Manager Pacific Place; perwakilan produsen BB, yaitu Research in Motion/RIM; konsultan keamanan; dan pengorganisasi acara. ”Mereka melanggar Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu tindak pidana yang menyebabkan orang lain terluka karena kelalaian. Ancamannya paling lama lima tahun atau kurungan setahun,” ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jaksel Ajun Komisaris Besar Budi Irawan, Senin. Mereka diduga gagal mengantisipasi situasi keamanan acara.

Peristiwa berawal dari iklan diskon 50 persen—harga menjadi Rp 2,3 juta—bagi 1.000 pembeli pertama BB Bellagio. Inilah yang menarik minat ribuan orang. Pembelian disyaratkan memakai kartu kredit sesuai identitas pengantre.

Pendaftaran dibuka Jumat pukul 09.00 dan penjualan dimulai pukul 10.00. Namun, sebagian orang antre dari Kamis tengah malam, salah satunya Sonny (30), pegawai toko distributor ponsel di Roxy, Jakarta Barat. Setelah mendaftar, dia mendapat gelang merah tanda punya KTP dan kartu kredit atas namanya.

Apa lacur, menjelang tengah hari, antrean kacau. Paramedis Medic One, Dedi Hidayat, yang siaga sejak pukul 06.00, mengaku menolong empat pengantre. ”Mereka butuh oksigen dan ada yang patah lengannya. Saya lihat ada ambulans bolak-balik antar korban,” tuturnya.

Meski kekacauan terjadi, banyak pengantre tetap bertahan. Sonny baru meninggalkan tempat pukul 15.00 setelah diusir polisi yang membawa anjing pelacak.

”Saya sakit hati, kapok antre lagi,” ungkapnya, Selasa. Dia mengaku ingin memiliki ponsel berteknologi lebih canggih pengganti ponsel lamanya. Menurut Sonny, kekacauan muncul setelah panitia tak konsisten. Selain itu, ”Ada joki dibayar sampai Rp 1 juta.”

Karyawan swasta di Jelambar, Suwardjono (41), antre sejak pukul 06.00. ”Kaget waktu lihat antrean berjubel, tetapi informasinya, gelang ditambah. Tetapi, kok tak ada. Daripada jadi korban, saya pulang,” ujar Suwardjono.

Cita-cita Susanto (30) memberikan kejutan kepada istrinya juga kandas. Akan tetapi, ia lega bisa selamat meski sempat terjepit di antara massa. ”Konyol kalau ingat kejadian itu,” kata pegawai asal Ciputat, Tangerang Selatan, itu.

Kejar diskon

Menurut praktisi teknologi informasi Onno W Purbo, motivasi antre cuma mengejar diskon, bukan teknologi. ”Dari teknologi tak ada loncatan baru,” katanya.

Effendi Gazali, dosen di Universits Indonesia yang mendalami komunikasi politik, tak habis pikir ada yang mengejar Rp 2,3 juta dengan mempertaruhkan nyawa. ”Tak mungkin ribuan orang dapat kalau sudah ada 1.000 orang pertama. Jangan-jangan mereka berharap ada celah seperti kebiasaan KKN,” kata dia.

Bagi dosen Fakultas Psikologi UI, Bagus Takwim, fenomena seperti itu tidak terlalu mengherankan. ”Bukan hanya teknologi baru, berebut BLT dan ketemu selebriti pun bisa rusuh dan makan korban,” ujarnya.

Menurut Bagus, penyebabnya adalah ada faktor penguatan sosial tentang nilai produk. ”Kehadiran teknologi juga ditandai dan dianggap penting untuk citra,” paparnya.

Tak ada informasi, dari 1.000 Blackberry Bellagio, berapa yang yang terjual. Kantor RIM yang dihubungi via telepon tak merespons, sementara berita acara pemeriksaan kepolisian tak boleh didapat wartawan. (har)

http://cetak.kompas.com/read/2011/12/09/0549551/pingsan.berebut.pun.dijalani
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


"Tetapi, menjadi konsumen semata pada dasarnya membuat orang jadi ’manusia budak’ dalam konsep Nietzsche. Manusia hanya bisa mengatasi situasi budak kalau dia mencipta, kreatif, dalam arti apa pun,”

- Daniel Dhakidae -


Calon pembeli mengantre untuk membeli sandal dan sepatu merek Crocs yang didiskon hingga 70 persen di pusat perbelanjaan Senayan City, Jakarta, beberapa waktu lalu. Ratusan pembeli antre untuk menyerbu stok penjualan sekitar 80.000 pasang sepatu dan sandal dengan harga sebelum diskon sekitar Rp 300.000-Rp 800.000 per pasang.
Kompas, Jumat, 09 Desember 2011
------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------

SIAP BERUBAH DAN MENUNTUT PERUBAHAN


Oleh: Ninuk Mardiana Pambudy

Kekisruhan saat mengantre Blackberry Bellagio yang dijual dengan diskon 50 persen di Pacific Place, SCBD Sudirman, Jumat (25/11), mencengangkan banyak orang, terutama karena Blackberry sebagai telepon pintar melekat dengan orang melek dan berkebutuhan akan teknologi.

Telepon seluler itu pun hanya boleh dibayar menggunakan kartu kredit sesuai identitas pengantre. Lokasi penjualan di mal kelas atas Jakarta. Semua mengindikasikan para pengantre berasal dari kelas menengah yang asumsinya punya kemampuan ekonomi dan rasionalitas cukup.

Pemimpin Redaksi Majalah Prisma Daniel Dhakidae mengatakan, antre memberi bermacam pesan. Antre beras dan minyak tanah pada masa Orde Lama adalah pertanda buruk untuk rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno. Begitu juga antre bantuan langsung tunai (BLT) pada rezim reformasi.

Hal tersebut berbeda dengan antre untuk suatu gaya hidup, seperti antre gadget, ponsel atau komputer tablet. Antre untuk gaya hidup adalah gabungan antara kebutuhan memuliakan diri sendiri dan mengambil posisi di ruang publik. Jadi ada unsur narsisme.

Hal tersebut tak lepas dari rezim pasar bebas yang secara global diagungkan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Konsumerisme pun dirangsang secara global. ”Pasar dan konsumen menjadi yang terpenting. Tetapi, menjadi konsumen semata pada dasarnya membuat orang jadi ’manusia budak’ dalam konsep Nietzsche. Manusia hanya bisa mengatasi situasi budak kalau dia mencipta, kreatif, dalam arti apa pun,” kata Daniel.

Mengantre untuk membeli barang diskon juga terjadi di mana-mana. Bedanya, di Eropa (Barat) atau Jepang yang kelas menengahnya sudah matang orang tidak akan antre untuk sesuatu yang tidak dibutuhkan atau bila ada orang lain lebih membutuhkan.

Di Indonesia, menurut pengajar di STF Driyarkara, F Budi Hardiman, kesadaran untuk nilai-nilai kesamaan dan mendahulukan kepentingan publik sampai saat ini terhambat pembentukannya. Jaringan nilai dan kesadaran akan keadaban publik dan nilai kewargaan tidak terbentuk saat Orde Baru dan sekarang diterjang globalisasi pasar.

Dalam kasus antre Blackberry, Budi tidak melihat ada nilai tambah pada kelas menengah Indonesia. ”Nilai tambah hilang karena kita tidak punya pendidikan politis yang memadai untuk terbangunnya keadaban publik. Hal ini merata, mulai dari cara berlalu lintas hingga lahirnya calo di tempat bencana,” papar Budi.

Warga menjadi massa, meminjam pendapat Hannah Arendt, dirangsang oleh teror negara atau stimulus pasar. Kasus antre Blackberry memperlihatkan pasar kini menjadi diktator.

Mulai muncul

Peneliti kewirausahaan Indonesia dari School of African Studies (SOAS) Universitas London, Edward Buckingham, yang pertama kali meneliti tentang Indonesia 20 tahun lalu, melihat perubahan dalam kelas menengah Indonesia.

Kelas menengah diartikan sebagai kelompok borjuasi, bak di Eropa yang memiliki pengaruh dalam pembentukan institusi atau pranata, seperti pembentukan aturan yang mengatur perilaku masyarakat, antara lain hukum formal, hukum adat, dan norma di masyarakat. ”Kelas menengah mulai muncul. Mereka menyampaikan pikiran kepada publik secara terbuka melalui cara demokrasi, salah satunya melalui pers, terutama media cetak,” kata Edward, di Jakarta, Senin (5/12).

Edward membandingkan saat berkeliling China pada 1990-an. Antre membeli tiket kereta api pun merupakan perjuangan berat. ”Pemerintah China lalu meluncurkan program Tujuh Kebiasaan Beradab, antara lain, tidak boleh meludah sembarangan dan antre. Hasilnya baru terlihat sekarang. Awalnya peran pemerintah besar, tetapi sekarang masyarakat melakukan karena merasa ada tanggung jawab pribadi pada masyarakat,” katanya.

Kelas menengah yang sudah matang tidak akan merusak hak orang lain. Antre untuk membeli Blackberry menunjukkan kelas menengah Indonesia belum matang. Di kota besar seperti Jakarta, mereka tidak beridentitas karena tiap orang menjadi individualistis.

Menurut Edward, peristiwa antre ponsel tak akan terjadi di desa atau kota kecil karena ada sanksi sosial. Tiap orang ”menjaga nama” untuk tidak melakukan hal yang dianggap tidak pantas atau berlebihan.

Tantangan lain adalah munculnya rasa tidak puas, terutama pada mereka yang berpendidikan sarjana, karena ketidaktersediaan lapangan kerja sesuai dengan aspirasi atau malah tidak ada lapangan kerja sama sekali.

”Kasus diskon ponsel hanya titik peledak untuk menyalurkan rasa frustrasi karena tidak puas dengan keadaan diri. Saya menelan ketidakpuasan berbulan atau bertahun-tahun dan kini Blackberry memberi kesempatan menyalurkan rasa penasaran itu,” kata Edward.

Dalam pandangan Daniel, konsumerisme masyarakat konsumsi yang massif membuat konsumen merasa cukup berhenti sebagai konsumen karena kebutuhan hidup secara ekonomi sudah dipenuhi. Tidak ada lagi keinginan menjadi warga negara karena kewargaan artinya berjuang. Memperjuangkan hak dianggap berlebihan dan kadang dianggap tak tahu diri, menyebalkan, cerewet, bawel, nyinyir.

”Kita tidak sadar dengan berhenti hanya menjadi konsumen, consumer, sebetulnya mengkhianati ide berdirinya Republik Indonesia,” kata Daniel yang meneliti kelas menengah Indonesia.

Kelas menengah

Menumbuhkan kelas menengah yang sesungguhnya, menurut Budi Hardiman, harus dilakukan dari sisi ekonomi dengan tidak menoleransi praktik ekonomi rente yang menyebabkan penerima rente merasa berutang kepada penguasa dan karenanya tidak mandiri. Sisi lain adalah dengan menyebarkan kesadaran hak warga, misalnya, menghapus politik uang dalam semua jenis pemilu. ”Warga siap berubah, tinggal pemimpinnya apakah juga siap berubah,” kata Budi.

Daniel meyakini, distribusi kesadaran hak-hak sipil dan politis berjalan seiring dengan bertumbuhnya kelas menengah yang kreatif dan produktif, bukan yang konsumtif. Apabila mereka menguasai ruang ekonomi, dengan sendirinya perlu ruang publik yang melindungi hak milik mereka, termasuk hak cipta, hak atas merek, dan hak-hak lain.

Syarat lain, independensi dalam penguasaan sumber daya ekonomi. Pada masa Orde Baru, sumber ekonomi kelas menengah sangat bergantung pada negara yang dikendalikan Orde Baru. Pada era reformasi, kelas menengah sangat tergantung pada segelintir oligarki politik dan ekonomi.

Dalam pengamatan Edward, korupsi yang massif saat ini pada semua lapisan menumbuhkan kesadaran pada kelas menengah untuk menuntut perubahan. Semasa Orde Baru korupsi terkelompok pada segelintir orang dan tak transparan sehingga orang banyak tak menyadari.

Kini protes banyak orang atas korupsi karena buruk untuk iklim usaha juga merupakan pertanda adanya kelas menengah yang tumbuh.

Pers, demikian Edward, terutama media cetak yang tak ikut arus memodifikasi informasi sebatas hiburan, menjadi tumpuan penguatan kelas menengah dan demokrasi.

http://cetak.kompas.com/read/2011/12/09/05510092/siap.berubah.dan.menuntut.perubahan
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



"Namun, kelas menengah yang konsumtif bukanlah tujuan ideal yang ingin diraih sebuah bangsa. Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry Budiutomo Harmadi ingin agar kelas menengah Indonesia menjadi penduduk terdidik yang sanggup memilah belanjanya, tidak untuk hal-hal konsumtif, tetapi juga investasi."

Kompas, Jumat, 09 Desember 2011
------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------

MEREKA YANG MEMIMPIKAN KENYAMANAN


Indonesia bisa jadi diisi orang yang selalu ingin praktis, nyaman, mendapatkan barang yang bernilai untuk setiap sen uang belanjanya, dan ada waktu untuk diri sendiri. Pendeknya, impian kelas menengah Indonesia adalah hidup seperti orang kaya.

Karena ingin hidup praktis, mereka tidak lagi menanak nasi dengan panci, tetapi beralih ke pemasak nasi listrik (rice cooker). Inilah yang menyebabkan pembelian alat ini naik 64 persen antara triwulan III 2010 dan triwulan III 2011.

Akibat butuh kepraktisan, mereka pun ingin merawat rambut dengan cepat tanpa harus ke salon sehingga pembelian leave on conditioner (pelembut rambut sekali pakai) oleh kelas menengah meningkat 219 persen.

Untuk kenyamanan, kelas menengah Indonesia cenderung belanja perangkat pemutar film digital (DVD) karena di rumah ingin menonton film layaknya di bioskop. Lalu, ketika orang kaya menaruh cadangan es krim di lemari es-nya, kini kelas menengah pun ingin menikmatinya sehingga pembelian es krim melonjak 60 persen.

”Mereka pun semakin pemilih. Setiap jenis produk yang dibeli akan dibandingkan untuk mencari barang yang paling bernilai dengan uang yang dia bayar,” tutur Direktrur Pelaksana The Nielsen Company Indonesia (Nielsen) Chaterine Eddy, di Jakarta, Selasa (6/12).

Survei Nielsen itu dilakukan sepanjang tahun 2011 pada 500 responden kelas menengah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Lalu siapakah kelas menengah itu menurut Nielsen?

Menurut Chaterine, kelas menengah Indonesia itu adalah pasar yang luar biasa kuat daya belinya. Produsen produk apa pun bisa meraih mereka dengan beragam cara, mulai dari televisi (96 persen kelas menengah menontonnya) hingga internet (22 persen kelas menengah mengaksesnya).

Gapailah mereka juga lewat telepon seluler karena 71 persen kelas menengah di perkotaan memakainya. Jangan pula dilewatkan jejaring sosial, mengingat 94 persen kelas menengah Indonesia terkoneksi satu sama lain.

Namun, kelas menengah yang konsumtif bukanlah tujuan ideal yang ingin diraih sebuah bangsa. Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry Budiutomo Harmadi ingin agar kelas menengah Indonesia menjadi penduduk terdidik yang sanggup memilah belanjanya, tidak untuk hal-hal konsumtif, tetapi juga investasi.

”Untuk mengetahui sasaran investasi yang baik itu butuh pendidikan. Ini yang kurang dari kelas menengah Indonesia,” ujarnya.

(OIN)

http://cetak.kompas.com/read/2011/12/09/05523779/mereka.yang.memimpikan.kenyamanan
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



”Banyaknya orang terluka hanya untuk telepon seluler adalah energi terbuang yang tidak perlu terjadi. Itu berarti mereka tidak masuk kerja seharian.”

- Taufan EN Rotorasiko -


Kompas, Jumat, 09 Desember 2011
------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------

TIANG EKONOMI YANG RAPUH

Oleh: Orin BasukiOleh Orin Basuki

Jika ada waktu, Taufan EN Rotorasiko (35) mungkin ikut dalam antrean peluncuran telepon seluler Blackberry Bellagio pada 25 November 2011 yang berakhir ricuh. Namun, mantan pengamen kereta api listrik 15 tahun lalu ini tidak lagi memiliki waktu untuk mendapatkan barang yang cukup menggoda tersebut. 

Bukan karena tidak sanggup membeli, melainkan beban pekerjaan yang menumpuk sehingga tidak memberinya kelonggaran waktu. Mantan aktivis pramuka ini kini memimpin perusahaan investasi dan jasa teknologi informasi PT MGTH (Make Great Things Happen) International di Jakarta.

”Banyaknya orang terluka hanya untuk telepon seluler adalah energi terbuang yang tidak perlu terjadi. Itu berarti mereka tidak masuk kerja seharian,” ujar Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sekaligus Dewan Pimpinan Pusat Karang Taruna Seluruh Indonesia, di Jakarta, Selasa (6/12).

Godaan produk baru, seperti Blackberry Bellagio, merupakan salah satu penyebab antrean yang berakhir ricuh. Ini dibarengi daya beli yang meningkat seiring pertumbuhan ekonomi yang mendongkrak pendapatan per kapita penduduk Indonesia.

Perusahaan keuangan dan investasi Goldman & Sach tahun 2008 memprediksi, pendapatan per kapita penduduk Indonesia baru akan mencapai 3.000 dollar AS pada 2020. Nyatanya, pada triwulan III 2011 saja, angkanya sudah menapak di level 3.469 dollar AS per kapita.

The Nielsen Company Indonesia menggambarkan, dari pendapatan per kapita itu, 48 persen penduduk Indonesia membelanjakannya untuk memenuhi lima kebutuhan mendasar, sekitar Rp 1 juta–Rp 2 juta per bulan. Bank Dunia menghitung, 57 persen dari penduduk Indonesia menggunakan uangnya sebesar 2-20 dollar AS per hari untuk beragam barang.

Kelompok yang mendominasi populasi penduduk Indonesia inilah yang dikategorikan kelas menengah. Disebut menengah karena mereka berada di antara kelompok masyarakat berekonomi lemah dan kelompok kaya.

”Tidak jelas dari mana mereka memperoleh kemampuan belanja seperti itu. Sangat mungkin, sumber penghasilannya adalah uang yang diinvestasikan di luar negeri dan mereka tengah menikmati penghasilannya di Indonesia,” tutur Ketua Program Studi Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan Program Pascasarjana Universitas Indonesia Sri Moertiningsih Adioetomo, di Depok, Senin lalu.

Tersanjung kemewahan

Peristiwa Blackberry Bellagio itu bagi Sri merupakan pertanda bahwa kelas menengah Indonesia tengah tersanjung dengan kemewahan yang didapatnya. Mereka terpikat untuk memperoleh barang yang lebih bagus dan mahal sehingga semakin jauh dari berhemat.

”Kalau bisa, mereka ingin mendapatkan tas seharga Toyota Avanza. Ini yang tidak wajar. Mereka menjadi generasi eksekutif muda, berusia 35-40 tahun yang sejahtera tanpa melalui kesulitan. Orangtua merekalah yang berjuang keras. Salahnya, mereka selalu berusaha agar anaknya tak sesulit dulu. Kelas menengah yang tidak digembleng kesulitan menciptakan budaya bukan pekerja,” katanya.

Karena itu, perekonomian Indonesia ada dalam ancaman bahaya karena memiliki kelas menengah yang berdaya beli, tetapi tidak peduli pada masalah sosial politik. Selama uang ada, mereka akan tetap membeli, tidak peduli apakah itu produk impor atau buatan industri domestik.

”Indonesia tidak bisa terus bertahan pada perekonomian yang ditopang konsumsi domestik yang konsumtif seperti ini karena berarti barang impor pun akan diborong. Industri dalam negeri akan hancur dan ini mengancam kelas menengah itu sendiri,” tambah Sri.

Survei The Nielsen Company Indonesia menunjukkan, perhatian utama kelas menengah Indonesia enam bulan ke depan adalah kondisi ekonomi karena khawatir akan memengaruhi pekerjaan dan penghasilan mereka.

Mereka juga lebih peduli pada kesimbangan antara bekerja dan cara menikmati hidup, khawatir pada kesejahteraan dan kebahagiaan orangtua, serta pendidikan anaknya.

”Politik tidak menjadi perhatian karena semua informasi tentang ini tersedia dari media massa,” ujar Direktur Pelaksana The Nielsen Company Indonesia Chaterine Eddy.

Ekonom Bank Standard Chartered, Eric Alexander Sugandi, mengingatkan, kelas menengah Indonesia pun masih memiliki potensi rapuh. Orang yang baru masuk kelas menengah, menurut kategori Standard Chartered, adalah yang membelanjakan uangnya 2-6 dollar AS per hari.

”Kelas menengah-menengah yang berpenghasilan 6-10 dollar AS per hari dan kelas menengahatas dengan 10-20 dollar AS per hari akan tumbuh lebih pesat dibandingkan kelas menengahbawah yang berpenghasilan 2-6 dollar AS. Ini karena kelas menengah-bawah lebih berisiko tinggi terhadap guncangan ekonomi ketimbang dua kelas lainnya,” ujarnya.

http://cetak.kompas.com/read/2011/12/09/05520925/tiang.ekonomi.yang.rapuh
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



‎"Memang bukan ponsel yang menggulingkan rezim otoriter di berbagai negara, melainkan desakan rakyat. Akan tetapi, sekurangnya alat ini telah memberikan bantuan signifikan dalam menumbuhkan iklim politik yang lebih terbuka."
Kompas, Jumat, 09 Desember 2011
------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------

MENGGULINGKAN TIRANI PULUHAN TAHUN

Dalam tulisannya soal pergeseran kekuatan global ke Timur lewat buku berjudul The New Asian Hemisphere (2008), Kishore Mahbubani menggambarkan dampak modernisasi, antara lain, merebaknya telepon seluler. Ia mengutip seorang penulis India, Shashi Tharoor, yang melukiskan bagaimana pengguna ponsel di India yang pada tahun 2006 mencapai 7 juta orang melejit pesat menjadi 500 juta orang hanya dalam waktu empat tahun.

Ia juga menggunakan artikel di harian Washington Post tahun 2006 yang menggambarkan seorang nelayan di India yang pendapatan bulanannya naik tiga kali lipat menjadi 150 dollar AS sejak ponsel menjamur di India tahun 2000.

Yang ingin digambarkan Mahbubani, bukan hanya kelas menengah saja yang diuntungkan dengan adanya ponsel. ”Massa yang miskin di India adalah penerima manfaat terbesar dari merebaknya revolusi ponsel,” tulis Mahbubani dalam buku yang bulan lalu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Asia, Hemisfer Baru Dunia.

Dalam laporan tahun 2010, Bank Pembangunan Asia (ADB) juga menunjuk kepemilikan ponsel sebagai salah satu indikator meningkatnya kelas menengah. China dan India disebut sebagai pasar terbesar pertama dan kedua di dunia. Dalam sepuluh tahun sejak 2000, tingkat pertumbuhan kepemilikan ponsel di India, misalnya, mencapai 66 persen setahun.

Bahkan, ADB menengarai, tingkat penetrasi ponsel di banyak negara Asia tergolong luar biasa. Kalau di China dan India penetrasinya mencapai 50 persen-59 persen dari populasi, di beberapa negara lain dengan penduduk lebih sedikit penetrasinya lebih tinggi. Pakistan dan Indonesia 60 persen, Filipina 74 persen, bahkan Vietnam 80 persen.

Membantu demokratisasi

Terlepas dari berbagai dampak negatif ponsel—yang ”semakin pintar, semakin menjauhkan penggunanya dari realitas sosial”—harus diakui kehadiran alat komunikasi yang satu ini telah berkontribusi pada proses demokratisasi di berbagai belahan dunia.

Kejatuhan Presiden Tunisia Zine el-Abidine Ben Ali pada awal tahun ini bermula dari penggunaan ponsel untuk merekam demonstrasi atas kematian pedagang kaki lima di sebuah kota kecil Sidi Bouzid di Tunisia. Adalah Mohamed Bouazizi, pedagang sayur, yang melakukan aksi bunuh diri dengan membakar diri di depan gedung pemerintah setelah barang dagangannya dirampas petugas ketertiban. Upayanya untuk meminta kembali barang dagangan berakhir dengan sebuah tamparan di pipinya. Rakyat pun marah.

Aksi demonstrasi yang direkam menggunakan kamera ponsel milik sepupu korban, Ali Bouazizi, ini kemudian diunggah ke internet dan menyebar di seluruh Tunisia dan negara-negara Arab melalui jejaring sosial Facebook, sebelum akhirnya disiarkan oleh televisi Al Jazeera.

Seperti juga kejatuhan Ben Ali, Presiden Mesir Hosni Mubarak juga mengakhiri kepemimpinannya setelah berbagai rekaman keresahan di negeri itu tersebar melalui berbagai jaringan media sosial. Serupa dengan Tunisia, pola penyebarannya berawal dari berbagai rekaman demonstrasi yang diedarkan lewat ponsel.

Menyadari tentang kemungkinan rakyat Mesir meniru penggulingan Ben Ali, Mubarak—yang telah berkuasa selama 30 tahun—menutup layanan internet dan pesan singkat (SMS) ponsel, termasuk Blackberry Internet Service. Selain itu, jejaring sosial Twitter, Facebook, dan YouTube juga ditutup, termasuk Yahoo dan Google. Bahkan, empat operator utama penyedia layanan internet negeri itu—Link Mesir, Vodafone/Raya, Telecom Mesir, dan Etisalat Misr—juga diberangus.

Langkahnya ini sempat membuahkan kritik dari Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang menyerukan agar ”Pemerintah Mesir tidak mencampuri akses internet, provider ponsel, dan jaringan sosial yang bermanfaat dalam menghubungkan antarmanusia pada abad ke-21 ini”.

Memang bukan ponsel yang menggulingkan rezim otoriter di berbagai negara, melainkan desakan rakyat. Akan tetapi, sekurangnya alat ini telah memberikan bantuan signifikan dalam menumbuhkan iklim politik yang lebih terbuka.

(fit)

http://cetak.kompas.com/read/2011/12/09/05534491/menggulingkan.tirani.puluhan.tahun
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



 
"Jadi, Indonesia seperti ”dijajah” dua kali. Di satu sisi diserbu teknologi maju gadget, di sisi lain sebagai bangsa mulai kehilangan komunikasi langsung yang berkualitas. Mudah-mudahan kelas menengah kita tak sebatas berkemampuan memakai gadget, tetapi mampu menggunakannya untuk aktivitas yang produktif."
Kompas, Jumat, 09 Desember 2011
------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------

INDONESIA "TERJAJAH" DUA KALI

Oleh: Suhartono

Hanya dalam waktu dua jam, blog Alanda Kariza diakses ratusan orang. Bahkan, hari itu, 8 Februari 2011, sebanyak 9.000 orang mencoba membaca tulisan yang dibuatnya di www.alandakariza.com. Berikutnya, jejaring sosial Facebook dan Twitter juga Blackberry Messenger dan SMS beredar menggaungkan kegalauan Alanda. 

landa mempertanyakan tuntutan hukuman 10 tahun yang diterima ibunya, Arga Tirta Kirana. Mantan Kepala Divisi Hukum Bank Century ini didakwa melakukan kejahatan perbankan bersama mantan pimpinan dan pemilik Bank Century yang menerima tuntutan hukuman lebih ringan, 6-8 tahun.

Ribuan orang menyatakan rasa simpati mereka. Gaung keadilan pun menggema. Ini dilihat ahli komunikasi politik Universitas Indonesia, Effendi Gazali, sebagai contoh pemanfaatan ideal dan positif sebuah peralatan teknologi canggih yang kerap disebut gadget.

”Kehadiran teknologi melalui gadget berhasil menggalang kekuatan gerakan rakyat,” ujar Effendi, Selasa (6/12). Bersamaan dengan itu, gadget pun bisa menjadi sarana mengungkapkan rasa sayang kepada keluarga.

Komunikasi positif terlupakan

Namun, kehadiran gadget pada kelangan menengah, di tengah kondisi masyarakat yang gamang dengan persoalan sosial, politik, dan hukum, kini mendorong gejala konsumerisme, selebriti, dan sinisme pemilik gadget.

”Gejala konsumerisme dan selebriti ditandai dengan mengejar produk yang baru, apa pun risikonya. Akibatnya, kualitas komunikasi yang positif terlupakan. Tak jarang gadget digunakan untuk menjual diri,” tambah Effendi.

Bahkan, gadget digunakan melampiaskan kejengkelan dengan cara mengejek. ”Ketika PSSI kalah ditonton Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lantas muncul gambar lucu tentang kekalahan itu,” papar Effendi. Meski begitu, dia melihat kelompok kelas menengah Indonesia pengguna gadget belum tangguh secara ekonomi dan politik dalam membangun bangsa.

Asyik sendiri

Sebenarnya, teknologi komunikasi memudahkan hidup manusia. Orang dapat menghemat waktu, tenaga, dan pikiran sehingga punya banyak waktu untuk melakukan refleksi atau mengerjakan aktivitas lain yang memperkaya hidup. ”Kenyataannya, sering orang bergantung dan terobsesi pada teknologi sehingga waktu, tenaga, dan pikiran tersedot habis,” papar dosen Fakultas Psikologi UI, Bagus Takwim.

Kalaupun kemudian yang terjadi masing-masing anggota keluarga asyik sendiri dengan gadget-nya meskipun mereka duduk berhadapan semeja, Bagus menilai yang salah bukanlah teknologinya, melainkan komunikasinya.

”Ada indikator yang membuat hubungan keluarga tak dibina secara baik. Akibatnya, ada kebingungan dalam hubungan dengan pihak lain di luar keluarga. Keluarga tak dimaknai sebagai tempat berinteraksi intensif, konstruktif, hangat, dan harmonis,” lanjut dia.

Sebab itu, makna dan fungsi keluarga harus dikembalikan sebagai tempat menjalin hubungan baik dan tempat manusia belajar memahami serta menghargai. ”Keluarga perlu dipahami sebagai tempat mengembangkan diri, bukan tempat bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan jasmani,” kata dia.

Hal senada diungkapkan praktisi teknologi informasi, Onno W Purbo. Ia tidak menyalahkan teknologi, tetapi pemakai teknologi itu. Meskipun ada gadget, komunikasi tatap muka tetap perlu. Apalagi, komunikasi dengan gadget terbatas meski bisa memperpendek jarak dan mempercepat waktu. ”Kemajuan teknologi dan komunikasi secara fisik harus berdampingan,” kata dia.

Lebih dari itu, yang membuat Onno resah adalah jurang antara potensi pasar gadget di Indonesia dan produksinya. ”Lebih dari 50 persen penjualan gadget ada di Indonesia. Anehnya, tak ada pabrik gadget di sini. Kita cuma jadi pasar,” ujar Onno.

Jadi, Indonesia seperti ”dijajah” dua kali. Di satu sisi diserbu teknologi maju gadget, di sisi lain sebagai bangsa mulai kehilangan komunikasi langsung yang berkualitas. Mudah-mudahan kelas menengah kita tak sebatas berkemampuan memakai gadget, tetapi mampu menggunakannya untuk aktivitas yang produktif.

http://cetak.kompas.com/read/2011/12/09/05543749/indonesia.terjajah.dua.kali
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------




”Berkat yang telah kita terima harus dibagikan lagi kepada orang lain. Saya merasa telah mendapat berkat yang besar. Karena itu, saya harus bekerja lebih rajin agar berkat itu tetap ada,”

- Irwan Hidayat -

Kompas, Jumat, 09 Desember 2011
------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------

MEMBAWA PERUBAHAN LEWAT KERJA


Wali Kota Solo Joko Widodo adalah pengguna Twitter. Biasanya dia aktif tengah malam hingga pukul 01.00. Salah satu ”kicauan”-nya pada 17 Oktober lalu adalah keinginan mengganti mobil dinasnya dengan mobil rakitan buatan siswa SMK Solo Techno Park.

Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Nusa Tenggara Timur, Fary Francis, menggunakan jejaring sosial Facebook untuk berbagi isu yang dibahas di DPR. ”Ada yang memberikan masukan, ada yang memberikan dukungan,” kata Fary. Belakangan dia kurang rajin mengisi halaman Facebook-nya meski tetap memperbarui isi blognya.

Sementara Direktur Utama PT Sido Muncul Irwan Hidayat tak memiliki akun di media sosial. Dia lebih banyak menggunakan media televisi untuk menyosialisasikan jamunya. Mungkin karena sebagian besar pembeli jamu Irwan tidak membaca Facebook atau Twitter.

Meski begitu, yang menyatukan ketiga orang itu adalah komitmen pada kerja.

Tak ada yang meragukan komitmen Jokowi, panggilan Joko Widodo, yang terpilih kedua kali sebagai Wali Kota Solo. Dia berhasil mengajak birokrasi di kantor wali kota berubah. Pelayanan KTP sekarang bisa ditunggu, tidak harus seminggu seperti sebelumnya. Dia membuat sistem layanan satu atap dan menggratiskan perizinan untuk UKM. Pemindahan pedagang kaki lima Banjarsari juga berlangsung aman setelah dialog berkali-kali dengan pedagang.

”Mereka saya undang makan siang ke kantor. Kami tak bicara soal pindah. Saya hanya mendengar keinginan para pedagang. Setelah beberapa kali makan siang, baru saya ajak pindah,” kata Jokowi saat berbicara dalam memperingati ulang tahun ke-60 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Jakarta, akhir November lalu.

Sementara Irwan saat mewarisi perusahaan jamu dari ibunya memulai dengan 90-an karyawan dan kini sudah menjadi 4.000 orang. Pasarnya di lima benua di mana ada toko yang menjual produk dari Asia. Pasar ekspornya 5-6 persen dari total produksi 400 juta kantong jamu per tahun terdiri atas 200 jenis.

Jamu tradisional di tangan Irwan ”dirasionalkan” dengan menggunakan laboratorium untuk riset dan pengembangan. ”Saya belajar dari industri farmasi yang selalu mengutamakan tiga hal: rasa aman, kejujuran, dan rasional dalam setiap produk,” papar Irwan.

Di tengah sorotan miring masyarakat terhadap kinerja DPR, Fary tetap mengingat bahwa tanggung jawabnya adalah kepada masyarakat. Dia adalah satu di antara kurang dari 10 anggota DPR yang tahun 2010 membuat laporan tahunan tertulis sesuai ketentuan undang-undang.

Asal-usul sebagai anggota lembaga swadaya masyarakat membuat dia biasa berada di tengah masyarakat. ”Saya masih tetap tidur di rumah penduduk dan mandi di kali saat reses. Saya tidak ingin lupa, saya mewakili mereka di DPR,” katanya.

Satu kata-perbuatan

Dalam hidup keseharian, mereka mengutamakan kerja dan jujur dalam kata dan perbuatan.

Mobil dinas Jokowi tetap Toyota Camry 2002 peninggalan wali kota sebelumnya. Ada juga KIA Sedona yang dibeli tahun 2004 dan Kijang Innova 2007. Dia mempertahankan mobil dinasnya itu kendati Camry sudah enam kali mogok dan KIA satu kali mogok. Jokowi bertekad tak akan mengganti mobil dinas sampai jabatannya berakhir.

”Buat apa ganti, wong masih nyaman dipakai. Yang penting tak mengganggu kinerja. Kalau ganti mobil, paling nambah gagah, tetapi nilainya enggak dapat. Repot kalau nanti rakyat sampai mencibir,” kata Jokowi kepada Kompas, Rabu (7/12).

Mobil pribadi untuk keluarga bekas eksportir mebel ini Toyota Avanza dan Nissan Grand Livina. Makanan pun dia tak pilih-pilih. Sarapan dan makan malam kerap di kantor, termasuk meminta Suliadi, yang sudah 30 tahun bertugas sebagai pengemudi wali kota Solo, membelikan sego kucing berupa nasi dan potongan bandeng seharga Rp 1.000 per bungkus plus tahu dan tempe bacem.

Jokowi lebih banyak menghabiskan waktu berkeliling untuk mendengar keluhan masyarakat daripada diam di belakang meja. Biasanya keluhan masuk ke telepon selulernya melalui SMS, umumnya soal jalan rusak.

Irwan juga menjaga kepercayaan konsumen dengan berusaha jujur. Produknya selalu diberi tulisan agar konsumen menghubungi dokter terdekat jika mengalami gangguan karena mengonsumsi jamunya. Dia mengujikan jamunya ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

”Tak hanya mengklaim jamu berkhasiat tertentu tanpa lewat pengujian,” ucap Irwan yang bekerja mulai pukul 09.00 hingga malam. Dia ke kantor tanpa membawa tas dan jam tangan. Untuk tahu waktu, dia tinggal membuka iPhone-nya.

Pekerjaannya mulai dari dirut, merangkap sebagai direktur pemasaran, direktur riset, hingga direktur kehumasan. Karena itu, Irwan selalu sibuk dan membaca laporan di mobil Lexus LX 570-nya.

Fary tetap menggunakan Toyota Rush dan tinggal di rumah dinas anggota DPR di Kalibata, Jakarta, karena tak punya rumah pribadi di Jakarta. ”Kalau ada kelebihan, saya bagi dengan yang butuh,” tuturnya.

Irwan juga berbagi rezeki dengan yang kurang beruntung. Ada operasi katarak gratis dan pengobatan lain. ”Berkat yang telah kita terima harus dibagikan lagi kepada orang lain. Saya merasa telah mendapat berkat yang besar. Karena itu, saya harus bekerja lebih rajin agar berkat itu tetap ada,” ujar Irwan.

Sebagai kelas menengah dari pendapatan ataupun dari kesadaran untuk ikut bertanggung jawab menjaga kepentingan publik, mereka melakukannya melalui kerja nyata.

Memperkuat demokrasi

Solo boleh membanggakan diri berhasil mengubah birokrasinya menjadi lebih efisien dalam melayani kepentingan warga. Perizinan usaha dipercepat, biaya dihilangkan untuk UKM, anggaran dimaksimalkan untuk pembangunan yang langsung bermanfaat bagi warga. Dana yang sebelumnya berserak dalam berbagai program dikumpulkan untuk perbaikan kampung kumuh dan penataan pasar tradisional.

Jokowi, pertengahan Juli 2011, juga berani menolak rencana Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mendirikan bangunan modern di kawasan cagar budaya bekas pabrik es Saripetojo.

Dalam bentuk lain, Irwan mengajak konsumen menjadi lebih kritis, mengedepankan kejujuran dan memberikan rasa aman. Nomor ponselnya boleh diketahui siapa saja. Dengan begitu, dia dapat mengetahui langsung masukan dari siapa saja dan merespons dengan cepat.

Meski kemunculan kelas menengah Indonesia sempat terhambat karena independensi yang rendah pada penguasa dalam sumber daya ekonomi, mereka perlahan-lahan memperkuat demokrasi.

Globalisasi dan pasar bebas menerjang deras dan meneror sehingga menciptakan konsumen yang puas berhenti sebatas mengonsumsi, tetapi tetap lahir mereka yang memiliki kesadaran untuk tak hanyut. Bahwa ada tanggung jawab kewargaan yang harus dibangun dan dikembangkan demi kelanggengan masyarakat sendiri.

(EKI/SON/HAR/NMP)

http://cetak.kompas.com/read/2011/12/09/0502264/membawa.perubahan.lewat.kerja
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar