Kamis, 06 Desember 2012

Propaganda Untuk Workshop 3 Urban Sketchers Bali

Untuk WORKSHOP 3 pertemuan Minggu ke 5 (Quick sketch with Mix Media and preview about Urban Sketchers)


Setelah dua kali terjun langsung ke lapangan merekam objek-objek & berbagai kejadian (jadi gak terbatas soal gedung) dengan goresan-goresan tangan maka:

- Sabtu, 08 Desember 2012, 09.00 WITA (bukan WIB!)
- di Danes Art Veranda Jl. Hayam Wuruk 159, Denpasar, Bali, Indonesia.

Kawan-kawan Urban Sketchers Bali bakal mengadakan workshop 'taktik & strategi' sketsa cepat yang memang jadi ciri khas gerombolan, maksudnya komunitas, urban sketchers di manapun. 

Buat yang ingin mencoba taktik 'hit & run', maksudnya sketsa, diharapkan membawa peralatan & perlengkapan gambar sendiri (cukup yang standar-standar aja: pensil, pena, kertas buat gambar. Yang mau lebih dari standar juga boleh: alas gambar, tinta China, cat air, cat minyak, cat tembok, cat kuku, dsb..dsb.. yg dirasa cocok dengan minat (& kepribadian)). 

Bagi yang cuma ingin tahu dan ingin nonton (dan butuh teman ngobrol seputar apa aja) silakan juga untuk datang. 

Yang mau melihat grup & beberapa karya silakan klik ini --> http://www.facebook.com/groups/386855931397283/

(Ngomong2, ada yang mau nyumbang spagetti gratis???)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=4233585245620&set=a.1047836123883.2010381.1465105016&type=1&relevant_count=1

Kamis, 29 November 2012

Gotong Royong Untuk Semarang 2020



Kamis, 22 November 2012

Urban Sketchers Bali dan Persiapan Aksi Perdana di Lapangan



Sabtu, 24 November 2012 kawan-kawan 'Urban Sketchers Bali' untuk pertama kali akan coba terjun langsung di 'lapangan'. Melalui goresan-goresan tangan kawan-kawan coba merekam objek ataupun kejadian di lapangan Niti Mandala Renon dan menjadi karya 'dokumentasi' yang diselesaikan di tempat (sesuai namanya, urban sketchers, bukan home sketchers). Untuk selanjutnya, seminggu sekali, kawan-kawan ini akan coba terjun di berbagai tempat lain di Bali mungkin hingga ke pojok-pojok kolong yang belum dilihat mata dunia.

Sabtu besok kawan-kawan lain jika ingin 'nimbrung' a
tau sekedar memuaskan rasa ingin tahu bisa datang mulai jam 9 pagi. Bagi yang ingin serius terlibat cukup bawa alat gambar, kertas/buku sketsa, dan sejumlah semangat. Silakan juga persiapan-persiapan lain seperlunya (ingat, seperlunya saja. Ini bukan perang-perangan). Silakan kawan-kawan.

Selasa, 13 November 2012

Sepuluh November dan Pahlawan



Kamis, 08 November 2012

Sanur Community Market untuk Hari Pahlawan



Teman-teman muda Healthy Food Healthy Living (HFHL, atau sebut aja 'hafile-hafile') sekali lagi meminta saya membuat 'propaganda' untuk mem-'back-up' poster resmi kegiatan Sanur Community Market (SCM).

Rabu, 24 Oktober 2012

Sanur Community Market untuk Sumpah Pemuda


Kamis, 18 Oktober 2012

SEKOLAH DAN FOTO PRESIDEN





Kompas, Jumat, 12 Oktober 2012
----------------------------------------------------------------------------------
INDONESIA BUKAN JAWA, APALAGI JAKARTA

Oleh St Sularto

Sekolah kandang ayam, parodi Profesor Winarno Surakhmad adalah fakta. Tidak jauh-jauh dari Jakarta, pusat kemewahan beriring dengan kemiskinan— pendeknya serba kontradiktif, apalagi yang lokasinya ribuan kilometer dari Jakarta. Banyak gedung dan sekolah merana.

Soal sarana kelas yang tidak memadai, bisa dimaklumi. Namun, kalau setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia berusia lebih dari 67 tahun foto Ir Soekarno masih bertengger gagah di tembok, tentu bukan dimaksudkan menyindir. Bung Karno memang Presiden RI, sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono penggantinya. Di kelas lain, Presiden SBY berdampingan dengan Jusuf Kalla dan di sekolah itu tak ada foto SBY berdampingan dengan Boediono.

Itu baru soal presiden. Jangan tanya praksis pendidikannya. Kalau pada 2011 seharusnya dipakai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, di sana tidak dikenal KTSP. Buku-buku pelajaran yang dipakai seharusnya terbitan terakhir tahun 2006, tetapi yang ada buku terbitan tahun 1998.

Kisah di atas hanya sepenggal dari kisah menyedihkan kondisi pendidikan Indonesia saat ini. Karena itu, ketika dibahas tentang kurikulum baru pengganti Kurikulum 2006 yang kini dipakai, di banyak sekolah (bukan sekolah ”abal-abal” sekalipun) dan di banyak daerah yang dipakai adalah kurikulum pertama yang lahir pada masa Reformasi—Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2004. Sampai ada sindiran sarkastis, no way dengan kurikulum. Silakan kurikulum baru, tetapi pendidikan di lapangan dengan kelenturan dan penafsiran masing- masing jalan dengan kreativitas sendiri-sendiri.

Sabtu, 13 Oktober 2012

Ujian Nasional

Pendidikan sangat vital.. Saking vitalnya maka dikerahkan tenaga-tenaga khusus (berteknologi canggih tentunya) yang siap menjaga & mengawal apa yang namanya 'pendidikan' dari tiap ancaman gangguan & aksi2 konspirasi penuh terror yang bertujuan menghancurkan masa depan bangsa ini (yang konon siap bersaing dengan negara adidaya. Konon lho!).


Jumat, 05 Oktober 2012

FESTIVAL KOTA LAMA 2012






Minggu, 30 September 2012

G 30 S - Paranoid




Kominis tidak lebih berbahaya dari paranoid dan sikap acuh-tak acuh.

Paranoid bikin kepala tak rasional. Tak bisa memilah gelap dan terang. Karena semua gelap maka jutaan nyawa melayang. Main tebas agar merasa aman.

Paranoid itu penyakit. Apa saja menakutkan. Waspada jadi serba berlebihan. Anak SD yang hendak belajar sejarah kelam negerinya pun bisa dianggap ancaman.

Paranoid itu ketakutan yang berlebihan. Ketakutan juga berkawan baik dengan ketidak-acuhan. Ketakutan dan ketidak-acuhan sama-sama bikin manusia diam. Sama-sama menggerogoti nilai-nilai kebenaran. Manusia dan kemanusiaannya pun dirantai lingkaran setan. Sejarah kelam berulang-ulang.

Jules Romains sampai harus bertanya:

"Apa yang harus kita punyai agar kita bebas dari ketakutan?"

Pertanyaan yang sama yang menghantu Bruce Wayne, juga Potter, Mochtar Lubis, dan kita semua. Pertanyaan dasar awal pencarian pembebasan, menjadi manusia yang merdeka. Manusia merdeka berani bersuara kebenaran. Tidak takut menatap sejarah kelam demi masa depan. Manusia merdeka berani menghadapi ketidak-pastian. Dan proses itu harus dimulai dari sekarang. Susah memang tapi itulah nilai perjuangan.

------------------------------------

Mungkin saat berjuang kita bisa sambil bernyanyi:

"Well we were caught with our hands in the air
Don't despair paranoia is everywhere
We can shake it with love when we're scared
So let's shout it aloud like a prayer

Free the people now

Do it, do it, do it, do it, do it now
Free the people now
Do it, do it, do it, do it, do it now"

Bring On The Lucie (Freda People).

Bersama Lennon Kita bernyanyi.

Selamat mengenang G 30 S (PKI?)

:)

Rabu, 26 September 2012

Runtuhnya Plafon Kami



Ini tentang kaum-kaum yang habitatnya bersahabat dengan gunjang-ganjing-naik-turun-gak stabil-penuh dinamika-nyerempet-nyerempet maut. Maksudnya orang-orang yang dunia kerjanya gak monoton-rutin tapi kadang tenang kadang ribut dikejar hantu deadline. Khas kaum kreatif-inovatif-seni(-juga kewartawanan, mahasiswa mungkin iya). Mirip-mirip dunia tentara: Kadang damai, kadang perang. Dan mereka suka bikin perayaan tiap lolos dari deadline. Mirip-mirip dunia tentara: Kalau menang, perang usai, wah perayaannya....

Sulit memang untuk dibayangkan kaum-kaum berhabitat stabil-serba rutin-mapan-pasti-pasti saja hidupnya. Memang ini di luar gambaran kawan-kawan perbankan, atau pegawai negeri yang adem ayem itu, (atau orang kaya baru rangkap politisi yang sudah nyaman duduk di singgasana negeri atas awan yang hari-hari serba tentram baca statistik-statistik kemakmuran entah darimana-bagaimana hitung-hitungnya..)

Untuk itu kami bantu berikan ilustrasi, betapa gila dan gawat juga perayaan-perayaan lepas dari maut deadline.


I
I
I


Kira-kira begitu. Kami publikasikan gambar itu. Tapi rupa-rupanya gambaran tersebut menimbulkan citra yang tidak-tidak seolah-olah kami kaum-kaum tak stabil tapi kreatif-inovatif (yang suka dikejar hantu deadline) gemar perayaan-perayaan kemenangan gaya milisi pemberontak Libya atau rakyat Irak yang pro-sekutu pasca Saddam (atau nanti milisi Suriah pasca Assad) hingga sampai-sampai plafon dunia kerja kami pun runtuh.

Runtuh iya (demikianlah pada Rabu 18 Juli 2012 di markas BDS Bali). Perayaan agak gila iya juga. Tapi ada banyak faktor yang sangat rumit (jadi jangan terlalu cepat ambil kesimpulan, suka prasangka-prasangka) soal runtuhnya plafon kami. Untuk itu kami mencoba bersikap sangat objektip untuk luruskan gambaran-gambaran yang mencong-mencong di kepala kawan-kawan (yang sulit sekali membayangkan dunia yang kami maksudkan).

Salah satu situasi darurat deadline. Tak ada yang senyum.
Kalau deadline akhirnya berakhir. Terlihat ada senyum-senyum. (Wajar)
Ekspresi kebebasan dirayakan dengan makanan. Penuh rasa syukur nikmati jerih payah. (Masih wajar)
Mulai ada yang aneh-aneh: perayaan kebebasan dengan parade tank. (Mulai tak wajar)
Ini sudah berlebih. Merayakan kebebasan pakai bom alih-alih kembang api. (Sangat tak wajar)
Akhirnya: runtuhnya plafon kami. Runtuh tahap awal (sebelum runtuh semua dan malang nasib orang-orang ini).
Orang-orang lenyap. Mungkin tertimpa reruntuhan (kebetulan sekali yang ambil foto ini datang terlambat).


----------------

Tapi, sekali lagi, jangan terlalu cepat ambil kesimpulan tidak-tidak seolah-olah telah terjadi bencana kemanusiaan dengan korban jiwa cukup banyak.
Ternyata semua selamat. Dan untuk itu kembali dilakukan perayaan (kali ini secara wajar sekalian berbuka puasa).
 ----------------

Pelajaran berharga: 
1. Over euphoria can kill you.
2. Jangan cepat-cepat ambil kesimpulan (juga menerima cerita ini mentah-mentah).


Kamis, 20 September 2012

Kata-Kata Sukarno Saat Lantik Ali Sadikin Sebagai Gubernur



Satu tugas daripada pemerintah kota, membuat kotanya itu bersih dari sampah. Nah, orang yang bisa mengerti demikian, harus orang yang dijadikan Walikota. Jangan orang yang cuma mengerti hal bestuursvoering (pelaksanaan pemerintah).

Apa sebab saya memilih seorang gubernur dari Angkatan Laut? Angkatan Laut KKO? Oleh karena Jakarta ini adalah kota pelabuhan. Sebaliknya saya memilih Gubernur Jakarta dari satu orang yang mengetahui urusan laut dan urusan pelabuhan.

Di Jakarta berkumpul semua diplomaten. Saya minta supaya Gubernur bisa menghadapi bahkan meladeni diplomaten corps di sini. Saya cari-cari orang dan saya pikir yang terbaik adalah Ali Sadikin. Apalagi Ali Sadikin mempunyai Istri yang rupanya bisa menghadapi diplomatic corps. Karena itu, salah satu sebab pilihanku jatuh kepada Pelaut Ali Sadikin. Engkau harus bisa meladeni diplomatic corps dengan bantuan Istrimu yang aku yakin pandai juga meladeni diplomatic corps.

Ada, ada yang ditakuti dari Ali Sadikin itu. Apa? Ali Sadikin itu orang yang keras. Dalam bahasa Belanda ada yang menyebutnya, een koppige vent, koppig. Saya kira dalam hal mengurus Kota Jakarta Raya ini baik juga een beetje koppigheid (sedikit keras kepala). Apalagi ndoro dan ndoro den ayu sudah tahu, tidak boleh membuang sampah semau-maunya di pinggir jalan, tapi masih banyak toh yang membuang sampah di pinggir jalan. Nah, itu perlu dihadapi oleh orang yang sedikit keras, yang sedikit koppig. Saya harap, engkau akan bisa menanggulangi segala problemen (masalah) dari kota besar Jakarta Raya ini.

Sekarang, ada saja orang-orang yang tidak mau mengerti, bahwa kota besar Jakarta ini harus mempunyai physical face yang waardig (wajah penampilan yang berharga) bagi bangsa kita yang 105 juta besarnya ini. Mereka tidak mau mengerti mengapa jalan Thamrin itu harus begitu dan mengapa jalan Sudirman akan diubah bentuknya. Tidak mau mengerti akan keberadaan masjid Istiqlal yang hebat itu, serta tidak mau mengerti mengapa Lapangan Merdeka dijadikan satu lapangan yang hebat, yang terbesar di seluruh dunia dengan di tengah-tengahnya diadakan Tugu Nasional. Jatiluhur itu apa? Karangkates itu apa? Dan waduk Cacaban itu apa?

De mens leeft niet van brood allen (manusia tidak cuma hidup dari roti). Een natie leeft niet van brood allen (satu bangsa tidak cuma hidup dari roti).

Ingatlah. Jakarta adalah ibukota kita. Ibukota Republik Indonesia. Buatlah Jakarta ini menjadi kebanggaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan menjadi kekaguman seluruh umat manusia di dunia ini.

Makan itu, Ali Sadikin! Hari ini engkau bisa kenyang, besok engkau bisa lapar. Tetapi ada hal-hal lain yang akan kau bawa ke alam baka, yaitu ingatlah, national pride, barang-barang yang abadi.

Saya menghendaki juga, agar bintang-bintang di langit seribu tahun lagi, sepuluh ribu tahun lagi masih menyaksikan, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Cita-citaku mengenai kota Jakarta ini akan saya supplant kepadamu, saya iris dan saya masukkan di dalam kalbumu, Ali Sadikin. Bukan pekerjaan yang mudah untuk memenuhi cita-cita yang besar. Tapi Insya Allah, doe je best (berusahalah dengan sebaik-baiknya), agar orang-orang masih mengingatmu sekian tahun lagi karena dalam engkau sungguh-sungguh dalam memegang jabatan ini. Dit heeft Ali Sadikin gedaan, inilah perbuatan Ali Sadikin. Inilah yang dilakukan oleh Ali Sadikin.

Bismillah, mulailah engkau dengan pekerjaanmu.

(dikutip dan disusun ulang dari buku "Ali Sadikin; Membenahi Jakarta Menjadi Kota Yang Manusiawi" yg disusun Ramadhan K.H, bab.1)

Rabu, 29 Agustus 2012

TAK PAKAI CELANA






Orang yang menganiaya orang lain berdasar agama, kepercayaan, dan pembenarannya sendiri seperti orang yang tak pakai celana sambil teriak yang lain tukang memalukan.

Dan orang yang diberi kekuasaan-wewenang untuk mencegah itu terjadi tapi tak menjalankan sepenuhnya namun tetap penuh kebanggaan segala atribut kekuasaan-kewenangan itu seperti orang datang kondangan lupa pakai celana tapi tetap naik ke panggung kehormatan sambil tebar senyuman-senyuman.


Serba memalukan tapi tak sadar malu.

- - -

Dan orang yang serba diam saja, apatis-cuek, seolah aman-aman tak ada masalah?

Ah, kalau itu sih orang-orang normal saja, pakai celana, yang ingin maju tapi serba malu-malu seolah malu adalah hal paling menakutkan di dunia sehingga buat apa bertindak ini-itu.

Duh, padahal yang paling menakutkan sebetulnya bukanlah itu kalau mengingat apa yang dibilang Johann Wolfgang von Goethe:

"There is nothing more frightful than ignorance in action."

(Goethe ini jelas tipe orang pakai celana yang ingin maju dan tak perlu malu-malu untuk itu)

- - -

Jadi mari kita mengheningkan cipta, merenung, berdoa, menurut agama, kepercayaan, dan suara bening hati kita masing-masing untuk para korban pembenaran serta guna langkah-langkah menemukan kebenaran universal sesungguhnya (bukan pembenaran masing-masing).

Menanggalkan dogma-dogma............ Dimulai!!

-----------------------------------------------------------------------------------------------

(sekedar keprihatinan tentang kekerasan yang senantiasa dan baru saja terjadi di negeri ini yang mengatas-namakan keyakinan)

Minggu, 26 Agustus 2012

Kapal Induk dan Kapal Selam


Kapal induk tidak pernah berlayar sendirian.
Dia selalu ditemani segerombolan kawan.
Tak pernah sepi mengarungi samudra.
Simbol supremasi kekuatan dan kebanggaan.

Tapi tanpa kawan ia tak berani berlayar.
Lebih baik diam di pangkalan darpada jadi sasaran empuk lawan.

Kapal selam senantiasa berlayar sendiri.
Menyelam dalam senyap-gelap lautan.
Tidak siang tidak malam mencari kedalaman.
Bergerak jauh seorang diri menembus batas-batas lawan.

Nasib kapal selam memang buka jalan untuk kawan.
Siap tenggelam tanpa kenal nama.
Tapi kapal induk tak boleh tenggelam.
Sekali tenggelam hilang negara punya nama.

- - -

Siapa mau jadi kapal induk?
Siapa mau jadi kapal selam?

(atau lebih enak kerumunan gerombolan?)

Rabu, 15 Agustus 2012

Me-ROKOK


Sabtu, 11 Agustus 2012.
Izinkan saya bercerita (mungkin mengeluh lebih tepatnya) soal kejadian pada sore (berangin) itu.

Patut disyukuri bahwa Pulau Bali memiliki banyak sekali agenda bermutu tapi (nah, yang paling disyukuri) gratis. Bagi orang-orang yang tak punya 'kerjaan' di malam Minggu tentu ini berkah (puji syukur sekian kali lipat!). Salah satu dari sekian agenda 'berkah Tuhan' itu adalah membahas novel. Ini novel sejarah dengan tema cukup serius: Tragedi '65 di Republik tercinta ini. Serius temanya (yang juga 'seksi' karena penuh misteri) tapi pop dalam cara saji (dengan bumbu yang juga seksi-seksi juga di novel itu). Apalagi pengarangnya adalah jurnalis-budayawan yang tulisannya di harian edisi Minggu enak-renyah betul dibaca. 

Oh, tentu pasti saya tempatkan sebagai agenda prioritas sejak panitia membocorkan info ini jauh-jauh minggu. Apalagi panitia empunya tempat yang rutin gelar berbagai agenda budaya amat aktip-agresip dalam mengajak massa. Kalau perlu mereka telpon satu-satu para pemilik nomor telpon agar datang hingga terbentuklah massa. Hebat betul taktik gerilyanya!

Saya aktip-agresip juga ajak teman-teman. Ini agar berkah 'kemerdekaan' dapat ilmu bisa dirasakan juga oleh kalangan lebih banyak dan lebih luas agar kemerdekaan tak dinikmati sendiri karena merdeka bersama-sama lebih membahagiakan (sesungguhnya juga agar saya dapat tumpangan dan teman obrolan selama ke sana dan di sana). Tapi gagal misi ajakan saya (teman-teman serba sibuk bahkan di malam Minggu) dan hukumannya ya saya ke sana sendirian.

Pukul 19.00 WITA sampai di TKP (Tempat Kejadian Perhelatan) setelah 30-an menit kayuh sepeda 'gerilya' senjata andalan mobilitas sehari-hari. TKP budaya biasanya masih masih sepi saat acara seharusnya dimulai (sehingga molor 1 jam). Tapi kali ini ramai betul. Halaman parkir di muka sudah penuh mobil dan benarlah dugaan dini bahwa yang datang adalah orang-orang cukup terpandang dalam ranah seni-budaya-sosial. Terlihat yang generasi tua ngumpul bentuk grup obrolan. Yang generasi muda juga ngumpul bikin grup obrolan gaul. Yang tua merasa muda dan yang muda tapi ketuaan juga aktip ngobrol sana-ngobrol sini (Tapi secara keseluruhan TKP sore ini dipenuhi yang tua-tua. Yang muda-muda lebih senang pacaran entah di mana, mungkin.)

Banyak yang mengobrol sambil ditemani cemilan dan minuman. Dan tidak lupa sesuatu yang seperti wajar ada di kaum-kaum seniman: Rokok (kalau bir belum terlihat. Tapi nanti ada). Ya, asap menghiasi suasana malam pesta taman tempat novel & tragedi '65 akan dibahas. Masih wajar. Tak ada tanda larangan merokok, ini di ruang terbuka, acara belum dimulai, dan ini kumpulan seniman-budayawan-penggiat sosial. 

Tapi jadi tak wajar kemudian. Ternyata ada anak-anak dan itu asap-asap masih saja terus mengebul dari mulut-mulut peserta hajatan saat acara menarik itu dibuka dengan film dokumenter. Seorang cewek muda yang saya tahu seorang penyanyi berbakat sebaris dengan saya di tangga ampiteater depan dengan enaknya mengebul-ngebul seolah sedang berada di tengah kebakaran hutan sehingga mungkin menurutnya terasa wajar asap-asap itu mengudara dan terekspor ke wilayah saya (angin mengarahkan begitu). Padahal ada anak perempuan kecil yang mondar-mandir penuh keriangan dekat situ seolah sedang berada di padang rumput maha luas tanpa batas. Eh ternyata di deretan kursi di belakang kami juga ada sosialita, tante necis-genit-penuh pede tingkat tinggi (dari caranya berbicara dan bersikap akan segera mengorbitkan dirinya dari sekian genangan massa), yang juga aktip-agresip ngebul-ngebul asap bikin mulutnya kayak cerobong pabrik jadul giat kejar setoran tanpa peduli lagi sama lingkungan.

Dan ternyata si pabrik jadul itu adalah tante yang cukup ternama pemilik beberapa galeri (termasuk di Paris!) yang aktip gelar perhelatan seni di mana-mana dan yang malam itu didaulat membacakan sepenggal kisah dari novel '65 yang seksi itu (benar, penuh kisah sex!) sambil diiringi permainan biola yang indah dari anak perempuan, usia SMP tapi amat berbakat, yang tadi duduk di dekatnya. Nyaris saja tante itu bawa cerobong asap, maksudnya rokok, ke panggung beralam terbuka itu dan mengebul-ngebul. Tapi tetap saja 'asap kebakaran hutan' yang diekspor cewek muda penyanyi berbakat masih menguasai pandangan saya ke panggung alam terbuka dan merusak kesenangan saya dalam menikmati pentas si tante dan si anak perempuan pemain biola. Entah yang lain terganggu juga atau tidak. Tapi yang jelas anak perempuan kecil yang mondar-mandir penuh keriangan dekat situ (seolah sedang berada di padang rumput maha luas tanpa batas) sepertinya tak terganggu karena masih saja beraksi begitu (kali ini sambil foto sana-foto sini). 

Pembahasan novel dan tragedi '65 oleh pengarang yang jurnalis-budayawan yang ditemani sahabatnya yang ilmuwan-peneliti-penggiat sosial dan dipandu moderator yang penyair sekaligus 'empunya' TKP jadi tak beroleh porsi besar lagi dari pikiran saya. Harus diakui bahwa sesungguhnya memang bermutu hajatan budaya malam itu (apresiasi juga untuk perserta yang aktip berinterasksi) selain juga karena temanya yang bagus (serius tapi seksi karena penuh misteri). Hanya memang harus diakui juga pikiran saya justru bermain-main soal betapa tak bermutu budaya adi-luhung itu orang-orang yang mengebul-ngebul asap tak peduli lingkungan sekitar, parahnya di dekat anak-anak kecil yang memang masa lagi gemar-gemarnya dalam meniru orang yang lebih berumur darinya. Saya malah teringat seorang teman 'jauh' yang hobi merokok tapi puasa itu di depan anaknya demi memberi teladan sebagai ayah yang baik. Teman saya itu mungkin tak seseniman-budayawan-penggiat sosial seperti yang melekat diakui (masyarakat luas) ada pada hadirin yang saya lihat saat itu tapi kepekaan hati dan jiwanya atas keberadaan orang serta lingkungan sekitarnya bolehlah (kita) acungi jempol punya kualitas seniman-budayawan-penggiat sosial. Itu dari aksi sederhana tak merokok di dekat anak kecil (anak siapapun itu). Harap maklum dan maafkan kalau rasa bersyukur saya berkurang atas berkah agenda malam Minggu ini. Amat sedih memang bahwa itu terjadi di tempat dan agenda berlabel 'budaya'.

Saya memang tak sepercaya diri partner gerilya saya (sayang sekali dia tak datang) yang pasti akan menegur langsung orang-orang itu. Seperti kata-katanya bahwa dia maklumi mereka-mereka yang bersenang-senang dengan mabuk, rokok, dan sebagainya asal itu tak mengganggu orang lain apalagi mengedukasikan 'senang-senang' itu pada mereka-mereka yang lain yang tak mengenal 'senang-senang' itu. Jadilah sikap saya diam tak berani peringatkan atau larang-larang (sekali lagi harap maklum saya ini minderan). Tapi tim gerilya di otak tak pernah tinggal diam (harap maklum mereka selalu suka bersiasat main belakang).

Pukul 22.30 WITA sambil kayuh sepeda 'gerilya' pulang melalui malam berangin kencang bergerilyalah pula pikiran untuk membalas itu kelakuan-kelakuan bikin pahit kenyataan.

Saya berimajinasi meremuk itu orang-orang dengan asap kendaraan, yang wah, amat tak ramah lingkungan!).



Ya, harap maklum senjata saya cuma imajinasi. 
Silakan saja cara kawan-kawan...

Kamis, 19 Juli 2012

Menuju Aksi Perdana Sanur Community Market



Pasar organik 'Sanur Community Market'.
Dimotori teman-teman Healthy Food Healthy Living 
bekerja sama dengan Satvika Bhoga dan Akarumput.

Pasar organik ajang di mana komunitas-komunitas pangan dan lingkungan 
serta petani-petani organik lokal menjajakan produk, program, 
dan kisah di balik itu semua kepada masyarakat luas.

Penuh harap dari kegiatan ini terjalin sinergi antar komunitas kreatif peduli lingkungan.
Penuh harap pula ada keberlanjutan aksi-aksi dan agenda yang sudah berlangsung.
Dan jelas penuh harap ada apresiasi dan peningkatan partisipasi dari masyarakat awam dan sekitar.

Apa yang dilakukan teman-teman ini hanya langkah kecil 
dalam gegap gempita gerak Bali 
tetapi tetap bermakna besar bagi keberlanjutan kehidupan Bali yang lebih sehat.
Langkah kecil yang dimulai dari pojokan Sanur. 
Juga pojok-pojok lain Nusantara.

Salut untuk langkah perdana teman-teman 'Sanur Community Market'!
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------








I
I
I








Kamis, 12 Juli 2012

Aturan dan Pelanggaran


Coba ambil waktu sejenak berjalan-jalan santai.
Tak perlu jauh-jauh, tak perlu biaya mahal.
Tak perlu tempat-tempat ekslusif biang dongkrak status.
Cukup kitari jalanan sekitar tempat tinggal saja.
Kalau kurang menantang silakan ambil rute 'agak' tak biasa.
Sambil jalan kaki santai tanpa arah, atau pakai sepeda mengayuh pelan,
coba hitung berapa banyak rambu aturan dipasang.

Lalu coba hitung pula berapa banyak pelanggaran aturan bertebaran.


Di negeri 'sono' aturan dibuat untuk keteraturan dan menjamin kebebasan tak bertabrakan.

Di negeri 'sini' aturan dibuat untuk dilanggar dan ditertawakan.

Dan bagi 'orang pintar' negeri ini, 
aturan ada untuk menguji sejauh mana 'kepintarannya' mengakali aturan 
dan keadaan yang tak menguntungkannya. 
Entah itu aturan di negeri 'sono', apalagi yang di negeri 'sini'.

................................................................................................

Kalau suatu saat teman-teman berkesempatan jadi pemerintah,
syukur-syukur jadi pucuk pimpinannya, 
lalu apa yang akan teman-teman lakukan?

Kalau saat ini, apa yang bisa kita lakukan?


:)

Jumat, 18 Mei 2012

Tentang (Per)-Sahabat-(an)

(Per)-Sahabat-(an) sejati selalu abadi..


(Per)-Sahabat-(an) sejati tak pernah lari.
Kalau lari, terimalah saja nasib..

I
I
I

(dalam politik: 'tak ada kawan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan yang abadi.'
Lalu hubungannya dengan 2 gambar di atas? Entahlah. 
Kawan cuma kasih ide adegan tanpa keterangan tulisan)

Rabu, 16 Mei 2012

Hidup Mulai Teratur


Ini sudah sekitar sebulan berjalan.
Tak ada lagi di BDS Bali istilah-istilah militer berseliweran.
Semua pelan-pelan sudah mulai normal.
Itu artinya hidup teratur layaknya rakyat sipil kantoran.

Status-status berbau darurat mulai diubah.
Tak ada lagi namanya 'siaga 24 jam'.
Tak ada lagi namanya 'garis depan'.
Istilah 'pasukan katak' ditiadakan.
Stok-stok ransum juga tinggal kenangan.
Tak ada lagi Kompi BDS, Peleton ini-itu.
Jendral-jendralan, prajurit-prajuritan, tak ada lagi.

Betul-betul layaknya kantoran.
Tiap Senin tunggu jadwal kerjaan.
Jumat antri print laporan.
Tiap hari masuk jam setengan sembilan.
Tertib pulang jam enaman.
Sabtu-Minggu isi dengan liburan.
Ketemu lagi di Senin penuh kesegaran.
(memang cuma tinggal urusan pakaian yang belum kayak orang kantoran)

Memang akhirnya banyaklah waktu luang tersedia.
Macam-macam cara mengisinya.
Ada yang rajin badminton.
Ada yang sepedaan.
Ada yang wisata makanan.
Ada yang masak masakan.
Ada yang sekedar jalan-jalan.
Ada pula duduk manis di pantai memandang matahari terbenam.
Ada yang membina pertemanan-persahabatan.
Ada yang main musik dan bernyanyi-nyanyian.
Ada yang menjelajah hutan serta pedalaman.
Ada yang bermain-main di taman.
Ada yang mengurusi tanaman dan piaraan.
Ada yang berdiskusi-gila obrolan.
Ada yang membaca buku meski cuma sehalaman.
Ada yang habiskan waktu nonton TV layar 50 inci.
Ada yang cuma nongkrong menikmati kopi. 
Ada yang serius ikut kompetisi-kompetisi.
Ada yang iseng bikin-bikin gambar tak karuan.
Ada yang bercengkrama dengan anggota keluarga.
Dan ada yang senang menyendiri di kamar kegalauan
lalu update blog isi suasana hati harian.

Tapi yang terpenting akhirnya ada yang bisa merajut percintaan.
Dan kalau sudah begitu jadi kelupaan bahwa dunia bukan hanya milik berduaan..
(lalu yang lain cuma ngontrak-ngontrakan)



Jumat, 04 Mei 2012

Imajinasi Kota Dalam Taman



Imajinasi Kota Dalam Taman ini sesungguhnya hanya ide sederhana.
Ini muncul ketika saya prihatin melihat dus-dus dan kotak makanan yang mau dibuang.
Rasanya sayang betul.
Lalu tiba-tiba saja muncul imajinasi seolah yang saya pandangi bukanlah dus-dus dan kotak-kotak tak berguna tapi sebuah tumpukkan bangunan.

Saya berimajinasi ada banyak dus-dus dan kotak seperti ini yang masih bisa diberi kesempatan tampil di taman.

Saya berimajinasi mereka adalah sekumpulan bangunan.
Mereka didandani layaknya bangunan-bangunan kita yang gemar bersolek.
Menarik juga jika orang-orang tak dikenal, yang malu-malu tapi gemar juga berdandan-dandan, ikut terlibat mendandani dus-dus dan kotak ini
(lumayanlah dapat kenalan baru).

Pada akhirnya dus-dus dan kotak-kotak ini bisa ikut tampil dalam sebuah panggung taman hijau.
Mereka perkenalkan diri sebagai sebuah kota yang padat.
Kota dalam taman.

Kota yang ditata oleh berbagai tangan, dengan bunga-bunga, dan juga cinta.

Lalu bagaimana jika robot, monster, dan berbagai mainan ikut hadir?
Entahlah.
Tapi yg pasti sebuah cerita dan peristiwa bisa terjadi

Entah siapa penulis cerita dan sutradaranya. Entah apa skenarionya.
Siapa penonton, siapa pemain.
Kelihatannya tak jadi soal.
Yang pasti sesuatu akan terjadi dan kita tinggal mengikuti serta merekam.

Mengikuti imajinasi diiringi musisi-musisi.
Merekam dalam pikiran dan alam bawah sadar kita.

Ini hanya salah satu cara merayakan ruang(waktu) terbuka. Merasakan jadi manusia yg manusiawi di kota.

Kira-kira begitu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------








(Sampai berjumpa di Lapangan Niti Mandala Renon, Denpasar. Minggu sore, 06 Mei 2012, mulai jam 15.00 WITA. Bawalah dus-dus dan kotak yang tak dipakai lagi di sekitarmu. Bawalah juga mainan kesukaanmu. Juga bawa alat musik. Jangan lupa segenap semangat dan imajinasi.)

Jumat, 27 April 2012

Niti Mandala Road

Kami punya ide di suatu hari.
Ide itu untuk Minggu 29 April 2012.
Kami rencanakan mulai jam 15.00.
Ini bertempat di sekitaran Puputan Niti Mandala Renon.
Kami ingin merayakan ruang(waktu) terbuka.
Merasakan jadi manusia yang manusiawi di kota.

Kami akan joging dan jalan santai.
Tentu ada yang akan berfoto ria.
Beberapa bermain sketsa.
Boleh digenapi dengan cat air.
Kami berkarya merespon suasana kota.
Moga-moga bisa jadi peta.

Bila capek maka kami akan berhenti.
Minum ramai-ramai sambil ketawa-ketiwi.
Saat ngobrol ditemani cemilan bikinan sendiri.
Ada buah dan rujak yang bebas diambili.

Mungkin ada yang akan berpuisi-puisi.
Boleh sambil ditemani permainan musisi.
Lalu akan ada rekan yang rekam sana-sini.
Ini bekalnya ke Jepang buat promosi.

Moga-moga ide kami ini jalan.
Tak perlu bangun pagi untuk kegiatan ini.
Silakan saja bergabung ikut meramaikan.

Sampai bertemu di Puputan Niti Mandala Renon.
Sampai bertemu Minggu 29 April 2012.
Jam 15.00 WITA.

Selasa, 24 April 2012

CATATAN GERILYA 12 FEBRUARI 2012 di UBUD



Kami coba tiap gerilya meja kopi menghasilkan satu karya.
Entah tulisan, entah, coretan, entah jepretan, entah kesimpulan, entah gagasan-gagasan.
Kami ingin tiap gerilya meja kopi tak berhenti jadi kesia-siaan.
Kalau begitu, apa beda gerilya ini dan kerumunan-kerumunan lainnya?

Itulah mengapa kami tulis ulang obrolan mengalir tak tentu arah sewaktu gerilya di Ubud. Itu hari Minggu, 12 Februari 2012. Rencana Ubud sendiri adalah rencana spontan. Muncul di Minggu pagi tempat gerilya kami harusnya berlangsung hari itu. Inilah bukti kedinamisan gerak gerilya: serba mengalir tak kaku. Tapi tak ingin sia-sia. Tawaran Adhi ke Ubud untuk bertemu Windy Ariestanti sang penulis tentu kami sambut.

Kami berangkat ke Ubud telat satu jam dari jam makan siang, waktu dimana pertemuan seharusnya berlangsung. Saya (Errik), Shinta, Rizeki, Adhi, kehilangan satu jam sebagai kompensasi keraguan Fajar (ikut atau tidak, dan akhirnya memang Fajar ikut. Mungkin takut rugi kalau tak ketemu Windy).

Berputar-putar tak tentu arah, akhirnya resto Igelanca jadi medan gerilya kami.
Lantai atas yang sepi jadi pilihan kami. Tak ada wi-fi di situ, tapi cukup tersedia colokan. Dan bisa ditebak colokan itu langsung dipakai oleh Fajar yang BB-nya lowbatt.
Windy bergabung ketika makanan kami sudah datang. Obrolan pertama tentu merespon makanan dan minuman. Patut dapat puji keunikan menu yang disajikan. Dan menanyambung soal itu adalah perihal vegetarian. Windy adalah vegetarian tulen. Tapi vegetarian itu sendiri ternyata berkelas-kelas atau beragam jenis. Windy tentu ahli soal itu karena itulah pilihan hidupnya setelah sekian alasan yang tak dijelaskannya. Tapi pecinta lingkungan, ataulah arsitek ekologis, harusnya juga tak memakan daging karena berbagai isu lingkungan di seputar itu. Dan itu ilmiah. Saya pernah dengar itu di sebuah seminar nasional arsitektur ekologis. Kalau saya sendiri tak rasional soal mengapa tak makan hewan berkaki empat. Dan itulah penyebab kenapa Windy cerita panjang lebar soal ini. Saya harus tahu kenapa saya tak makan hewan berkaki empat.

Lalu soal obat. Windy memang lagi sakit. Bu Robin Lim membekali setumpuk obat herbal yang harus diminum. Telatnya Windy berkumpul di Igelanca bukan karena membalas telatnya kami, tapi memang karena soal ambil obat. Terlepas soal obat, orang kalau memiliki semangat dan harapan hidup maka segala penyakit bisa (seperti) tiarap. Mungkin itu alasan meski sakit, Windy masih mau menemui kami. Dia senang dan bersemangat untuk mengobrol dan beternak ide.

Cok Gung yang kami anggap penguasa Ubud (itu karena keluarga besarnya bermarkas di sana) datang sekitar satu setengah jam kemudian. Dia jalan kaki dari markas  keluarga besarnya. Hal itu memicu obrolan kami selanjutnya: soal jarak. Windy bersikukuh bahwa itu jauh. Kami semua berpendapat justru itu dekat. Itulah kemudian yang membingungkan kami: Apa ukuran sesuatu disebut jauh dan dekat? Jadi relatif, jadi subjektif. Windy mungkin malas atau jarang jalan kaki maka jarak Cok Gung bisa disebut jauh. Kami mungkin termasuk gemar jalan kaki (apa iya?) sehingga jarak itu dekat. Ini soal juga mengingat bahwa masyarakat kota kita malas jalan kaki. Dan ini memang menyangkut kualitas kota, utamanya hal fasilitas pejalan kaki. Sudah umum kita ketahui bagaimana keadaan ini.

Disinggunglah Jakarta. Di sana jarak sudah tak tepat diukur dengan fisik, jarak dalam satuan meter-kilometer. Tapi ukurannya adalah waktu tempuh. Entah menit, entah jam. Di Jakarta jarak 100 meter bisa makan waktu 1 jam. Itu juga tergantung kapan kamu menempuh perjalanan itu. Jakarta serba macet, serba tak aman, serba bikin gila. Shinta sebagai mantan anak Jakarta sigap beberkan itu semua. Memang orang-orang Jakarta akhirnya lari ke luar kota. Windy sendiri menyingkir ke Ubud dari Jakarta seolah hendak mencari pengobatan dari kegilaaan kota itu. Tapi dia tak murni menyingkir. Sebagian kakinya masih harus menapak Jakarta. Kota itu masih menggenggam pekerjaannya. Jakarta memang rakus uang. Ada 60% berputar di sana. Kalau sudah begitu pantaslah pemuda-pemudi nusantara lari ke sana. Moga-moga saja mereka tak jadi gila.

Windy, Rizeki, Shinta terus mengobrol ngalor ngidul entah apa. Sementara Fajar, Cok Gung, dan Adhi sibuk bahas kegalauan dan wanita. Saya sibuk menggores-gores dengan cat air portabel. Teman Windy yang datang belakangan turut mencoba dan akhirnya juga Windy sendiri mencoba. Memang benda satu ini menarik. Seandainya saya sales tentu saya musti dapat honor karena berhasil menggaet dua pelanggan baru. Tapi soal sales dan bisnis, itu bidang Adhi. Saya Cuma senang corat-coret.

Kami lanjutkan obrolan di markas keluarga Cok Gung. Di situ memang tepat karena ada meja, ada kopi, ada makanan, dan ada kerindangan alam yang nyaman. Saya, Adhi, Shinta, Rizeki langsung bahas Fajar sang galau. Ya karena dia tak lagi bergabung karena musti jemput Darman (apa Darman terjemput?). Memang sudah sifat gerilya kami untuk bahas orang-orang yang tak sedang bergabung dalam meja kopi kami. Bebaslah kami bahas seluk beluk kegalauan. Galau. Entah apa makna tepatnya, entah pula kapan kata ini pertama muncul. Saya sendiri tahunya ’gelisah’ dan ’ragu’, dua kata yang identik dengan pemikir dan juga melankolis pengejar kesempurnaan. Pertanyaannya kemudian apakah galau sama dengan gelisah dan ragu? Entahlah. Yang pasti Fajar memang senantiasa gelisah dan selalu ragu ambil keputusan. Mungkin mirip Presiden kita saat ini.

Untung zaman ini bagi orang-orang galau adalah mereka punya akses pelampiasan. Orang galau senang memamerkan kegalauannya. Lihatlah media sosial. Ramai betul dengan status-status melankolik. Semua orang jadi bisa berpuisi, marah-marah, atau sekedar narsis-pamer diri seolah superstar sinetron galau. Tapi jadi tak mutu isi media sosial kita. Belum lagi media massa ikut-ikut goblok-goblokan. Sialnya, seperti ujaran Rizeki dan Adhi, koran kriminil tak mutu atau media berita online digital macam ’Lampu Merah’ ramai peminat. Lucu memang kalau melihat sebuah koran di mana isi berita langsung diketahui dari judul. Mungkin itu sebab ramai peminat. Tak perlu repot-repot menjelajahi isi artikel. Cukup baca judul yang panjang itu dan langsung pahamlah apa yang telah terjadi.

Itulah masyarakat kita saat ini. Gemar yang dangkal-dangkal (maap, bukan berarti kami penuh kedalaman), juga yang mistis-mistis. Orang-orang lebih senang bicara ’metafisika’ mistis daripada fisika realistis (meta: dibalik, melampaui). Kami di meja kopi ini juga tak suka fisika yang rumit itu tapi juga tak perlu hanyut dalam ’metafisika’ (kecuali ketika ingin bodohi orang). Mistis bertaut erat memang dengan mitos. Dalam mitos, kebenaran seperti sudah terpampang jelas tanpa perlu lagi diteropong dengan mikroskop. Kita tinggal ikut dan angguk-angguk bahwa itulah semestinya semesta. Tak perlu pikir panjang-panjang dan dalam-dalam. Tak perlu bedah dan ricek objek. Dan jelas tak perlu fisika yang berumus-rumus rumit itu.

Kemudian pertanyaan kami, apa ini ada hubungannya dengan semangat beragama di Indonesia? Hampir seluruh penduduk negeri ini punya agama. Itu minimal tertera di KTP. Tapi justru semangatnya seolah menggerus pluralitas negeri ini. Rizeki bicara banyak soal salah kaprah terkait agama Islam. Soal ritual, tradisi, pemahaman, banyak dimaknai hanya sebagai yang tampak (entah kenapa kali ini masyarakat kita seperti suka yang fisik-fisika). Soal bentuk masjid misalnya yang seolah sudah sakral musti berkubah, juga soal ketaatan ibadah di tempat ibadah. Ukurannya serba yang tampak-tampak.

Tapi itulah soal cara memandang. Dan itu mempengaruhi cara berpikir (untung peserta gerilya kali ini cara memandangnya amat dinamis!). Seperti soal spirit, roh. Orang bisa langsung berangggapan soal hantu dan hal-hal mistis. Tapi kami melihat sebagai semangat, jiwa, ’roh’ yang menggerakkan fisik kami. Kami melihatnya lebih abstrak. Roh itu seperti sebuah tujuan, harapan, cita-cita. Jadi kalau misal Indonesia telah kehilangan roh Pancasila. Itu bukan berarti ada hantu macam Casper bernama Pancasila yang tiba-tiba lenyap tak lagi gentayangan di bumi Indonesia. Tapi adalah Indoesia telah kehilangan semangat dari nilai-nilai yang dikandung dalam Pancasila. Bukankah Pancasila itu jiwa utama kenapa Bangsa ini ada? Begitulah kira-kira pandangan politis kami.

Rizeki menyinggung lagi soal adapt gara-gara sajian makanan tradisional di meja kami. Seringkali adat diperlakukan sekadar ritual tanpa dicari lagi makna dibalik itu. Kalau saya bilang bahwa adat, tradisi, dan kebudayaan oleh kita saat ini umumnya masih diperlakukan layaknya hal-hal sakral. Tak boleh ditafsir lain. Kalau meminjam istilah pengamat politi Eep Saefuloh fatah, generasi kita ini cenderung hanya sekadar jadi ‘tukang lap’ kebudayaan. Jadi wajar tak berkembang. Tak berkembang maka jadi tak kontekstual-relevan dengan zaman. Padahal zaman selalu berubah, makin lama makin cepat. Maka wajar generasi zaman ini asing dengan identitas, tradisi, dan budaya nasionalnya sendiri.

Cara-cara mengembangkan kebudayaan memang perlu memanfaatkan semangat zaman, khususnya kemajuan teknologi. Kembali kami mengingat soal mental malas menyelidik, mencaritahu, mendalami. Sudah jadi pmandangan umum di kelas-kelas sekolah negeri ini murid-murid malas (apa malu?) bertanya tapi senang betul berkerumun bikin keramaian dan berkomentar-komentar di luar kelas (atau di dalam kalau guru tak ada). Kritik jadi tak lazim. Semua juga senang sopan-sopan di depan, tapi menghina-hina di belakang (kami juga begitu). Maka ketika Rizeki mengungkap kekurang ajaran tapi sopan dari Sudjiwo Tedjo di berbagai forum dan juga Twitter, maka kami pikir itu cara jitu merespon kemandekkan budaya yang lagi senang bersopan-sopan di depan, menghina-hina di belakang. Lebih baik blak-blakan di depan tapi jugalah tetap elegan. Twitter, juga Facebook dan media sosial lainnya, bisa jadi ujung tombak terciptanya revolusi sosial-budaya. Seperti kata Rizeki, Twitter memungkinkan seorang Sudjiwo Tedjo yang edan membentuk kerajaan Jancukers. Stand up comedy pun sarana tepat mengkritisi berbagai kemandekan proses menjadi manusia. Lawakan model ini memang lawakan berbasis pengamatan, wawasan, dan kecerdasan mengolah isu yang. Dan itulah otokritik yang baik. Itu karena stand up comedy umumnya tampil dengan kritik terhadap diri sendiri. Entah fisik, ras, suku, agama, atau apapun tanpa perlu berkerut bermuka masam. Peran media massa dan media sosial makin menjamurkan stand up comedy ke masyarakat luas dari yang sebelumnya hanya di lingkup cafe.

Itulah obrolan ngalor ngidul sebelum akhirnya Adhi sang bisnismen menutup dengan sesuatu yang lebih konkret yaitu mind map. Penjelasan panjang lebar gaya sales dari Adhi tampaknya berhasil menarik perhatian Cok Gung, Rizeki, dan Shinta. Nampaknya manajemen berpikir yang rapi, menyusun langkah konkret, praktik mind map, dan tawaran software pendukung akan bergayung sambut di gerilya meja kopi selanjutnya. Tapi seperti pernyataan penutup dari Shinta:
”Kami orang-orang yang berpikir random”.

Maka tak terjadilah kelanjutan obrolan penutup itu selain di tulisan ini.

- Errik Irwan -