Senin, 23 April 2012

GERILYA MEJA KOPI 05 FEBRUARI 2012 @Cafe Danes Art Veranda



Jalanan Denpasar harus diakui kejam untuk pejalan kaki. Saya tak berjalan kaki. Saya naik sepeda. Tapi merasakan juga kejamnya nasib yang disediakan untuk pejalan kaki ini. Jalanan sempit tak ada trotoar. Parkir kendaraan entah ke mana-mana menghadang jalan. Lubang-lubang jebakan menganga dengan jelas. Sampah menggunung-gunung tak karuan. Dan tentu saja, panas terik gila-gilaan khas wilayah pesisir yang makin didramatisir gersang tiada hijau-hijauan (dan makin gila lagi dengan kendaraan berasap merayap-rayap agresipp!). Pagi itu sebuah ritual adat menarik jadi tak menarik lagi akibat lipahan-limpahan masalah jalanan. Itu semua saya dokumentasi selama perjalanan pagi itu baik di dalam ingatan, batin hati, juga tentu saja digital-kamera mungil.

Itulah yang pertama-tama saya sampaikan saat bertemu Dany Cahyono yang telah menunggu sekitar sejam di meja kopi Cafe Danes Art Veranda dari jadwal jam 9 pagi. Perlu disampaikan pula alasan yang lebih berbobot yaitu karena menyelidiki ruas jalan Hang Tuah: dari KFC Sanur hingga bundaran yang ada patung orang mengacungkan pistol.

Dari situlah muncul bahasan atas ide spontan yang muncul saat perjalanan tersebut. Bagaimana mendorong orang mau berjalan kaki? Ya, sediakanlah trotoar dan sarana pendukung yang nyaman. Dalam obrolan perdana dengan Dany saya ungkapkan potensi yang bagus sekali di ruas jalan tersebut yaitu keberadaan penjual-penjual tanaman di mana  merekalah yang membuat dan merawat trotoar khas mereka yang karena jugalah etalase mereka sendiri sementara pemerintah bisa menyediakan anggaran, fasilitator, dan mendukung lewat regulasi serta intensif pajak usaha.

Gagasan seperti ini yang seringkali muncul dalam obrolan-obrolan ngalor ngidul semestinya tercatat, terarsip, terdokumentasi dengan baik, bahkan hingga tahap publikasi apik via multimedia beragam versi. Itulah yang mendorong Rizeki Raharja pada Minggu 28 Januari 2012 di J-Co Galeria Mall memunculkan rencana kumpul seminggu sekali dengan minimal satu karya tercipta. Pertemuan di meja cafe seminggu setelahnya ini adalah bagian dari rencana itu yang menetapkan target: menghasilkan media blog, nama grup/media, dan rencana selanjutnya. Rizeki yang bergabung di meja cafe 10 menit setelah obrolan perdana saya dan Dany seolah memastikan apa yang hendak dicapai hari itu.

Sekitar sejam kemudian Fajar Hikmawanto bergabung menggenapkan peserta obrolan pada sebuah meja dengan 6 kursi: 4 kursi untuk orang, dua kursi untuk barang-barang bawaan. Singkat cerita mulailah peralatan kerja bertebaran di meja cafe yang ’mungil’: laptop, alat tulis, kertas-kertas, buku, Black Berry, kamera digital, bersanding dengan menu-menu cafe: jus, ice lemon tea, gado-gado. Itu belum ditambah scanner yang masih tersimpan di tas. Berutunglah bahwa ada banyak sekali stop kontak di cafe ini dengan layanan wifi yang bisa diandalkan dengan baik. Tak perlu rol kabel berpanjang-panjang dan tak perlu pula modem kami beraksi. Mulailah lagi obrolan mengalir didukung halaman-halaman internet sambil membuat laman blog bersama.

Yang cukup menarik adalah proses mencari nama. Rizeki telah mengujicoba beberapa nama pada tampilan setting blogger. Nama ’Meja Kopi’ kami favoritkan tapi sudah diklaim dahulu. Juga beberapa nama yang terdengar cukup elok. Dan pikiran saya yang memang selalu dipenuhi petualangan perang secara otomatis entah mengapa mengeluarkan kalimat mengandung kata ’gerilya’. Rizeki mengetik kata kunci itu bersanding dengan dengan kata favorit kami. Ternyata ’Gerilya Meja kopi’ belum diklaim siapapun di blogger. Juga belum jadi merek siapapun di internet. Padahal ini mudah untuk ’branding’. Tapi bukankah memang kami, juga teman-teman yang belumlah jadi siapa-siapa, sedang bergerilya mensiasati ruang dan waktu dari sekian tumpuk kesibukan yang hanya sekedar untuk bertahan hidup? Dan bukankah kami juga belum punya ’markas’ sehingga harus berpindah-pindah dari meja satu ke meja lainnya sambil senantiasa ditemani kopi? Jadi mengapa tak ’Gerilya Meja kopi’? Bukankah ’gerilya’ adalah taktik yang tepat dalam perang tak seimbang yang lemah lawan kuat, dalam hal ini kuat secara arus zaman, kekuatan modal, massa, dan media. Gerilya yang biasanya dari hutan-ke hutan kami artikan gerilya dari meja ke meja.

Segera dari situ obrolan mengalir soal apa yang hendak dicapai dari media dan grup ini. Rizeki menyampaikan bahwa dengan media ini maka akan selalu ada ’rasa haus’ untuk mengisi sesuatu yang tentu harus bermutu. Ini berarti juga menuntuk pasokan hal-hal bermutu untuk pikiran kami. Dan tentu semakin mendayagunakan ketrampilan kami dari sekedar memenuhi tuntutan perusahaan-perusahaan tempat kerja kami. Akan selalu ada tuntutan-tuntutan data, kebiasaan-kebiasaan mendokumentasi dan mencatat, dan sambil terus membuka kemungkinan baru. Bagi Rizeki sebuah pemikiran yang dicatat pun adalah sebuah karya tersendiri. Ini memang lebih baik daripada berdiam diri, cuek, apatis sama sekali. Kami semua pun berharap banyak ajuan-ajuan gagasan muncul tercatat di media ini. Beberapa bahkan haruslah sampai tahap proposal yang siap dieksekusi di lapangan bagi siapapun yang tertarik membantu. Minimal bahwa pemikiran-pemikiran serta rencana ini mendapat ’feedback’ dari para pembaca guna makin menuju kesempurnaan. Saya berpikir bahwa eksperimen kecil apapun dari sebuah ’grand design’, seperti hanya sebuah bangku taman dan tempat sampah, bisa jadi pemicu langkah-langkah penyemangat menuju ’grand design’ itu sendiri bahwa itu memang mungkin. Harapan saya agar selalu ada publikasi apa yang jadi obrolan utama dan ide-ide di dalamnya untuk mempromosi, mengajak, dan meruntuhkan suatu persepsi bahwa apa yang kami obrolkan di meja kopi ini sesuatu yang sangat berat-serius bikin dahi terus berkerut-kerut (memang yang diobrolkan bukanlah soal topik-topik kaum alay dan ababil tapi juga tidak ada obrolan gaya profesor yang serba dingin-kaku-penuh justifikasi. Misal perhatikanlah tuturan Rizeki yang serba mengalir). Fajar yang gemar me-layout menawarkan keahliannya agar tersaji sebuah bahan siap print out tempat semua gagasan terbendel jadi satu. Semacam e-magazine siap donwload. Muncul pula semangat memetakan potensi cafe-cafe sebagai pendukung kerja kreatif kaum muda, misalnya, sebagai produk tambahan grup ini. Sebuah peta cafe dengan data kelengkapan stop kontak, wifi, kualitas pelayanan, bahkan menu, mungkin akan menarik bagi kaum-kaum muda kreatif yang kesulitan mencari ’meja kopi’ guna medan pemicu ’brainstorming’. Ini mengingatkan pula, sebagaimana populer ditulis dalam berbagai artikel dan buku, bahwa revolusi berawal dari kedai-kedai kopi. Seperti pula di Eropa yang revolusi-revolusinya tersohor itu (dan jadi ingat pula warung kopi kita).

Merespon gagasan media blog ini dan bundelan ajuan Fajar maka saya jadi bercerita soal pentingnya wadah penyimpan agar suatu ide tak mati di gudang-gudang sepi pojok-pojok pikiran. Sebagaimana kita semua ketahui bahwa banyak pula ide-ide hebat, seperti di arsitektur, lahir dari mahasiswa-mahasiswa. Itu termasuk pula mahasiswa Indonesia. Karyanya tak kalah dengan teman-teman di luar negeri. Tapi yang membedakan adalah bahwa ide mereka, teman-teman di luar negeri, yang seringkali kelewat visioner, bahkan juga konyol, terus tersimpan-terawat dan hidup dalam sebuah ’dunia lain’. Dia dunia paralel dari dunia nyata kita. Lihatlah bagaimana animasi-animasi dan manga-manga Jepang menampung dengan senang hati hal-hal di luar batas kewajaran dunia nyata kita. Dunia barat lewat industri filmnya mampu emnunjukkan visi dunia futuristik yang mampu mengaburkan mana nyata mana maya. Siapa yang bisa menyanggah bahwa Space Oddysesy buatan tahun ’60-an menginspirasi berbagai film futuristik luar angkasa semacam Star Wars, Star Trek, dan lain-lain yang mendorong pula program-program luar angkasa dan minat-minat anak-anak muda menggeluti dunia yang masih dalam tahap misteri tersebut (misteri juga dalam arti hidup mereka serba tak pasti dengan menngeluti bidang itu). Dan lihat setelah teknologi memungkinkan maka terjadilah apa yang diceritakan di Space Odyssey, secara bertahap, seperti layar sentuh datar.

Seperti juga animasi Jepang yang maju yang serba detail pula arsitekturnya maka saya sampaikan perlunya juga sebuah ’Indonesia Yang Lain’ yang menampung karya-karya brilian mahasiswa-mahasiswa dan anak-anak muda Indonesia yang seringkali terkendala teknis nyata lapangan: mulai dari teknologi, indutri, hingga birokrasi serta korupsi. Teman-teman mahasiswa arsitektur tetap bangga bahwa karyanya terbangun dalam kehidupan  Indonesia Yang Lain. Dunia paralel ini berarti mensyaratkan majunya industri film dan animasi (juga gambar lainnya) dalam negeri untuk bisa memaparkan suatu cerita bahwa Indonesia yang maju, tertib, berarsitektur apik, serba membanggakan. Mobil Esemka, jet penumpang N-2130, kereta supercepat Jakarta-Surabaya dua jam bisa bersliweran tiap hari dalam cerita. Akan tertanam pula minat anak-anak kecil mengorbit Mars dengan roket dalam negeri karena melihat itu terjadi dalam sebuah rangkaian cerita menarik bervisual nan nyata. Saya cerita bahwa Patlabor pun bukanlah sekedar film robot sembarangan. Bahwa ’labor’, sebutan robot tersebut, didesain dengan sangat detail hingga persendian layaknya mesin sungguhan dan betul-betul dimulai dari gambar kerja robot. Lingkungan sosialnya masyarakatnya pun dirancang sedetail mungkin berbasis riset kemungkinan kehidupan sosial masyarakat jepang masa depan (film buatan akhir 1980-an awal 1990-an itu mengacu kehidupan tahun 2000, kehidupan kita sekarang). Jadi dari situ saya ingin menyampaikan bahwa hendaknya kebanggana kita dibangun juga dari mimpi-mimpi masa depan, visi-visi maju, yang mendorong gerak positif mencapai itu. Bukan melululagi kebanggaan berdasar alam, adat, tradisi, dan hal-hal serba peninggalan. Meminjam kata-kata Eep Saefulah fatah bahwa hendaknya generasi kita tidak menjadi sekedar ’tukang lap kebudayaan’.

Mimpi abstrak ’Indonesia Yang Lain’ dibenturkan dengan kenyataan kami sekarang yang serba terbatas dari segi sumber daya manusia, materi, dabn waktu. Saya mengingatkan soal rencana intalasi arsitektur dari bambu untuk penutupan tahun kedua Architects Under Big 3 (AUB3) bulan April yang belum bergerak nyata sejak digulirkan awal Oktober 2011 selain cuma sketsa dan maket. Juga soal kelanjutan workshop arsitektur ’Di Mana Batas Bali’ yang didorong arsitek Adi Purnomo menandai penutupan AUB 3 setahun lalu yang betul-betul mandeg kelanjutannya (dari 30 arsitek muda pesertanya nyaris tak tersisa lagi).

Sambil dicairkan menu cafe tahap dua (dua cangkir kopi hitam, segelas es teh, sepiring french fries, dan sepiring kentang goreng gaya lokal) kami melanjutkan dengan menyusun rencana-rencana konkret. Fajar akan membuat layout blog, Rizeki mengolah foto dan data awal, dan saya mencatat dan mengedit artikel, juga menyiapkan pengenalan ’Gerilya meja Kopi’. Dany Cahyono pun langsung belajar membuat blog. Metode ’Drop Box’ akan digunakan untuk saling mentranfer foto dan data lainnya. Sebuah grup BlackBerry Messenger langsung dibuat untuk memudahkan komunikasi. Sambil pula menekankan tindakan sederhana dan konkret yang bisa dilakukan untuk mendukung olah gagasan dan bahan desain: mendokumentasi perjalanan ke tempat kerja.

Kedatangan seorang teman yang melihat kami sebagai kumpulan manusia super serius membangunkan kesadaran kami bahwa hari sudah sore. Jam 6 itu Cafe Danes Art Veranda benar-benar ramai anak muda. Mulai dari mengobrol beramai-ramai, rapat tabloid, sibuk menyendiri berlaptop ria, atau sekedar makan malam. Fajar dan Dany pulang terlebih dulu. Saya dan Rizeki yang benar-benar menikmati minggu santai masih bertahan mengamati-amati sambil mengobrol sederhana. Dan tak terduga munculah ide spontan mendokumentasikan meja kerja masing-masing dan menceritakan tentang itu. Itulah tempat di mana kami, arsitek muda, menghabiskan sebagian besar hari. Bukan di tempat tidur. Tapi di meja kerja. Ini kira-kira rencana iseng kami yang bisa diwujudkan di tengah kesibukan yang bikin dari berkerut-kerut.

Moga-moga teman tadi berubah persepsi begitu melihat ulasan meja kerja kami.
Kira-kira itulah gambaran Gerilya Meja Kopi kami yang perdana di Cafe Danes Art Veranda. Jam 19.00, Minggu 5 Februari 2012, saatnya kami pulang.
Hari semakin gelap. Senin telah menunggu.
Dan begitu pula meja kopi kami minggu depannya..


- Errik Irwan -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar