Rabu, 23 Februari 2011

TAK ADA PEMBERONTAKAN, (MAKA) TAK ADA KEBANGKITAN, TAK ADA PERUBAHAN

Kebangkitan bisa diidentikkan dengan pemberontakan. Dan pemberontakan pasti menandakan adanya keinginan akan perubahan. Ini sesuatu yang wajar dalam kehidupan dan peradaban manusia.

Salah satu kemampuan dasar yang membuat manusia selalu menginginkan perubahan adalah bahwa ia selalu berpikir dan tak pernah merasa puas (puas tak ada batasnya). Manusia purba saja sudah menunjukkan gejala itu. Ia tak puas dengan caranya mendapatkan makanan yang terlalu sederhana dan susah, misalnya menangkap buruan dengan tangan kosong. Ia menginginkan yang lebih efisien, maka ia berpikir (siapa bilang orang purba gak bisa berpikir), mencoba-coba, dan jadilah alat berburu (misalnya tombak). Keinginan untuk sesuatu yang efisien menunjukkan bahwa manusia itu telah memiliki suatu tujuan yang hendak dicapai yaitu kemudahan berburu.
Hal-hal seperti itulah yang lambat laun merubah kehidupan dan peradaban manusia hingga dapat bergerak maju hingga kini. Secara sadar atau tidak, manusia purba itu sudah memberi contoh pemberontakan dia terhadap cara (sistem) berburu yang hanya mengandalkan tangan lalu kemudian digantikan dengan menggunakan alat. Itu wujud pemberontakan yang dasar.

Kosmosentris dan Teosentris
Orang-orang kuno zaman dahulu adalah manusia yang kapasitas berpikir dan wawasannya masih sangat terbatas sekali. Namun manusia adalah makhluk yang selalu ingin tahu (sesuatu dipelajari manusia bukan karena nilai gunanya, tapi pertama-tama karena rasa penasaran ingin tahu). Alam menyediakan berbagai hal yang mengorek rasa ingin tahu. Dengan kapasitas manusia yang terbatas, banyak hal-hal pada alam yang tak terjelaskan dan menjadi sebuah misteri bagi diri manusia. Mereka kagum akan misteri alam tersebut. Kekaguman yang berlebih membuat manusia begitu menghormati dan bahkan menyakralkan serta memitoskan alam. Misalnya begini, manusia dulu sering melihat petir di langit. Mereka bingung dan bertanya-tanya. Kemampuan berpikirnya terbatas sementara rasa penasarannya terus mendesak. Maka ia membuat kesimpulan sederhana bahwa alam sedang marah. Lalu berpikir lagi bagaimana alam tidak marah. Maka disimpulkan kembali bahwa alam harus dihormati, diberi sesembahan. Ini dimitoskan kepada anak cucunya terus menerus (tentu kebanyakkan secara lisan macam dongeng). Kira-kira seperti itulah periode kosmosentris, suatu masa dimana manusia sadar menjadi bagian kecil dari alam yang maha dahsyat (kosmo = semesta; sentris = pusat).
Namanya manusia ia cepat bosan dengan sistem alam yang maha dashyat. Maka ribuan tahun kemudian ia mulai memberontak terhadap cara lama yang menghambakan alam. Mereka berpikir bahwa ada kekuatan lain yang lebih besar yang bersifat tunggal (ilahiah) jauh di luar alam itu sendiri. Mereka mengonsepkannya sebagai Tuhan. Alam bukan yang hebat lagi, mereka menjawab keberadaan alam sebagai hasil penciptaan dari Tuhan. Maka segala mitos dan kesakralan alam mulai ’didekonstruksi’ dan jadilah pemahaman/pemaknaan baru. Orang-orang Israel kuno bisa dikatakan sebagai pelopornya. Konsep ini begitu berkembang pesat yang akhirnya mewarnai dunia (hingga hari ini). Di Eropa sendiri hal ini begitu luar biasa dan sangat mempengaruhi perkembangan peradaban mereka pada abad pertengahan. Inilah yang disebut periode teosentris, bahwa segala hal berpusat pada Tuhan dan manusia hanya bagian kecil yang lemah.

Dinamika Eropa
Eropa zaman dahulu sudah terkenal sebagai sumber kebijaksanaan. Jika Di Timur Tengah melahirkan monoteisme, di India berkembang Hindu dan Budha, sementara di Cina muncul Konfusianisme dan Taoisme, maka di Eropa berkembang filsafat yang dimotori oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles (mereka legenda sepanjang masa dunia filsafat). Kebudayaan Yunani dan juga Romawi begitu berkibar pada masa-masa ini. Pengaruh pemikiran filsafat ini meyebar sampai ke Timur Tengah dan disimpan dalam bentuk literatur arab. Ketika Eropa guncang, saling berperang atau diserang, maka banyak karya-karya berharga itu yang hancur dan lenyap. Pada masa ini pusat peradaban beralih ke Timur Tengah. Eropa sendiri seperti mengalami peradaban yang terputus. Ketika memasuki abad pertengahan, gereja telah bergitu berkuasa dan menjadi kekuatan berdampingan dengan kekuasaan raja. Pada masa ini tanah adalah sesuatu yang berharga dan penguasa tanah adalah orang yang sangat berkuasa (raja dan bangsawan adalah penguasa tanah, inilah feodalisme!). Pada masa inilah istana dan gereja-gereja megah lahir. Sementara itu ilmu pengetahuan dan kebenaran dimonopoli ketat oleh institusi strategis ini. Kata skolastik lahir karena ilmu pengetahuan ada dan berkembang ‘hanya’ di dalam biara. Para biarawan adalah juga ilmuwan. Tugasnya tak hanya berdoa tapi juga menulis serta menerjemahkan literatur-literatur arab yang kaya pemikiran filosofis yang justru akar asalnya adalah Eropa sendiri (dulu biara dilengkapi perpustakaan yang lengkap dan megah). Rakyat sendiri terpinggirkan dari perkembangan ilmu pengetahuan sehingga, bisa dikatakan, menjadi bodoh dan siap disantap penguasa.
Pada titik-titik kejenuhan abad pertengahan inilah mulai muncul pemberontakan tatanan dan cara pandang manusia. Eropa pelan-pelan sedang mendaki masa pencerahannya, renaissance (kelahiran kembali), di mana berbagai kebudayaan Eropa dan karya-karya pemikiran zaman di mana legenda filsafat masih hidup mulai menyebar. Kebanyakan masih kecil-kecilan dan tidak dirasakan rakyat banyak dan oleh sebab itu mudah diredam. Misalnya Copernicus dan  Galileo (pemberontakan dalam ilmu pengetahuan). Ada juga pemberontakan ’besar’ yang juga menyurut perubahan bidang lainnya, seperti pemberontakan kalangan Protestan yang akhirnya juga mendorong gereja untuk menjadi lebih modern (Loyola dengan Serikat Yesuit). Dan akhirnya pemberontakan besar terjadi di Perancis mengakhiri masa kekuasaan absolut raja dan gereja. Revolusi Perancis bersemboyan Liberte (kebebasan), Egalite (persamaan), dan Fraternite (persaudaraan) menjadi landasan utama lahirnya demokrasi dan tata pemerintahan modern. Inilah momentum awal kebangkitan Eropa. Di sisi lain akibat berkembangnya ilmu pengetahuan (yang tentu sudah tidak disimpan penguasa lagi) lahirlah teknologi yang menyebabkan berubahnya pola berproduksi barang. Muncul Revolusi Industri di Inggris yang mengubah tata ekonomi dan kehidupan masyarakat Eropa. Ekonomi modern lahir dari sini.

Antroposentris, Modern, dan Postmodern
Kebangkitan Eropa terjadi ketika manusia mulai mengukuhkan rasionalisme (akal budi, logika) dan empirisme (pembuktian secara indrawi, bisa diartikan pengalaman) sebagai landasan utama dalam berkehidupan. Ilmu pengetahuan begitu berkembang pesat. Alam mulai dijelaskan secara ilmiah dan mitos-mitos mulai dipreteli secara cermat. Terjadi banyak penemuan baru yang menandai awal zaman modern. Segala hal dilihat berdasar nilai guna bagi manusia dan kemanusiaan (tren humanisme). Ilmu lahir untuk manusia dan manusia harus berpikir untuk bisa bertahan hidup. Ketergantungan pada nasib (bisa diartikan juga pada Tuhan) berkurang secara perlahan. Inilah yang di sebut masa antroposentris, bahwa segala hal berpusat pada manusia dan manusia harus berusaha untuk dirinya sendiri (sekularisme dan ateisme lahir disini).
Ketika manusia jenuh akan tata nilai modern yang kaku, yang hanya melihat nilai guna semata di mana segala hal harus efisien, maka muncul pemberontakan kembali. Kemapanan modern diberontak oleh anak-anak muda. Mereka melihat bahwa kemapanan modern justru melahirkan peperangan (PD 1, PD 2, Perang Vietnam, dll, yang melibatkan teknologi canggih), kerusakan lingkungan (alam dieksploitasi habis-habisan untuk tujuan kegunaan bagi manusia), bahkan diskriminasi nilai-nilai lokal (budaya, adat istiadat, agama dikikis oleh tatanan internasional). Kebangkitan anak muda ini menyebar luas berkat peran dunia seni dan hiburan (yang dilipatgandakan oleh kemajuan teknologi). The Beatles menjadi salah satu ikon pemberontakan yang melalui musik menyampaikan pemikiran-pemikiran dunia baru (grup musik lain juga demikian). Zaman gondrong-gondrongan dan warna-warni inilah menandai zaman Postmodern. Tak ada penafsiran tunggal atas suatu makna. Siapa saja boleh menjadi dirinya sendiri. Inilah kebangkitan kaum muda yang membuat dunia lebih berwarna dan kita rasakan hingga saat ini.

Indonesia Di mana-mana
Suatu ketika di masa depan manusia Indonesia sudah menguasai dunia. Dia ada memenuhi Eropa, Amerika, Afrika, bahkan di kutub. Dia ada di mana-mana.  Lalu di mana bangsa lainnya? Rupanya mereka telah berkoloni ke planet, bahkan ke tatasurya lain. Mereka meninggalkan bumi yang sumpek dengan mengandalkan kemajuan ilmu pengetahuannya. Kenapa manusia Indonesia tidak demikian? Rupanya mereka masih hanyut pada tahayul, jualan mimpi, dan ketidakrasionalan. Generasi mudanya tak mampu memanfaatkan berbagai pilihan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi karena lebih tertarik pada hal-hal hiburan, remeh temeh, pencitraan dangkal, dan duitnya habis dibakar jadi asap (maksudnya untuk konsumsi BBM). Kaum mudanya terlalu terlena oleh kemapanan zaman sehingga lupa memberontak, bangkit, dan berubah. Kaum mudanya lebih banyak berharap pada nasib dan tak percaya kemampuan sendiri (misalnya tak ‘pede’ bahwa ia bisa menulis sehingga harus copy paste). Padahal perkembangan peradaban manusia telah menunjukkan bahwa tidak ada kemapanan abadi (terlalu konyol melihat agama sama persis seperti ketika ia dilahirkan). Segala hal harus dirombak dan diperbarui sesuai konteks zaman. Dan merombak adalah tugas kaum muda karena merekalah yang masih punya energi besar dan pikiran segar. Jika kaum mudanya tidak demikian, tidak ada kebangkitan, tidak ada kemajuan. Kaum muda, ayo bangkit, ayo berontak, buat perubahan!








*Tulisan yang dibuat untuk buletin K-Mu! (Katolik Muda Berbicara) edisi 02, Juni 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar