Minggu, 27 Februari 2011

Melawan Gravitasi Jakarta





Ah.... Sepi...


I
I
I


Kawan-kawan,.. Mau kemanakah kalian semua?


Kami hendak ke Jakarta


Apa yang mau kalian lakukan di sana?


Kami mau mengubah nasib diri
Kami mau meniti karir
Kami ingin sukses
Kami ingin terkenal
Kami ingin menjadi yang terbaik di negeri ini.


Kawan-kawan.. 
Tak bisakah kita lakukan tanpa harus ke sana?
Bukankah Jakarta sudah penuh manusia pencari
Dari pemuda-pemudi lugu desa-desa
hingga kaum pandai kampus-kampus ternama
seperti kalian kawan-kawanKu?
Bukankah Indonesia itu luas 
untuk kita perjuangkan hidup dan cita-cita kita?


Ah kau ini masih tetap lugu...
Apa yang bisa kau harapkan dari tempat kita ini?
Kami bukan manusia super seperti dirimu.
Kami tak punya pilihan.
Kami tak kuasa melawan arus alam.


Kawan-kawan, bukankah aku sama seperti kalian..
Kaum manusia biasa tak punya kuasa
Juga bukan siapa-siapa
Bukankah kita sama?
Tapi pernahkah kawan-kawan bermimpi
kita bersama-sama tak harus ke sana untuk mengubah nasib?
Kita bisa bersama-sama mengisi negeri ini.
Tak pernahkah kawan-kawan bermimpi itu?


Bahkan mimpi pun menjadi kemewahan buat kami.
Hanya Jakartalah mimpi kami tergambar.


Baiklah kawan-kawan...
Semoga kalian tak berlama-lama di sana.
Kasihan orang-orang terbuang yang sudah lebih dulu di sana
bersaing lagi dengan kalian manusia-manusia unggulan.


.............


Moga-moga ada keajaiban agar aku pun tak ke sana
karena tanpa kalian kawan-kawan.
Aku bukan siapa-siapa yang bisa melawan arus alam.
Tunggulah 10-20 tahun lagi aku akan mencari kalian kawan-kawanku.
Semoga kita bisa isi negeri kita yang luas ini.
Semoga.....


---

Rabu, 23 Februari 2011

TAK ADA PEMBERONTAKAN, (MAKA) TAK ADA KEBANGKITAN, TAK ADA PERUBAHAN

Kebangkitan bisa diidentikkan dengan pemberontakan. Dan pemberontakan pasti menandakan adanya keinginan akan perubahan. Ini sesuatu yang wajar dalam kehidupan dan peradaban manusia.

Salah satu kemampuan dasar yang membuat manusia selalu menginginkan perubahan adalah bahwa ia selalu berpikir dan tak pernah merasa puas (puas tak ada batasnya). Manusia purba saja sudah menunjukkan gejala itu. Ia tak puas dengan caranya mendapatkan makanan yang terlalu sederhana dan susah, misalnya menangkap buruan dengan tangan kosong. Ia menginginkan yang lebih efisien, maka ia berpikir (siapa bilang orang purba gak bisa berpikir), mencoba-coba, dan jadilah alat berburu (misalnya tombak). Keinginan untuk sesuatu yang efisien menunjukkan bahwa manusia itu telah memiliki suatu tujuan yang hendak dicapai yaitu kemudahan berburu.
Hal-hal seperti itulah yang lambat laun merubah kehidupan dan peradaban manusia hingga dapat bergerak maju hingga kini. Secara sadar atau tidak, manusia purba itu sudah memberi contoh pemberontakan dia terhadap cara (sistem) berburu yang hanya mengandalkan tangan lalu kemudian digantikan dengan menggunakan alat. Itu wujud pemberontakan yang dasar.

Kosmosentris dan Teosentris
Orang-orang kuno zaman dahulu adalah manusia yang kapasitas berpikir dan wawasannya masih sangat terbatas sekali. Namun manusia adalah makhluk yang selalu ingin tahu (sesuatu dipelajari manusia bukan karena nilai gunanya, tapi pertama-tama karena rasa penasaran ingin tahu). Alam menyediakan berbagai hal yang mengorek rasa ingin tahu. Dengan kapasitas manusia yang terbatas, banyak hal-hal pada alam yang tak terjelaskan dan menjadi sebuah misteri bagi diri manusia. Mereka kagum akan misteri alam tersebut. Kekaguman yang berlebih membuat manusia begitu menghormati dan bahkan menyakralkan serta memitoskan alam. Misalnya begini, manusia dulu sering melihat petir di langit. Mereka bingung dan bertanya-tanya. Kemampuan berpikirnya terbatas sementara rasa penasarannya terus mendesak. Maka ia membuat kesimpulan sederhana bahwa alam sedang marah. Lalu berpikir lagi bagaimana alam tidak marah. Maka disimpulkan kembali bahwa alam harus dihormati, diberi sesembahan. Ini dimitoskan kepada anak cucunya terus menerus (tentu kebanyakkan secara lisan macam dongeng). Kira-kira seperti itulah periode kosmosentris, suatu masa dimana manusia sadar menjadi bagian kecil dari alam yang maha dahsyat (kosmo = semesta; sentris = pusat).
Namanya manusia ia cepat bosan dengan sistem alam yang maha dashyat. Maka ribuan tahun kemudian ia mulai memberontak terhadap cara lama yang menghambakan alam. Mereka berpikir bahwa ada kekuatan lain yang lebih besar yang bersifat tunggal (ilahiah) jauh di luar alam itu sendiri. Mereka mengonsepkannya sebagai Tuhan. Alam bukan yang hebat lagi, mereka menjawab keberadaan alam sebagai hasil penciptaan dari Tuhan. Maka segala mitos dan kesakralan alam mulai ’didekonstruksi’ dan jadilah pemahaman/pemaknaan baru. Orang-orang Israel kuno bisa dikatakan sebagai pelopornya. Konsep ini begitu berkembang pesat yang akhirnya mewarnai dunia (hingga hari ini). Di Eropa sendiri hal ini begitu luar biasa dan sangat mempengaruhi perkembangan peradaban mereka pada abad pertengahan. Inilah yang disebut periode teosentris, bahwa segala hal berpusat pada Tuhan dan manusia hanya bagian kecil yang lemah.

Dinamika Eropa
Eropa zaman dahulu sudah terkenal sebagai sumber kebijaksanaan. Jika Di Timur Tengah melahirkan monoteisme, di India berkembang Hindu dan Budha, sementara di Cina muncul Konfusianisme dan Taoisme, maka di Eropa berkembang filsafat yang dimotori oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles (mereka legenda sepanjang masa dunia filsafat). Kebudayaan Yunani dan juga Romawi begitu berkibar pada masa-masa ini. Pengaruh pemikiran filsafat ini meyebar sampai ke Timur Tengah dan disimpan dalam bentuk literatur arab. Ketika Eropa guncang, saling berperang atau diserang, maka banyak karya-karya berharga itu yang hancur dan lenyap. Pada masa ini pusat peradaban beralih ke Timur Tengah. Eropa sendiri seperti mengalami peradaban yang terputus. Ketika memasuki abad pertengahan, gereja telah bergitu berkuasa dan menjadi kekuatan berdampingan dengan kekuasaan raja. Pada masa ini tanah adalah sesuatu yang berharga dan penguasa tanah adalah orang yang sangat berkuasa (raja dan bangsawan adalah penguasa tanah, inilah feodalisme!). Pada masa inilah istana dan gereja-gereja megah lahir. Sementara itu ilmu pengetahuan dan kebenaran dimonopoli ketat oleh institusi strategis ini. Kata skolastik lahir karena ilmu pengetahuan ada dan berkembang ‘hanya’ di dalam biara. Para biarawan adalah juga ilmuwan. Tugasnya tak hanya berdoa tapi juga menulis serta menerjemahkan literatur-literatur arab yang kaya pemikiran filosofis yang justru akar asalnya adalah Eropa sendiri (dulu biara dilengkapi perpustakaan yang lengkap dan megah). Rakyat sendiri terpinggirkan dari perkembangan ilmu pengetahuan sehingga, bisa dikatakan, menjadi bodoh dan siap disantap penguasa.
Pada titik-titik kejenuhan abad pertengahan inilah mulai muncul pemberontakan tatanan dan cara pandang manusia. Eropa pelan-pelan sedang mendaki masa pencerahannya, renaissance (kelahiran kembali), di mana berbagai kebudayaan Eropa dan karya-karya pemikiran zaman di mana legenda filsafat masih hidup mulai menyebar. Kebanyakan masih kecil-kecilan dan tidak dirasakan rakyat banyak dan oleh sebab itu mudah diredam. Misalnya Copernicus dan  Galileo (pemberontakan dalam ilmu pengetahuan). Ada juga pemberontakan ’besar’ yang juga menyurut perubahan bidang lainnya, seperti pemberontakan kalangan Protestan yang akhirnya juga mendorong gereja untuk menjadi lebih modern (Loyola dengan Serikat Yesuit). Dan akhirnya pemberontakan besar terjadi di Perancis mengakhiri masa kekuasaan absolut raja dan gereja. Revolusi Perancis bersemboyan Liberte (kebebasan), Egalite (persamaan), dan Fraternite (persaudaraan) menjadi landasan utama lahirnya demokrasi dan tata pemerintahan modern. Inilah momentum awal kebangkitan Eropa. Di sisi lain akibat berkembangnya ilmu pengetahuan (yang tentu sudah tidak disimpan penguasa lagi) lahirlah teknologi yang menyebabkan berubahnya pola berproduksi barang. Muncul Revolusi Industri di Inggris yang mengubah tata ekonomi dan kehidupan masyarakat Eropa. Ekonomi modern lahir dari sini.

Antroposentris, Modern, dan Postmodern
Kebangkitan Eropa terjadi ketika manusia mulai mengukuhkan rasionalisme (akal budi, logika) dan empirisme (pembuktian secara indrawi, bisa diartikan pengalaman) sebagai landasan utama dalam berkehidupan. Ilmu pengetahuan begitu berkembang pesat. Alam mulai dijelaskan secara ilmiah dan mitos-mitos mulai dipreteli secara cermat. Terjadi banyak penemuan baru yang menandai awal zaman modern. Segala hal dilihat berdasar nilai guna bagi manusia dan kemanusiaan (tren humanisme). Ilmu lahir untuk manusia dan manusia harus berpikir untuk bisa bertahan hidup. Ketergantungan pada nasib (bisa diartikan juga pada Tuhan) berkurang secara perlahan. Inilah yang di sebut masa antroposentris, bahwa segala hal berpusat pada manusia dan manusia harus berusaha untuk dirinya sendiri (sekularisme dan ateisme lahir disini).
Ketika manusia jenuh akan tata nilai modern yang kaku, yang hanya melihat nilai guna semata di mana segala hal harus efisien, maka muncul pemberontakan kembali. Kemapanan modern diberontak oleh anak-anak muda. Mereka melihat bahwa kemapanan modern justru melahirkan peperangan (PD 1, PD 2, Perang Vietnam, dll, yang melibatkan teknologi canggih), kerusakan lingkungan (alam dieksploitasi habis-habisan untuk tujuan kegunaan bagi manusia), bahkan diskriminasi nilai-nilai lokal (budaya, adat istiadat, agama dikikis oleh tatanan internasional). Kebangkitan anak muda ini menyebar luas berkat peran dunia seni dan hiburan (yang dilipatgandakan oleh kemajuan teknologi). The Beatles menjadi salah satu ikon pemberontakan yang melalui musik menyampaikan pemikiran-pemikiran dunia baru (grup musik lain juga demikian). Zaman gondrong-gondrongan dan warna-warni inilah menandai zaman Postmodern. Tak ada penafsiran tunggal atas suatu makna. Siapa saja boleh menjadi dirinya sendiri. Inilah kebangkitan kaum muda yang membuat dunia lebih berwarna dan kita rasakan hingga saat ini.

Indonesia Di mana-mana
Suatu ketika di masa depan manusia Indonesia sudah menguasai dunia. Dia ada memenuhi Eropa, Amerika, Afrika, bahkan di kutub. Dia ada di mana-mana.  Lalu di mana bangsa lainnya? Rupanya mereka telah berkoloni ke planet, bahkan ke tatasurya lain. Mereka meninggalkan bumi yang sumpek dengan mengandalkan kemajuan ilmu pengetahuannya. Kenapa manusia Indonesia tidak demikian? Rupanya mereka masih hanyut pada tahayul, jualan mimpi, dan ketidakrasionalan. Generasi mudanya tak mampu memanfaatkan berbagai pilihan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi karena lebih tertarik pada hal-hal hiburan, remeh temeh, pencitraan dangkal, dan duitnya habis dibakar jadi asap (maksudnya untuk konsumsi BBM). Kaum mudanya terlalu terlena oleh kemapanan zaman sehingga lupa memberontak, bangkit, dan berubah. Kaum mudanya lebih banyak berharap pada nasib dan tak percaya kemampuan sendiri (misalnya tak ‘pede’ bahwa ia bisa menulis sehingga harus copy paste). Padahal perkembangan peradaban manusia telah menunjukkan bahwa tidak ada kemapanan abadi (terlalu konyol melihat agama sama persis seperti ketika ia dilahirkan). Segala hal harus dirombak dan diperbarui sesuai konteks zaman. Dan merombak adalah tugas kaum muda karena merekalah yang masih punya energi besar dan pikiran segar. Jika kaum mudanya tidak demikian, tidak ada kebangkitan, tidak ada kemajuan. Kaum muda, ayo bangkit, ayo berontak, buat perubahan!








*Tulisan yang dibuat untuk buletin K-Mu! (Katolik Muda Berbicara) edisi 02, Juni 2008.

Rabu, 16 Februari 2011

Sastra-Komik Simon Hureau




Pada tanggal 14 hingga 19 Februari 2011 berlangsung 
pameran kartun dan komik Simon Hureau.
Pameran berlangsung di Alliance Francaise, Denpasar.
Kegiatan acara terdiri dari pameran karya, diskusi pada pembukaan pameran, 
dan workshop pada tanggal 15 hingga 17 Februari.
Melalui dua orang teman saya dapat undangan internet 
pameran karya seniman Perancis ini.


Beberapa hal keingintahuan muncul akan acara ini.
Pertama, keingintahuan tentang komik 'gaya' Perancis.
Maklum bahwa Indonesia sudah terlalu dekat 
dengan komik gaya Jepang dan pula Amerika (walau sedikit).
Kedua, keingintahuan tentang 'sastra-komik' yang tertera pada poster undangannya.
Apa itu 'sastra-komik' yang membedakannya dengan 
komik-komik lainnya di sekitar kita?
Ketiga, keingintahuan tentang si seniman.


Dengan dasar itu, di tengah-tengah lembur deadline 
saya menyempatkan diri menghadiri acara itu, 
utamanya untuk diskusi di pembukaan pameran jam 7 malam.
Beruntung bahwa sesi diskusi belum dimulai 
ketika saya baru sampai meskipun sudah 30 menit berlalu dari jadwal.
Pameran yang terbilang sederhana ini pun 
ternyata dibuka tanpa 'pembukaan' dan diisi tanpa diskusi 'formal'.
Semua berlangsung cair dan bebas.
Pengunjung bisa langsung menikmati karya dan bertanya atau berdiskusi langsung dengan sang seniman dalam bahasa Perancis (kalau bisa) dan Inggris, 
ataupun boleh bahasa Indonesia dengan bantuan penerjemah direktris Alliance Francaise Denpasar, Audrey Lamou.


Kesederhanaan pameran tidak mengurangi rasa apresiasi.
Isi karya pada lembaran-lembaran kertas yang langsung 
ditempel begitu saja tanpa bingkai di dinding lebih menarik perhatian.
Karya-karya ini cenderung padat tulisan, 
tidak berplot rapi maupun beralur cerita umum, 
sebagian besar karya lebih cenderung deskripsi sesuatu 
khususnya lingkungan selama perjalanan, 
dan yang menjadi kekuatan selanjutnya 
adalah pada goresan yang dinamis serta spontan.


Gambar dibuat tanpa bantuan penggaris 
dan mungkin cukup bantuan sketsa pensil sebelum ditumpuk tinta.
Sayang bahasa menjadi kendala dalam memahami kartun dan komik ini.
Namun masih bisa dipahami melalui bahasa gambar yang cukup detail.


Yang menarik bagi saya, mungkin juga pengunjung lain, 
adalah buku sketsa perjalanan (mungkin lebih tepat sebagai diari bergambar) 
yang berisi rekaman visual akan tempat-tempat yang pernah dikunjungi.
Tampaklah di situ semisal suasana pingir jalan kota Jogjakarta, 
lingkungan alam Bali, hingga gambaran kamar menginap.
Di lembaran itu selain tertuang goresan-goresan pensil, tinta cat air, 
juga terdapat tempelan-tempelan kertas iklan, kemasan produk, dan tanaman.
Paling mengagetkan adalah tempelan hewan-hewan mati 
seperti kupu-kupu, cicak, kecoa, ular, tikus, 
dan sebagainya yang mungkin ditemuinya sepanjang perjalanan.
Entah bagaimana proses awal keberadaan hewan-hewan tersebut di situ.
Semua sudah menyatu, terawetkan bersama buku itu.


Melihat ketekunan, keterampilan, dan keunikan melalui karya-karya itu 
tidak heran jika para Kritikus di Perancis mengakui Simon 
sebagai salah satu ahli komik terbaik di zamannya. 
Kehebatannya bisa dilihat melalui karya-karyanya yang berjudul 'Office Extensions', 
'Empire Of High Walls', atau 'Everything Must Go'.
Baru-baru ini Simon berpartisipasi dalam proyek kolektif 
seperti 'Under The Sign of Dolphin', buku anak-anak, 
dan 'Suburbs Nomadic', buku perjalanan kerja yang didedikasikan untuk Paris.


Simon Hureau berangkat dari lulusan ilmu alam, 
memilih hukum dan fine art 
sebelum akhirnya mendaftar di Sekolah Tinggi Seni Dekoratif jurusan ilustrasi.
Tahun 2004, Dove dan perusahaan sejenis mengakui bakat 
dan kemampuannya hingga menjadi seperti sekarang.
Simon Hureau telah memilih jalannya. 


Sebelum saya pulang memilih jalan saya sendiri 
Simon sempat membubuhkan tanda tangan 
dan usapan tinta pada bukunya yang saya beli.
Sebuah oleh-oleh yang akan saya ceritakan pada kawan-kawan yang lemburan.


----------------------
Rekaman visual lingkungan sekitar.
Ini tikus asli yang sudah mati!
Entah apakah tidak bau membawa ini ke mana-mana



Suasana pameran di Alliance Francaise:



Simon Hureau menandatangani dan mewarnai bukunya yang dibeli.

I
I
I

*Sebagian informasi diperoleh melalui Al'affiche, buletin Alliance Francaise Denpasar edisi Januari-Februari 2011

Selasa, 15 Februari 2011

Ini Bukan Tentang Valentine


"Apa bedanya sosialisme dan komunisme?"

Seorang teman berjiwa gembira bertanya kepada saya si tukang melamun 
sekitar pertengahan 2010.
kaget juga, pertanyaan kritis-menelisik keluar dari seorang penceria sementara saya yang perenung penggemar sospolbudhankam justru tak pernah merenungkan hal itu.


------------------------

Mungkin penjaga kasir swalayan keheranan melihat saya berbelanja:

"Gila, ini orang kurus kecil rakus sekali.
Beli logistik makanan banyak banget.
Pagi beli, malem beli, besok beli, lusa beli lagi."

Ah... 

Itu penjaga tidak tahu nasib saya tukang lembur.
Ini logistik makanan begitu berarti 

dalam menemani hari-hari panjang penuh kerjaan.
Mulut dan perut saya wajib ikut bekerja agar solider dengan mata, otak,
dan tangan yang diperas untuk 'stan-by & Go!' sepanjang waktu.

(Itu kira-kira jawaban otak saya dalam diam)

Begitu pula kawan-kawan senasib di garis depan
yang juga butuh solidaritas antara divisi pencernaan 

dengan divisi pemikiran dan tindakan.
Logistik makanan ini menjadi bagian dari gerakan solidaritas senasib.
Saling berbagi makanan antar teman-teman yang bernasib harus lembur.


Selagi lembur tersempatkanlah saya membaca tulisan Arief Budiman.
Tulisan tentang sosialisme.
(Tentu sempat. Ngesave kerjaan bisa selama baca artikel dua halaman A5)

Kira-kira pikiran saya membaca:

Sosialisme itu bukan melulu komunisme.
Sosialisme juga bukan harus Marxis semua.
Juga bukan tentang ditaktor sebagaimana Castro, Soekarno, Chaves, dsb.
Tapi ternyata sejak Yunani kuno sosialisme itu sudah ada,
selalu diusahakan oleh para pemikir-arif bijaksana kemasyarakatan Yunani.

Dan yang menarik: 

Dalam sosialisme, imbalan material bukan menjadi tujuan utama 
tetapi martabat sebagai manusia yang membantu orang-orang disekitarnya.
Sosialisme sebagai cita-cita bahkan menjadi inti dari semua agama besar di dunia.
(Agama mana yang tidak mencita-citakan kebersamaan, kemanusiaan, dan keadilan (selain jualan surga!)?)




Dalam kasus saya (dan juga teman-teman) berbagi makanan di garis depan bisa dikatakan sebagai sosialisme.
Dan karena dilakukan atas inisiatif individu maka disebut sosialisme individual.
Persis sebagaimana tolong menolong antar tetangga 

yang selama ini sudah berlangsung.
(apa sudah punah di kota-kota kita?)

Memang sosialisme bisa memicu 'kemalasan'.

Setiap orang mendapat sama dengan yang lain tanpa berusaha.
Orang bisa makan tanpa perlu susah payah membeli 

dan tak perlu susah-susah cari uang karena toh pasti dapat.
Dan ide kapitalis pun jadi layak masuk, diterima akal.

"Jual ke teman-temanmu, keuntungan dikumpulkan, beli lebih banyak lagi, jual lebih banyak lagi, untung lebih banyak lagi",
gitu kira-kira saran kawan rasional dari awang-awang.

Tapi rasanya, sekali lagi ini rasanya, kejam sekali berkapitalis makanan
dalam situasi darurat garis depan beginian.
Apalagi melihat begitu pucatnya wajah teman-teman senasib di garis depan
yang terisolir dari pusat logistik dan keramaian malam hari.
kapitalisme bisa membuat wajah teman makin pucat
sementara saya makin cerah menghitung untung jualan 

plus surplus upah lemburan.


Dalam alam pikiran saya kapitalisme wajar dalam upaya apresiasi prestasi.

(Bahkan kapitalisme makin wajar ketika dilengkapi 'Welfare State' 
yang mengoreksi sisi kejam 'gila' liberal.)
Namun perlu kata kunci 'cukup' dalam diri
Sebagaimana kata-kata arsitek Adi Purnomo:

"Cukup adalah cukup"

Surplus upah lemburan haruslah cukup untuk kebutuhan sebulan.
Biarlah surlus logistik makanan cukup sebagai solidaritas, 

tak perlu jadi komoditas.

"Bumi cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan, tapi tidak akan cukup untuk keserakahan."
Begitu kan lontaran filosofis Mahatma Gandhi?

-------------------------------

"Bung, pikiran dan tindakan berbagi ini amat mulia, gimana kalo kita terapkan jadi sistem dalam lingkungan garis depan ini, menjadi tatanan masyarakat?"

"Maksudnya?"

"ya, semua yang punya makanan musti membagi dengan rekannya, gak ada milik pribadi ekslusif, semua milik bersama, sama rasa, sama rata, disistemkan, diMarxiskan!
Dunia yang lebih adil kan?"

Lagi-lagi kawan rasional sungguh cerdas mengkalkulasi.

Dan sekali lagi saya kurang sependapat.

Sesuatu yang diwajibkan rasanya 'kurang elok',
tidak lebih elok daripada inisiatif dan kesadaran diri.
Lagipula adil bukan berarti setiap orang dapat satu, serba pukul rata.
Tapi proporsional dan kontekstual berdasar keunikan.
Masyarakat kota di Jawa tentu tak bisa 'dipukul rata' dengan Papua.
Harus melihat apa yang telah dikorbankannya untuk mencapai/menghasilkan sesuatu.

(seharusnya orang-orang di Papua mendapat lebih dari di Jawa melihat tantangan geografis dan alam).


"Sebentar, lalu caranya gimana?"

Itulah susahnya.
Butuh pendalaman masalah.
Tapi perlu diperjelas bahwa cara-cara keras, ditaktorial,
sistem-sistem kaku, paksa-paksaan sepatutnya tidak perlu muncul.
Sayang memang jika akhirnya 'sistem mesin' (dingin-kaku-keras-ketat) 

menggantikan cara-cara manusiawi,
menggantikan hubungan saling percaya antar manusia.

Semua bergerak berdasar sistem kepastian,
hubungan manusia menjadi hubungan kode matematika benar salah.

(payahnya manusia suka menggadaikan aset kepercayaan itu. 

Mungkin karena mahal harganya!)

Dalam situasi begini saya hanya bisa berandai-andai:
Yang berkelebihan materi mau berbagi materi.
Yang surplus tenaga mau menyumbang tenaga.
Yang kuat mau melindungi yang lemah.
Yang berpengetahuan mau menyebar pengetahuannya.
Yang berwaktu mau meluangkan perhatian untuk sesamanya.

Tak ada sekat, tak ada jurang lebar..
Semua dengan senang hati berlandas niat baik dalam diri...

(Indah memang...

Sebagaimana 'Imagine'-nya John Lennon)

----------------------------------------------------

"Bung, penjelasan anda muter ke mana-mana.
Panjang, lebar, ngalor, ngidul, nggak jelas kayak tampangmu.
Sebenarnya apa sih bedanya sosialisme dan komunisme?"

"Haduh,.. saya gak punya waktu untuk jelasinnya.
Baca sendiri aja deh uraian Arief Budiman dalam 

'Pergulatan Intelektual Dalam Era Kegelisahan'.
Mudah dimengerti kok.
Daah,.. musti lembur lagi nih."

"?"

"Oh ya, met valentine!
Jangan cuma berbagi untuk pasanganmu aja lho"

"??"


I
I


Kalo ada yang ngotot tanya, jawab aja:
Sosialisme itu lebih lunak, Komunisme lebih keras. 
Itu perbedaan pada proses mencapai, tapi tujuannya sama.

Sabtu, 12 Februari 2011

Malam Jelang 13 Februari 2011


Wuih... nyaris malam minggu ini pulang pagi dini hari lagi dengan sepeda melewati sawah dan sapi-sapi. 
Tapi Kapten Operasi Kemang Podium berkata:


"Prajurit, malem ini kalian gak usah lembur.
Biar saya hadapi sendiri dulu perintah terbaru ini. 
Kalian nikmati saja malem minggu ini di garis belakang. 
Persiapkan mental kalian untuk pertempuran non-stop hingga tanggal 16 Februari."


"Siaapppp Kapten!!!"



Dan beberapa jam lalu seorang anggota tim Operasi Kemang Podium berjiwa sosialis menghubungi:

"Prajurit Errik! Posisi masih di garis depan? Apa yang bisa dibantu?"

"Ah prajurit Ivann, tak ada yang perlu dibantu malem ini. 

Kita mundur ke garis belakang menikmati kebebasan malam minggu meski sendirian."

"Lha katanya begadang lembur?"

"Ah prajurit Ivann, malem minggu ini kesempatan begadang lembur bersama Beatles, White Shoes, Sore, REM, King Of Konvenience 
serta sahabat baru Edward Sharpe and The Magnetic Zeros, untuk hal2 yang selain di garis depan"

"?"

"Sejak kemaren koran menganggur belom dibaca, 
buku2 pada sewot gak dikutak-katik, ide-ide terus mengantri untuk dieksekusi menjadi kartun-komik propaganda, juga otak begitu haus ingin melihat apa yang terjadi di dunia luar sana, tuh Mesir ama Temanggung misalnya."

"??"

"Nah itu para sahabat akan menemani sampe pagi dalam kesendirian ala kabin kapal selam pecah menyelesaikan antrian soal-soal."

"Gak mudeng.."

"Udah,.. besok pagi kita bertugas kembali ke garis depan. Persiapkan mental dan logistik karena selanjutnya dari Operasi Kemang Podium kita akan terus bertempur untuk operasi lain hingga tanggal 23 Februari. Prajurit Ivann, persiapkan dirimu!"

"Ooo pantes Kapten Kemang Podium memberi kita izin."

"Ya, begitulah prajurit...."

Kamis, 03 Februari 2011

Tim Yang Efisien


I
I
I


"Masyarakat di kota besar terus-menerus didera beban pekerjaan dan target. Itu membuat mereka selalu dihitung dari sisi produktivitasnya, sementara personalitasnya sebagai manusia tenggelam. Warga kota larut dalam berbagai hiruk-pikuk setiap hari, tetapi asing satu sama lain, bahkan asing terhadap diri sendiri."


- F Budi Hardiman, Pengamat sosial dan pengajar filsafat STF Driyarkara -
(sebagaimana dimuat dalam Kompas)