Rabu, 26 Januari 2011

Pokoknya Kayak Gitu

Kata seorang teman
"Jangan pernah berdebat soal selera"
(juga estetika)

Yang kuat (kuasa) yang menentukan selera.
Dan yang bikin repot:
Bagaimana menebak selera si kuat (kuasa).

Jika
Staf gambar tunduk pada selera arsitek
Arsitek tunduk pada selera klien
Dan Klien ngikut pada selera pasar
Maka harusnya semua tinggal ikut selera pasar saja
Dan arsitektur menjadi hal yang mudah!

Coba:
Kalo Staf gambar tunduk selera pasar
Arsitek tunduk selera pasar
Klien tunduk selera pasar
Gak perlu ada yang terkapar
Lembur-lembur revisi estetika gambar

Harusnya sih semudah itu.
Serba pasti.

("Hidup yang pasti-pasti aja deh
gak usah aneh-aneh..."
Gitu nasehat pasar)

Senin, 24 Januari 2011

Pemainnya Itu Melulu

(adegan republik tersandra gayus)



Tampilkan donk pemain lain..
I
I
I


(Izinkan saya menyajikan ulang kegelisahan JaKob Sumardjo di Harian Kompas. Sekiranya bisa menggugah Kita.)
------------------------------------------------------------------


Kriminal atau Pahlawan
Sabtu, 22 Januari 2011 | 04:45 WIB

Jakob Sumardjo
Indonesia gudangnya cerita absurd, paradoks, dan irasional. Kita sekarang tahu negeri ini semakin merosot justru karena pengelola negara semakin kaya dengan kekayaan yang juga absurd.
Bayangkan seorang guru besar yang telah pensiun sesudah mengabdikan diri mendidik para sarjana selama 40 tahun! Ia mendapatkan pesangon pensiun sebesar Rp 34 juta dan uang pensiun setiap bulan Rp 2,5 juta. Bandingkan dengan seorang pegawai pajak berusia 30 tahun yang berhasil meraup uang negara puluhan—mungkin ratusan—miliar rupiah dan dihukum tujuh tahun penjara. Belum lagi ribuan cerita absurd lain di negeri ini.
Benarlah cerita pendek Somerset Maughan tentang belalang yang rajin dan belalang yang malas menghadapi musim dingin. Tak usah rajin bekerja di republik ini sebab para pemalas yang akan menikmati kerja keras orang lain. Para pemalas itu bisa berstatus pejabat apa pun. Tak mengherankan bahwa banyak kandidat pejabat yang rela menjual sawah, ternak, bahkan rumah buat merintis jalan menduduki kursi jabatan.
Jabatan adalah kekuasaan. Dengan kekuasaan yang tak terkontrol siapa pun, meski tersedia lembaga kontrol, Anda akan jadi despot gurem yang cukup ampuh menilep hasil kerja keras belalang-belalang bodoh yang masih percaya kisah moral macam itu.
Kekuasaan tidak bermoral
Rakyat negeri ini dikenal dan mengaku diri religius serta menjunjung tinggi moral. Namun, apabila kekuasaan sudah tak bermoral, orang-orang baik menjadi orang-orang bodoh. Di tengah belalang bodoh semacam itu, si jahat bebas melakukan hukumnya sendiri yang berbalikan dengan moralitas.
Terjadilah hukum terbalik di Indonesia: yang kerja keras tetap miskin, yang tak bekerja justru kaya; yang jujur selalu salah, yang tak jujur selalu benar; kejujuran adalah kebohongan, kebohongan adalah kejujuran; yang profesional tak dipakai, yang amatir justru berkuasa.
Hukum terbalik inilah yang membuat negara dan bangsa bukan berjalan maju, melainkan berjalan mundur. Bukan tak ada menjadi ada, tetapi dari ada semakin tak ada. Indonesia pun menjadi tidak-Indonesia.
Hukum terbalik Indonesia ini hanya dapat dikembalikan dengan hukum kewarasan kembali, yakni yang ditindas menjadi penindas, yang miskin menjadi kaya dan yang kaya dimiskinkan, yang profesional mengganti yang amatir, yang kriminal adalah kriminal, dan yang pahlawan adalah pahlawan. Belalang rajin makan saat paceklik serta belalang malas dan bodoh akan kelaparan.
Sekarang ini absurditas masih realitas bahwa kriminal adalah pahlawan bangsa, sedangkan pahlawan sejati dijadikan kriminal. Negara ini sedang menjadi negara kaum kriminal, tetapi para kriminal bukan masuk penjara, justru menjadi para pahlawan bangsa. Apa beda antara pahlawan dan kriminal?
Logika sekarang menyatakan: tidak ada bedanya. Semakin Anda brutal dalam kriminal, dan dengan demikian kaya raya, Anda akan mendapatkan pemuja-pemuja. Mereka bagai anjing-anjing yang setia menanti remah-remah kriminalitas Anda.
Itulah sebabnya, para syahid korban kriminal ini menjelang kematian tidak mau dikuburkan di taman makam pahlawan. Taman makam pahlawan telah menjadi taman kriminal. Kalau mau menengok kuburan orang-orang syahid Indonesia, lebih baik pergilah ke kuburan-kuburan rakyat jelata, korban dari para pahlawan bangsa sekarang ini.
Semar gugat
Ada cerita dalam wayang Jawa tentang Semar gugat. Tokoh yang dipuja orang Jawa ini hanyalah abdi atau hamba para kesatria Pandawa. Wujudnya paradoks, lelaki tetapi ditampilkan berpayudara seperti perempuan dalam fisiknya yang kebulat-bulatan. Dia adalah wakil rakyat kecil. Namun, sebenarnya Semar yang juga bernama Ismaya atau Maya adalah saudara kembar Manik atau Batara Guru yang berkuasa atas dunia dan isinya.
Dalam cerita itu, Batara Guru sering memutuskan secara tidak adil nasib manusia. Kita lihat bahwa para dewa saja bisa tidak adil, apalagi dewa-dewa Indonesia sekarang. Melihat para majikan Semar diperlakukan tidak adil oleh Batara Guru, Semar marah besar. Pandangan matanya yang senantiasa berair dan kabur itu tiba-tiba mengalirkan air mata terus-menerus. Perutnya menjadi mual dan kembung oleh ketidakadilan sehingga kentut terus-menerus.
Bau kentut Semar bisa membuat mabuk para dewa, bahkan mematikannya. Semar, yang hamba dina ini, akan naik ke swargaloka untuk menghajar kembarannya, Batara Guru. Dengan mudah sang dewa penguasa itu dibekuk, minta ampun, dan akhirnya berjanji akan berbuat adil.
Para guru besar, pengusaha jujur, atau petani yang keras bekerja di terik matahari adalah Semar. Mereka cuma hamba-hamba pelayan masyarakat yang telah lama diperlakukan tak adil oleh para dewa kriminal.
Mata mereka tak rembes alias berair dan tak bisa kentut. Namun, mereka adalah kekuatan terpendam: bisa marah seperti Semar berkulit hitam legam. Si hitam ini akan mampu membekuk Batara Guru yang kuning.
Yang kuning dijadikan hitam dan yang hitam menjadi kuning. Hukum terbalik itu sudah kodrati, tak bisa dihindari seperti hukum kematian manusia. Begitu juga kriminal tak selamanya pahlawan.
Negeri ini tinggal tunggu waktu kapan jam 12 malam akan tiba, saat Semar dan anak-anaknya muncul di layar wayang. Itulah saat Semar menggugat kekuasaan yang sungsang terbalik ini.
Jakob Sumardjo Esais

Minggu, 16 Januari 2011

Operasi Limbangan - Ajakan Petualangan



I
I
I

Saya punya angan-angan dan harapan kecil akhir tahun kemarin:

Bagaimana rekan-rekan arsitek(tur), teman-teman peternakan, warga desa 
bisa melebur bekerja sama.

Bagaimana anak-anak muda kota serba modern 
berlelah-lelah meresapi kehidupan desa dan hutan.

Bagaimana desa tumbuh berkembang dengan kekuatannya 
tanpa perlu 'meng-kota' dan di-'korban'-kan kota.

Sebagaimana angan-angan yang senantiasa diceritakan ayah saya, si anak desa, 
kepada saya, produk kota.


Ada kreativitas  di situ. Silakan jeli melihatnya.
Saya sendiri memang bukanlah anak desa.
Jarang pula berlelah-lelah di desa.
Tak punya gambaran jelas bagaimana masa depan desa sebijaknya.
Dan sering tidak nyambung dengan kehidupan desa dibanding adik saya.

Ada yang bilang ini sampah. Saya melihat ini inspirasi.

Tapi perjalanan singkat ke Desa Limbangan akhir tahun kemarin 
memberi angan-angan kecil.
Dipicu ketika melihat perubahan desa yang mulai meng-kota.
Meng-kota dalam artian meniru dan mengimitasi kota.
Perubahan yang lebih menunjukkan sifat minder desa pada kota
daripada oleh karena kekuatan dan kepercayaan diri si desa.

Sederhana saja, saya melihat perubahan pada (tampilan) fisik hunian.
Rumah-rumah besar berpilar-pilar gagah kuil Yunani-Romawi.
Tembok-tembok besar-kuat standar benteng-benteng kota dan tembok China.
Monumen-monumen raksasa yang saya yakin tahan nuklir 
dan gejolak zaman sekian abad.

Berdiri tegap di antara rumah-rumah mungil sederhana, 
di antara sapi-sapi kerbau-kerbau tak tahu malu tapi bahagia, 
dan hamparan sawah hijau bertingkat-tingkat.



 Indah...
(tanpa si kuil-benteng-monumen tegap itu)
.....
...
..


Enyahkan saja gerundelan saya di atas.
Begini, saya ingin mengajak teman-teman 
untuk bisa turut berpetualang di desa Limbangan, Boja.
Kebetulan ayah saya ingin merombak kabin 
tempat penjaga dan pengelola ternak ayam.
Ini bertepatan dengan habis kontrak penyewa lama 
dan manajemen baru oleh adik saya.
Katanya agar lebih manusiawi mengingat tempat yang ada sekarang.
Juga sebagai permulaan menuju 'wisata peternakan terpadu'.
(lebih pas ayah saya yang bercerita panjang lebar tentang ini)

Kondisi kabin yang hendak dirombak.  Yang dibongkar tetap akan dimanfaatkan.
Pintu kayu ini masih bisa tampil dengan sentuhan-sentuhan indah.
Kandang tempat ayam.
Silakan usul perbaikan kawasan. Operasi ini tidak terbatas menangani kabin. Bagaimanapun juga kabin ini tidak terlepas dari kawasannya. (Boleh juga untuk tugas akhir)

Dan di sinilah kesempatan untuk angan-angan dan harapan kecil saya.
Ini kesempatan teman-teman (muda) arsitek terlibat 
dengan teman-teman peternakan dan warga desa.
Yang arsitektur akan belajar apa itu peternakan.
Berinteraksi dengan warga desa.
Berpetualang, menjelajah, mengamati, 
dan belajar dari lingkungan alam.


Ada begitu banyak inspirasi yang bisa di temukan di sana.
Temuan kesederhanaan dalam jangkauan perjalanan kaki.
Ada material.
Ada teknologi.
Ada alam.
Ada manusia.


Ada bambu.
Teknologi sederhana. Lucu juga jika semua harus lantai beton.
Bangunan sederhana, spontan, amat fungsional.

Kayu-kayu.
Teknologi-ketrampilan desa. Mari daya guna-inovasikan.
Susunan kayu sebagai dinding kandang ayam hasil spontanitas. Sederhana tapi Indah. Entah tukang mana yang mengerjakan.
Temuan-temuan ini bisa menjadi modal inspirasi.
Diperantarai kreativitas-inovasi teman-teman (muda) arsitek.
Meramu modal-modal tadi  menjadi kekuatan.
menjadi 'arsitektur' yang mewujud.

Di sini akan ada pengalaman.
Bagaimana mendesain, meramu detail.
Mungkin akan seringkali spontan di lapangan.
Langsung berhadapan dengan masalah. 
Menguji coba konsep, gagasan, solusi.
Berujung kepuasan ketika mewujud dalam karya nyata.
Yang semoga mampu memberi alternatif selain kuil-benteng-monumen. 

Menjelajah hutan. Tanggal 1 Januari 2011. Teman-teman yang nanti terlibat 'wajib' jalan kaki menuju bukit tempat ternak ayam. Sengaja mobil diparkir di permukiman warga di bawah bukit.
 
Selalu ada diskusi selama perjalanan dinaungi kerindangan dan keindahan alam. Tak terasa perjalanan itu itu jauh.

Akan ada banyak interaksi teman-teman kota dengan warga desa. Ketika membicarakan kayu.

Silakan bagi teman-teman.
yang ingin berpetualang di desa dan hutan.
Melarikan diri sejenak dari kejenuhan kota.
Yang ingin menimba pengalaman.
Yang ingin memperkaya porto.

Tapi saya berharap keterlibatan di Ternak Limbangan 
ini hanya langkah awal
Proses melebur-kerjasama antar latar antar asal-usul.
Mewujudkan sebuah angan-angan akan desa.
Yang masih akan memakan waktu lama.


Salam dari Sanur, 16 Januari 2011
Errik Irwan W


Nico Hilmidya, koordinator tim arsitek.
 
Heinrich Suryo, adik saya, mahasiswa peternakan selaku pengelola ternak ayam.



(bagi teman-teman mahasiswa yang berminat silakan menghubungi Nico Hilmidya. Penjelasan lebih lanjut akan menyusul)