Jumat, 27 April 2012

Niti Mandala Road

Kami punya ide di suatu hari.
Ide itu untuk Minggu 29 April 2012.
Kami rencanakan mulai jam 15.00.
Ini bertempat di sekitaran Puputan Niti Mandala Renon.
Kami ingin merayakan ruang(waktu) terbuka.
Merasakan jadi manusia yang manusiawi di kota.

Kami akan joging dan jalan santai.
Tentu ada yang akan berfoto ria.
Beberapa bermain sketsa.
Boleh digenapi dengan cat air.
Kami berkarya merespon suasana kota.
Moga-moga bisa jadi peta.

Bila capek maka kami akan berhenti.
Minum ramai-ramai sambil ketawa-ketiwi.
Saat ngobrol ditemani cemilan bikinan sendiri.
Ada buah dan rujak yang bebas diambili.

Mungkin ada yang akan berpuisi-puisi.
Boleh sambil ditemani permainan musisi.
Lalu akan ada rekan yang rekam sana-sini.
Ini bekalnya ke Jepang buat promosi.

Moga-moga ide kami ini jalan.
Tak perlu bangun pagi untuk kegiatan ini.
Silakan saja bergabung ikut meramaikan.

Sampai bertemu di Puputan Niti Mandala Renon.
Sampai bertemu Minggu 29 April 2012.
Jam 15.00 WITA.

Selasa, 24 April 2012

CATATAN GERILYA 12 FEBRUARI 2012 di UBUD



Kami coba tiap gerilya meja kopi menghasilkan satu karya.
Entah tulisan, entah, coretan, entah jepretan, entah kesimpulan, entah gagasan-gagasan.
Kami ingin tiap gerilya meja kopi tak berhenti jadi kesia-siaan.
Kalau begitu, apa beda gerilya ini dan kerumunan-kerumunan lainnya?

Itulah mengapa kami tulis ulang obrolan mengalir tak tentu arah sewaktu gerilya di Ubud. Itu hari Minggu, 12 Februari 2012. Rencana Ubud sendiri adalah rencana spontan. Muncul di Minggu pagi tempat gerilya kami harusnya berlangsung hari itu. Inilah bukti kedinamisan gerak gerilya: serba mengalir tak kaku. Tapi tak ingin sia-sia. Tawaran Adhi ke Ubud untuk bertemu Windy Ariestanti sang penulis tentu kami sambut.

Kami berangkat ke Ubud telat satu jam dari jam makan siang, waktu dimana pertemuan seharusnya berlangsung. Saya (Errik), Shinta, Rizeki, Adhi, kehilangan satu jam sebagai kompensasi keraguan Fajar (ikut atau tidak, dan akhirnya memang Fajar ikut. Mungkin takut rugi kalau tak ketemu Windy).

Berputar-putar tak tentu arah, akhirnya resto Igelanca jadi medan gerilya kami.
Lantai atas yang sepi jadi pilihan kami. Tak ada wi-fi di situ, tapi cukup tersedia colokan. Dan bisa ditebak colokan itu langsung dipakai oleh Fajar yang BB-nya lowbatt.
Windy bergabung ketika makanan kami sudah datang. Obrolan pertama tentu merespon makanan dan minuman. Patut dapat puji keunikan menu yang disajikan. Dan menanyambung soal itu adalah perihal vegetarian. Windy adalah vegetarian tulen. Tapi vegetarian itu sendiri ternyata berkelas-kelas atau beragam jenis. Windy tentu ahli soal itu karena itulah pilihan hidupnya setelah sekian alasan yang tak dijelaskannya. Tapi pecinta lingkungan, ataulah arsitek ekologis, harusnya juga tak memakan daging karena berbagai isu lingkungan di seputar itu. Dan itu ilmiah. Saya pernah dengar itu di sebuah seminar nasional arsitektur ekologis. Kalau saya sendiri tak rasional soal mengapa tak makan hewan berkaki empat. Dan itulah penyebab kenapa Windy cerita panjang lebar soal ini. Saya harus tahu kenapa saya tak makan hewan berkaki empat.

Lalu soal obat. Windy memang lagi sakit. Bu Robin Lim membekali setumpuk obat herbal yang harus diminum. Telatnya Windy berkumpul di Igelanca bukan karena membalas telatnya kami, tapi memang karena soal ambil obat. Terlepas soal obat, orang kalau memiliki semangat dan harapan hidup maka segala penyakit bisa (seperti) tiarap. Mungkin itu alasan meski sakit, Windy masih mau menemui kami. Dia senang dan bersemangat untuk mengobrol dan beternak ide.

Cok Gung yang kami anggap penguasa Ubud (itu karena keluarga besarnya bermarkas di sana) datang sekitar satu setengah jam kemudian. Dia jalan kaki dari markas  keluarga besarnya. Hal itu memicu obrolan kami selanjutnya: soal jarak. Windy bersikukuh bahwa itu jauh. Kami semua berpendapat justru itu dekat. Itulah kemudian yang membingungkan kami: Apa ukuran sesuatu disebut jauh dan dekat? Jadi relatif, jadi subjektif. Windy mungkin malas atau jarang jalan kaki maka jarak Cok Gung bisa disebut jauh. Kami mungkin termasuk gemar jalan kaki (apa iya?) sehingga jarak itu dekat. Ini soal juga mengingat bahwa masyarakat kota kita malas jalan kaki. Dan ini memang menyangkut kualitas kota, utamanya hal fasilitas pejalan kaki. Sudah umum kita ketahui bagaimana keadaan ini.

Disinggunglah Jakarta. Di sana jarak sudah tak tepat diukur dengan fisik, jarak dalam satuan meter-kilometer. Tapi ukurannya adalah waktu tempuh. Entah menit, entah jam. Di Jakarta jarak 100 meter bisa makan waktu 1 jam. Itu juga tergantung kapan kamu menempuh perjalanan itu. Jakarta serba macet, serba tak aman, serba bikin gila. Shinta sebagai mantan anak Jakarta sigap beberkan itu semua. Memang orang-orang Jakarta akhirnya lari ke luar kota. Windy sendiri menyingkir ke Ubud dari Jakarta seolah hendak mencari pengobatan dari kegilaaan kota itu. Tapi dia tak murni menyingkir. Sebagian kakinya masih harus menapak Jakarta. Kota itu masih menggenggam pekerjaannya. Jakarta memang rakus uang. Ada 60% berputar di sana. Kalau sudah begitu pantaslah pemuda-pemudi nusantara lari ke sana. Moga-moga saja mereka tak jadi gila.

Windy, Rizeki, Shinta terus mengobrol ngalor ngidul entah apa. Sementara Fajar, Cok Gung, dan Adhi sibuk bahas kegalauan dan wanita. Saya sibuk menggores-gores dengan cat air portabel. Teman Windy yang datang belakangan turut mencoba dan akhirnya juga Windy sendiri mencoba. Memang benda satu ini menarik. Seandainya saya sales tentu saya musti dapat honor karena berhasil menggaet dua pelanggan baru. Tapi soal sales dan bisnis, itu bidang Adhi. Saya Cuma senang corat-coret.

Kami lanjutkan obrolan di markas keluarga Cok Gung. Di situ memang tepat karena ada meja, ada kopi, ada makanan, dan ada kerindangan alam yang nyaman. Saya, Adhi, Shinta, Rizeki langsung bahas Fajar sang galau. Ya karena dia tak lagi bergabung karena musti jemput Darman (apa Darman terjemput?). Memang sudah sifat gerilya kami untuk bahas orang-orang yang tak sedang bergabung dalam meja kopi kami. Bebaslah kami bahas seluk beluk kegalauan. Galau. Entah apa makna tepatnya, entah pula kapan kata ini pertama muncul. Saya sendiri tahunya ’gelisah’ dan ’ragu’, dua kata yang identik dengan pemikir dan juga melankolis pengejar kesempurnaan. Pertanyaannya kemudian apakah galau sama dengan gelisah dan ragu? Entahlah. Yang pasti Fajar memang senantiasa gelisah dan selalu ragu ambil keputusan. Mungkin mirip Presiden kita saat ini.

Untung zaman ini bagi orang-orang galau adalah mereka punya akses pelampiasan. Orang galau senang memamerkan kegalauannya. Lihatlah media sosial. Ramai betul dengan status-status melankolik. Semua orang jadi bisa berpuisi, marah-marah, atau sekedar narsis-pamer diri seolah superstar sinetron galau. Tapi jadi tak mutu isi media sosial kita. Belum lagi media massa ikut-ikut goblok-goblokan. Sialnya, seperti ujaran Rizeki dan Adhi, koran kriminil tak mutu atau media berita online digital macam ’Lampu Merah’ ramai peminat. Lucu memang kalau melihat sebuah koran di mana isi berita langsung diketahui dari judul. Mungkin itu sebab ramai peminat. Tak perlu repot-repot menjelajahi isi artikel. Cukup baca judul yang panjang itu dan langsung pahamlah apa yang telah terjadi.

Itulah masyarakat kita saat ini. Gemar yang dangkal-dangkal (maap, bukan berarti kami penuh kedalaman), juga yang mistis-mistis. Orang-orang lebih senang bicara ’metafisika’ mistis daripada fisika realistis (meta: dibalik, melampaui). Kami di meja kopi ini juga tak suka fisika yang rumit itu tapi juga tak perlu hanyut dalam ’metafisika’ (kecuali ketika ingin bodohi orang). Mistis bertaut erat memang dengan mitos. Dalam mitos, kebenaran seperti sudah terpampang jelas tanpa perlu lagi diteropong dengan mikroskop. Kita tinggal ikut dan angguk-angguk bahwa itulah semestinya semesta. Tak perlu pikir panjang-panjang dan dalam-dalam. Tak perlu bedah dan ricek objek. Dan jelas tak perlu fisika yang berumus-rumus rumit itu.

Kemudian pertanyaan kami, apa ini ada hubungannya dengan semangat beragama di Indonesia? Hampir seluruh penduduk negeri ini punya agama. Itu minimal tertera di KTP. Tapi justru semangatnya seolah menggerus pluralitas negeri ini. Rizeki bicara banyak soal salah kaprah terkait agama Islam. Soal ritual, tradisi, pemahaman, banyak dimaknai hanya sebagai yang tampak (entah kenapa kali ini masyarakat kita seperti suka yang fisik-fisika). Soal bentuk masjid misalnya yang seolah sudah sakral musti berkubah, juga soal ketaatan ibadah di tempat ibadah. Ukurannya serba yang tampak-tampak.

Tapi itulah soal cara memandang. Dan itu mempengaruhi cara berpikir (untung peserta gerilya kali ini cara memandangnya amat dinamis!). Seperti soal spirit, roh. Orang bisa langsung berangggapan soal hantu dan hal-hal mistis. Tapi kami melihat sebagai semangat, jiwa, ’roh’ yang menggerakkan fisik kami. Kami melihatnya lebih abstrak. Roh itu seperti sebuah tujuan, harapan, cita-cita. Jadi kalau misal Indonesia telah kehilangan roh Pancasila. Itu bukan berarti ada hantu macam Casper bernama Pancasila yang tiba-tiba lenyap tak lagi gentayangan di bumi Indonesia. Tapi adalah Indoesia telah kehilangan semangat dari nilai-nilai yang dikandung dalam Pancasila. Bukankah Pancasila itu jiwa utama kenapa Bangsa ini ada? Begitulah kira-kira pandangan politis kami.

Rizeki menyinggung lagi soal adapt gara-gara sajian makanan tradisional di meja kami. Seringkali adat diperlakukan sekadar ritual tanpa dicari lagi makna dibalik itu. Kalau saya bilang bahwa adat, tradisi, dan kebudayaan oleh kita saat ini umumnya masih diperlakukan layaknya hal-hal sakral. Tak boleh ditafsir lain. Kalau meminjam istilah pengamat politi Eep Saefuloh fatah, generasi kita ini cenderung hanya sekadar jadi ‘tukang lap’ kebudayaan. Jadi wajar tak berkembang. Tak berkembang maka jadi tak kontekstual-relevan dengan zaman. Padahal zaman selalu berubah, makin lama makin cepat. Maka wajar generasi zaman ini asing dengan identitas, tradisi, dan budaya nasionalnya sendiri.

Cara-cara mengembangkan kebudayaan memang perlu memanfaatkan semangat zaman, khususnya kemajuan teknologi. Kembali kami mengingat soal mental malas menyelidik, mencaritahu, mendalami. Sudah jadi pmandangan umum di kelas-kelas sekolah negeri ini murid-murid malas (apa malu?) bertanya tapi senang betul berkerumun bikin keramaian dan berkomentar-komentar di luar kelas (atau di dalam kalau guru tak ada). Kritik jadi tak lazim. Semua juga senang sopan-sopan di depan, tapi menghina-hina di belakang (kami juga begitu). Maka ketika Rizeki mengungkap kekurang ajaran tapi sopan dari Sudjiwo Tedjo di berbagai forum dan juga Twitter, maka kami pikir itu cara jitu merespon kemandekkan budaya yang lagi senang bersopan-sopan di depan, menghina-hina di belakang. Lebih baik blak-blakan di depan tapi jugalah tetap elegan. Twitter, juga Facebook dan media sosial lainnya, bisa jadi ujung tombak terciptanya revolusi sosial-budaya. Seperti kata Rizeki, Twitter memungkinkan seorang Sudjiwo Tedjo yang edan membentuk kerajaan Jancukers. Stand up comedy pun sarana tepat mengkritisi berbagai kemandekan proses menjadi manusia. Lawakan model ini memang lawakan berbasis pengamatan, wawasan, dan kecerdasan mengolah isu yang. Dan itulah otokritik yang baik. Itu karena stand up comedy umumnya tampil dengan kritik terhadap diri sendiri. Entah fisik, ras, suku, agama, atau apapun tanpa perlu berkerut bermuka masam. Peran media massa dan media sosial makin menjamurkan stand up comedy ke masyarakat luas dari yang sebelumnya hanya di lingkup cafe.

Itulah obrolan ngalor ngidul sebelum akhirnya Adhi sang bisnismen menutup dengan sesuatu yang lebih konkret yaitu mind map. Penjelasan panjang lebar gaya sales dari Adhi tampaknya berhasil menarik perhatian Cok Gung, Rizeki, dan Shinta. Nampaknya manajemen berpikir yang rapi, menyusun langkah konkret, praktik mind map, dan tawaran software pendukung akan bergayung sambut di gerilya meja kopi selanjutnya. Tapi seperti pernyataan penutup dari Shinta:
”Kami orang-orang yang berpikir random”.

Maka tak terjadilah kelanjutan obrolan penutup itu selain di tulisan ini.

- Errik Irwan -

Bermain (lagi) di Sanggar Anak Tangguh


Saat orang-orang dewasa sibuk ribut-ribut berkonflik dan musuhan,
anak-anak Sanggar Anak Tangguh ini sibuk bekerja sama dan berkarya.

Hari Minggu, 15 April 2012, di Desa Guwang, Gianyar.

Banyak hal bisa diserap dari kegiatan anak-anak ini.
Ada kreativitas, keceriaan, semangat, dan kekaryaan.
Saya jadi terbawa suasana itu.

Jadilah gambar bercat air ini saat itu juga.


(Saya berjanji bersama-sama mereka membuat komik. Mereka tampak sangat tertarik melihat proses gambar ini dibuat sampai-sampai lukisan itu tak jadi)


(maap, jepretan saya buruk)

Senin, 23 April 2012

GERILYA MEJA KOPI 05 FEBRUARI 2012 @Cafe Danes Art Veranda



Jalanan Denpasar harus diakui kejam untuk pejalan kaki. Saya tak berjalan kaki. Saya naik sepeda. Tapi merasakan juga kejamnya nasib yang disediakan untuk pejalan kaki ini. Jalanan sempit tak ada trotoar. Parkir kendaraan entah ke mana-mana menghadang jalan. Lubang-lubang jebakan menganga dengan jelas. Sampah menggunung-gunung tak karuan. Dan tentu saja, panas terik gila-gilaan khas wilayah pesisir yang makin didramatisir gersang tiada hijau-hijauan (dan makin gila lagi dengan kendaraan berasap merayap-rayap agresipp!). Pagi itu sebuah ritual adat menarik jadi tak menarik lagi akibat lipahan-limpahan masalah jalanan. Itu semua saya dokumentasi selama perjalanan pagi itu baik di dalam ingatan, batin hati, juga tentu saja digital-kamera mungil.

Itulah yang pertama-tama saya sampaikan saat bertemu Dany Cahyono yang telah menunggu sekitar sejam di meja kopi Cafe Danes Art Veranda dari jadwal jam 9 pagi. Perlu disampaikan pula alasan yang lebih berbobot yaitu karena menyelidiki ruas jalan Hang Tuah: dari KFC Sanur hingga bundaran yang ada patung orang mengacungkan pistol.

Dari situlah muncul bahasan atas ide spontan yang muncul saat perjalanan tersebut. Bagaimana mendorong orang mau berjalan kaki? Ya, sediakanlah trotoar dan sarana pendukung yang nyaman. Dalam obrolan perdana dengan Dany saya ungkapkan potensi yang bagus sekali di ruas jalan tersebut yaitu keberadaan penjual-penjual tanaman di mana  merekalah yang membuat dan merawat trotoar khas mereka yang karena jugalah etalase mereka sendiri sementara pemerintah bisa menyediakan anggaran, fasilitator, dan mendukung lewat regulasi serta intensif pajak usaha.

Gagasan seperti ini yang seringkali muncul dalam obrolan-obrolan ngalor ngidul semestinya tercatat, terarsip, terdokumentasi dengan baik, bahkan hingga tahap publikasi apik via multimedia beragam versi. Itulah yang mendorong Rizeki Raharja pada Minggu 28 Januari 2012 di J-Co Galeria Mall memunculkan rencana kumpul seminggu sekali dengan minimal satu karya tercipta. Pertemuan di meja cafe seminggu setelahnya ini adalah bagian dari rencana itu yang menetapkan target: menghasilkan media blog, nama grup/media, dan rencana selanjutnya. Rizeki yang bergabung di meja cafe 10 menit setelah obrolan perdana saya dan Dany seolah memastikan apa yang hendak dicapai hari itu.

Sekitar sejam kemudian Fajar Hikmawanto bergabung menggenapkan peserta obrolan pada sebuah meja dengan 6 kursi: 4 kursi untuk orang, dua kursi untuk barang-barang bawaan. Singkat cerita mulailah peralatan kerja bertebaran di meja cafe yang ’mungil’: laptop, alat tulis, kertas-kertas, buku, Black Berry, kamera digital, bersanding dengan menu-menu cafe: jus, ice lemon tea, gado-gado. Itu belum ditambah scanner yang masih tersimpan di tas. Berutunglah bahwa ada banyak sekali stop kontak di cafe ini dengan layanan wifi yang bisa diandalkan dengan baik. Tak perlu rol kabel berpanjang-panjang dan tak perlu pula modem kami beraksi. Mulailah lagi obrolan mengalir didukung halaman-halaman internet sambil membuat laman blog bersama.

Yang cukup menarik adalah proses mencari nama. Rizeki telah mengujicoba beberapa nama pada tampilan setting blogger. Nama ’Meja Kopi’ kami favoritkan tapi sudah diklaim dahulu. Juga beberapa nama yang terdengar cukup elok. Dan pikiran saya yang memang selalu dipenuhi petualangan perang secara otomatis entah mengapa mengeluarkan kalimat mengandung kata ’gerilya’. Rizeki mengetik kata kunci itu bersanding dengan dengan kata favorit kami. Ternyata ’Gerilya Meja kopi’ belum diklaim siapapun di blogger. Juga belum jadi merek siapapun di internet. Padahal ini mudah untuk ’branding’. Tapi bukankah memang kami, juga teman-teman yang belumlah jadi siapa-siapa, sedang bergerilya mensiasati ruang dan waktu dari sekian tumpuk kesibukan yang hanya sekedar untuk bertahan hidup? Dan bukankah kami juga belum punya ’markas’ sehingga harus berpindah-pindah dari meja satu ke meja lainnya sambil senantiasa ditemani kopi? Jadi mengapa tak ’Gerilya Meja kopi’? Bukankah ’gerilya’ adalah taktik yang tepat dalam perang tak seimbang yang lemah lawan kuat, dalam hal ini kuat secara arus zaman, kekuatan modal, massa, dan media. Gerilya yang biasanya dari hutan-ke hutan kami artikan gerilya dari meja ke meja.

Segera dari situ obrolan mengalir soal apa yang hendak dicapai dari media dan grup ini. Rizeki menyampaikan bahwa dengan media ini maka akan selalu ada ’rasa haus’ untuk mengisi sesuatu yang tentu harus bermutu. Ini berarti juga menuntuk pasokan hal-hal bermutu untuk pikiran kami. Dan tentu semakin mendayagunakan ketrampilan kami dari sekedar memenuhi tuntutan perusahaan-perusahaan tempat kerja kami. Akan selalu ada tuntutan-tuntutan data, kebiasaan-kebiasaan mendokumentasi dan mencatat, dan sambil terus membuka kemungkinan baru. Bagi Rizeki sebuah pemikiran yang dicatat pun adalah sebuah karya tersendiri. Ini memang lebih baik daripada berdiam diri, cuek, apatis sama sekali. Kami semua pun berharap banyak ajuan-ajuan gagasan muncul tercatat di media ini. Beberapa bahkan haruslah sampai tahap proposal yang siap dieksekusi di lapangan bagi siapapun yang tertarik membantu. Minimal bahwa pemikiran-pemikiran serta rencana ini mendapat ’feedback’ dari para pembaca guna makin menuju kesempurnaan. Saya berpikir bahwa eksperimen kecil apapun dari sebuah ’grand design’, seperti hanya sebuah bangku taman dan tempat sampah, bisa jadi pemicu langkah-langkah penyemangat menuju ’grand design’ itu sendiri bahwa itu memang mungkin. Harapan saya agar selalu ada publikasi apa yang jadi obrolan utama dan ide-ide di dalamnya untuk mempromosi, mengajak, dan meruntuhkan suatu persepsi bahwa apa yang kami obrolkan di meja kopi ini sesuatu yang sangat berat-serius bikin dahi terus berkerut-kerut (memang yang diobrolkan bukanlah soal topik-topik kaum alay dan ababil tapi juga tidak ada obrolan gaya profesor yang serba dingin-kaku-penuh justifikasi. Misal perhatikanlah tuturan Rizeki yang serba mengalir). Fajar yang gemar me-layout menawarkan keahliannya agar tersaji sebuah bahan siap print out tempat semua gagasan terbendel jadi satu. Semacam e-magazine siap donwload. Muncul pula semangat memetakan potensi cafe-cafe sebagai pendukung kerja kreatif kaum muda, misalnya, sebagai produk tambahan grup ini. Sebuah peta cafe dengan data kelengkapan stop kontak, wifi, kualitas pelayanan, bahkan menu, mungkin akan menarik bagi kaum-kaum muda kreatif yang kesulitan mencari ’meja kopi’ guna medan pemicu ’brainstorming’. Ini mengingatkan pula, sebagaimana populer ditulis dalam berbagai artikel dan buku, bahwa revolusi berawal dari kedai-kedai kopi. Seperti pula di Eropa yang revolusi-revolusinya tersohor itu (dan jadi ingat pula warung kopi kita).

Merespon gagasan media blog ini dan bundelan ajuan Fajar maka saya jadi bercerita soal pentingnya wadah penyimpan agar suatu ide tak mati di gudang-gudang sepi pojok-pojok pikiran. Sebagaimana kita semua ketahui bahwa banyak pula ide-ide hebat, seperti di arsitektur, lahir dari mahasiswa-mahasiswa. Itu termasuk pula mahasiswa Indonesia. Karyanya tak kalah dengan teman-teman di luar negeri. Tapi yang membedakan adalah bahwa ide mereka, teman-teman di luar negeri, yang seringkali kelewat visioner, bahkan juga konyol, terus tersimpan-terawat dan hidup dalam sebuah ’dunia lain’. Dia dunia paralel dari dunia nyata kita. Lihatlah bagaimana animasi-animasi dan manga-manga Jepang menampung dengan senang hati hal-hal di luar batas kewajaran dunia nyata kita. Dunia barat lewat industri filmnya mampu emnunjukkan visi dunia futuristik yang mampu mengaburkan mana nyata mana maya. Siapa yang bisa menyanggah bahwa Space Oddysesy buatan tahun ’60-an menginspirasi berbagai film futuristik luar angkasa semacam Star Wars, Star Trek, dan lain-lain yang mendorong pula program-program luar angkasa dan minat-minat anak-anak muda menggeluti dunia yang masih dalam tahap misteri tersebut (misteri juga dalam arti hidup mereka serba tak pasti dengan menngeluti bidang itu). Dan lihat setelah teknologi memungkinkan maka terjadilah apa yang diceritakan di Space Odyssey, secara bertahap, seperti layar sentuh datar.

Seperti juga animasi Jepang yang maju yang serba detail pula arsitekturnya maka saya sampaikan perlunya juga sebuah ’Indonesia Yang Lain’ yang menampung karya-karya brilian mahasiswa-mahasiswa dan anak-anak muda Indonesia yang seringkali terkendala teknis nyata lapangan: mulai dari teknologi, indutri, hingga birokrasi serta korupsi. Teman-teman mahasiswa arsitektur tetap bangga bahwa karyanya terbangun dalam kehidupan  Indonesia Yang Lain. Dunia paralel ini berarti mensyaratkan majunya industri film dan animasi (juga gambar lainnya) dalam negeri untuk bisa memaparkan suatu cerita bahwa Indonesia yang maju, tertib, berarsitektur apik, serba membanggakan. Mobil Esemka, jet penumpang N-2130, kereta supercepat Jakarta-Surabaya dua jam bisa bersliweran tiap hari dalam cerita. Akan tertanam pula minat anak-anak kecil mengorbit Mars dengan roket dalam negeri karena melihat itu terjadi dalam sebuah rangkaian cerita menarik bervisual nan nyata. Saya cerita bahwa Patlabor pun bukanlah sekedar film robot sembarangan. Bahwa ’labor’, sebutan robot tersebut, didesain dengan sangat detail hingga persendian layaknya mesin sungguhan dan betul-betul dimulai dari gambar kerja robot. Lingkungan sosialnya masyarakatnya pun dirancang sedetail mungkin berbasis riset kemungkinan kehidupan sosial masyarakat jepang masa depan (film buatan akhir 1980-an awal 1990-an itu mengacu kehidupan tahun 2000, kehidupan kita sekarang). Jadi dari situ saya ingin menyampaikan bahwa hendaknya kebanggana kita dibangun juga dari mimpi-mimpi masa depan, visi-visi maju, yang mendorong gerak positif mencapai itu. Bukan melululagi kebanggaan berdasar alam, adat, tradisi, dan hal-hal serba peninggalan. Meminjam kata-kata Eep Saefulah fatah bahwa hendaknya generasi kita tidak menjadi sekedar ’tukang lap kebudayaan’.

Mimpi abstrak ’Indonesia Yang Lain’ dibenturkan dengan kenyataan kami sekarang yang serba terbatas dari segi sumber daya manusia, materi, dabn waktu. Saya mengingatkan soal rencana intalasi arsitektur dari bambu untuk penutupan tahun kedua Architects Under Big 3 (AUB3) bulan April yang belum bergerak nyata sejak digulirkan awal Oktober 2011 selain cuma sketsa dan maket. Juga soal kelanjutan workshop arsitektur ’Di Mana Batas Bali’ yang didorong arsitek Adi Purnomo menandai penutupan AUB 3 setahun lalu yang betul-betul mandeg kelanjutannya (dari 30 arsitek muda pesertanya nyaris tak tersisa lagi).

Sambil dicairkan menu cafe tahap dua (dua cangkir kopi hitam, segelas es teh, sepiring french fries, dan sepiring kentang goreng gaya lokal) kami melanjutkan dengan menyusun rencana-rencana konkret. Fajar akan membuat layout blog, Rizeki mengolah foto dan data awal, dan saya mencatat dan mengedit artikel, juga menyiapkan pengenalan ’Gerilya meja Kopi’. Dany Cahyono pun langsung belajar membuat blog. Metode ’Drop Box’ akan digunakan untuk saling mentranfer foto dan data lainnya. Sebuah grup BlackBerry Messenger langsung dibuat untuk memudahkan komunikasi. Sambil pula menekankan tindakan sederhana dan konkret yang bisa dilakukan untuk mendukung olah gagasan dan bahan desain: mendokumentasi perjalanan ke tempat kerja.

Kedatangan seorang teman yang melihat kami sebagai kumpulan manusia super serius membangunkan kesadaran kami bahwa hari sudah sore. Jam 6 itu Cafe Danes Art Veranda benar-benar ramai anak muda. Mulai dari mengobrol beramai-ramai, rapat tabloid, sibuk menyendiri berlaptop ria, atau sekedar makan malam. Fajar dan Dany pulang terlebih dulu. Saya dan Rizeki yang benar-benar menikmati minggu santai masih bertahan mengamati-amati sambil mengobrol sederhana. Dan tak terduga munculah ide spontan mendokumentasikan meja kerja masing-masing dan menceritakan tentang itu. Itulah tempat di mana kami, arsitek muda, menghabiskan sebagian besar hari. Bukan di tempat tidur. Tapi di meja kerja. Ini kira-kira rencana iseng kami yang bisa diwujudkan di tengah kesibukan yang bikin dari berkerut-kerut.

Moga-moga teman tadi berubah persepsi begitu melihat ulasan meja kerja kami.
Kira-kira itulah gambaran Gerilya Meja Kopi kami yang perdana di Cafe Danes Art Veranda. Jam 19.00, Minggu 5 Februari 2012, saatnya kami pulang.
Hari semakin gelap. Senin telah menunggu.
Dan begitu pula meja kopi kami minggu depannya..


- Errik Irwan -

Sabtu, 21 April 2012

Archigeddon



Saya teringat sebuah kejadian baru-baru ini yang menarik permenungan.
Ini di sebuah kegiatan arsitektur-sosial-kemanusiaan di pulau seberang.
Pemuda-pemudi berbagai kota asyik rehat siang dan saling bercengkrama.
Tiba-tiba saya dapati teman saya sibuk mengutak-atik CAD di laptopnya.
Dia sembunyi-sembunyi dengan kesibukan yang tak lazim itu.
Tapi akhirnya teman saya itu 'bernyanyi' juga.
Tentu setelah didesak selidik penuh ingin tahu teman-teman lainnya.
Ternyata dia sedang mengerjakan pekerjaan kantornya.

Saya dan teman-teman lain tertawa melihat kenyataan itu.
Mengerjakan kerjaan kantor saat yang lain bersantai-santai.
kayak tak cukup saja waktu melimpah di kantor itu.

Tapi juga memang harus kasihan.
Tadi malam dia lagi istirahat damai.
Itu setelah seharian banting tulang tangani kegiatan dan peserta.
Tiba-tiba bosnya menelpon menanyakan denah rumah klien.
Minta dikirim pula keesokan harinya.
Coba, kalau sudah begini siapa masih bisa santai-damai menikmati sisa malam?

Kami memang patut berhenti tertawa.

Tak tega lihat kenyataan sisi lain itu.

Pikir-pikir, apa bosnya tak tahu untuk apa teman saya ini membolos hari kerja?
Pikir-pikir tentulah si bos tahu. 
Teman saya pasti minta izin secara jujur. 
Kalau tidak dia tak akan sampai di Borobudur.
Dia anak alim.
Bukan tipe suka main-main, senang-senang, hura-hura, gemar hedon-hedonan.

Dia bukan seperti kami, juga temannya yang lain.
Kami masih bisa keluyuran karena cuma peserta.
Teman saya yang alim ini tak bisa meninggalkan posko tugasnya.
Dia relawan-panitia garda pertama.
Sudah siaga satu sejak peserta masih asyik di kota masing-masing.

Banyak kiranya yang seperti itu. 
Teman-teman semasa mahasiswa yang aktip-aktip agresip-agresip.
Penuh ide-ide besar, semangat banting tulang, ketrampilan gila-gilaan.
Tapi sayang tampaknya tak punya banyak pilihan. 
Musti kontinyu menyambung hidup.
Mentok di meja kantor.
Pakai dasi, pasrah revisi, siap nguli.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saya bayangkan jika merekalah orang-orang terbaik ibu pertiwi.
Terpanggil untuk membantu menyelamatkan bumi.
Lagi siap-siap menjalankan misi.
Lalu tiba-tiba telpon menari.

"Hai ini ada revisi,
revisi, revisi, dan revisi!"

Itulah arsitektur dalam industri.
Serba sibuk, serba sigap.
Bisa-bisa bikin bumi kiamat.

(Atau hidup pemuda-pemudi ini yang kiamat?)


Kamis, 05 April 2012

Ketemu Pablo Ientile


Yang namanya kerjaan selalu menumpuk.
Dikerjakan di awal pun tetap akan menumpuk.
Itu karena selalu ada revisi, atau tambahan-tambahan biar selalu ada tumpukan.
Itulah rutinitas.
Itulah (pabrik) arsitektur.

Maka itu ketika Pablo Ientile datang ke Bali dan ingin berbagi cerita,

perlulah ada jeda rutinitas.
Ajak teman-teman, bawa alat gambar-alat rekam.
Sambil menggambar-sambil merekam saya tanya dalam hati:

"Apa kerjaan orang ini?"

Betul, yang dilakukan Pablo seperti orang tak punya kerjaan.

Tak percaya, coba lihat isi situsnya ini.

Dan heran betul kita berbondong-bondong datang, 

bengong-bengong terkagum-kagum simak cerita-ceritanya.
Soal mengapa dia keliling dunia,
soal bagaimana dia bisa keliling dunia.

Tapi memang bolehlah cerita pengalaman-pengalamannya.

Soal cerita dibalik goresan tangannya,
atau goresan tangan orang yang ditemuinya di mana-mana.

Ini tentu beda kalau saya yang disuruh cerita.

"Bung, ceritakan pengalamanmu!"


"Oh, pengalaman saya mengerjakan pekerjaan yang selalu menumpuk. Terus ditumpuk-tumpuk. 
Lembur..lembur.. dan lembur menggambar apa yang saya sendiri pusing ini apa."

Itulah rutinitas (saya).

Itulah (pabrik) arsitektur (yang saya alami).


Beda betul sama Pablo.


.....