Selasa, 24 April 2012

CATATAN GERILYA 12 FEBRUARI 2012 di UBUD



Kami coba tiap gerilya meja kopi menghasilkan satu karya.
Entah tulisan, entah, coretan, entah jepretan, entah kesimpulan, entah gagasan-gagasan.
Kami ingin tiap gerilya meja kopi tak berhenti jadi kesia-siaan.
Kalau begitu, apa beda gerilya ini dan kerumunan-kerumunan lainnya?

Itulah mengapa kami tulis ulang obrolan mengalir tak tentu arah sewaktu gerilya di Ubud. Itu hari Minggu, 12 Februari 2012. Rencana Ubud sendiri adalah rencana spontan. Muncul di Minggu pagi tempat gerilya kami harusnya berlangsung hari itu. Inilah bukti kedinamisan gerak gerilya: serba mengalir tak kaku. Tapi tak ingin sia-sia. Tawaran Adhi ke Ubud untuk bertemu Windy Ariestanti sang penulis tentu kami sambut.

Kami berangkat ke Ubud telat satu jam dari jam makan siang, waktu dimana pertemuan seharusnya berlangsung. Saya (Errik), Shinta, Rizeki, Adhi, kehilangan satu jam sebagai kompensasi keraguan Fajar (ikut atau tidak, dan akhirnya memang Fajar ikut. Mungkin takut rugi kalau tak ketemu Windy).

Berputar-putar tak tentu arah, akhirnya resto Igelanca jadi medan gerilya kami.
Lantai atas yang sepi jadi pilihan kami. Tak ada wi-fi di situ, tapi cukup tersedia colokan. Dan bisa ditebak colokan itu langsung dipakai oleh Fajar yang BB-nya lowbatt.
Windy bergabung ketika makanan kami sudah datang. Obrolan pertama tentu merespon makanan dan minuman. Patut dapat puji keunikan menu yang disajikan. Dan menanyambung soal itu adalah perihal vegetarian. Windy adalah vegetarian tulen. Tapi vegetarian itu sendiri ternyata berkelas-kelas atau beragam jenis. Windy tentu ahli soal itu karena itulah pilihan hidupnya setelah sekian alasan yang tak dijelaskannya. Tapi pecinta lingkungan, ataulah arsitek ekologis, harusnya juga tak memakan daging karena berbagai isu lingkungan di seputar itu. Dan itu ilmiah. Saya pernah dengar itu di sebuah seminar nasional arsitektur ekologis. Kalau saya sendiri tak rasional soal mengapa tak makan hewan berkaki empat. Dan itulah penyebab kenapa Windy cerita panjang lebar soal ini. Saya harus tahu kenapa saya tak makan hewan berkaki empat.

Lalu soal obat. Windy memang lagi sakit. Bu Robin Lim membekali setumpuk obat herbal yang harus diminum. Telatnya Windy berkumpul di Igelanca bukan karena membalas telatnya kami, tapi memang karena soal ambil obat. Terlepas soal obat, orang kalau memiliki semangat dan harapan hidup maka segala penyakit bisa (seperti) tiarap. Mungkin itu alasan meski sakit, Windy masih mau menemui kami. Dia senang dan bersemangat untuk mengobrol dan beternak ide.

Cok Gung yang kami anggap penguasa Ubud (itu karena keluarga besarnya bermarkas di sana) datang sekitar satu setengah jam kemudian. Dia jalan kaki dari markas  keluarga besarnya. Hal itu memicu obrolan kami selanjutnya: soal jarak. Windy bersikukuh bahwa itu jauh. Kami semua berpendapat justru itu dekat. Itulah kemudian yang membingungkan kami: Apa ukuran sesuatu disebut jauh dan dekat? Jadi relatif, jadi subjektif. Windy mungkin malas atau jarang jalan kaki maka jarak Cok Gung bisa disebut jauh. Kami mungkin termasuk gemar jalan kaki (apa iya?) sehingga jarak itu dekat. Ini soal juga mengingat bahwa masyarakat kota kita malas jalan kaki. Dan ini memang menyangkut kualitas kota, utamanya hal fasilitas pejalan kaki. Sudah umum kita ketahui bagaimana keadaan ini.

Disinggunglah Jakarta. Di sana jarak sudah tak tepat diukur dengan fisik, jarak dalam satuan meter-kilometer. Tapi ukurannya adalah waktu tempuh. Entah menit, entah jam. Di Jakarta jarak 100 meter bisa makan waktu 1 jam. Itu juga tergantung kapan kamu menempuh perjalanan itu. Jakarta serba macet, serba tak aman, serba bikin gila. Shinta sebagai mantan anak Jakarta sigap beberkan itu semua. Memang orang-orang Jakarta akhirnya lari ke luar kota. Windy sendiri menyingkir ke Ubud dari Jakarta seolah hendak mencari pengobatan dari kegilaaan kota itu. Tapi dia tak murni menyingkir. Sebagian kakinya masih harus menapak Jakarta. Kota itu masih menggenggam pekerjaannya. Jakarta memang rakus uang. Ada 60% berputar di sana. Kalau sudah begitu pantaslah pemuda-pemudi nusantara lari ke sana. Moga-moga saja mereka tak jadi gila.

Windy, Rizeki, Shinta terus mengobrol ngalor ngidul entah apa. Sementara Fajar, Cok Gung, dan Adhi sibuk bahas kegalauan dan wanita. Saya sibuk menggores-gores dengan cat air portabel. Teman Windy yang datang belakangan turut mencoba dan akhirnya juga Windy sendiri mencoba. Memang benda satu ini menarik. Seandainya saya sales tentu saya musti dapat honor karena berhasil menggaet dua pelanggan baru. Tapi soal sales dan bisnis, itu bidang Adhi. Saya Cuma senang corat-coret.

Kami lanjutkan obrolan di markas keluarga Cok Gung. Di situ memang tepat karena ada meja, ada kopi, ada makanan, dan ada kerindangan alam yang nyaman. Saya, Adhi, Shinta, Rizeki langsung bahas Fajar sang galau. Ya karena dia tak lagi bergabung karena musti jemput Darman (apa Darman terjemput?). Memang sudah sifat gerilya kami untuk bahas orang-orang yang tak sedang bergabung dalam meja kopi kami. Bebaslah kami bahas seluk beluk kegalauan. Galau. Entah apa makna tepatnya, entah pula kapan kata ini pertama muncul. Saya sendiri tahunya ’gelisah’ dan ’ragu’, dua kata yang identik dengan pemikir dan juga melankolis pengejar kesempurnaan. Pertanyaannya kemudian apakah galau sama dengan gelisah dan ragu? Entahlah. Yang pasti Fajar memang senantiasa gelisah dan selalu ragu ambil keputusan. Mungkin mirip Presiden kita saat ini.

Untung zaman ini bagi orang-orang galau adalah mereka punya akses pelampiasan. Orang galau senang memamerkan kegalauannya. Lihatlah media sosial. Ramai betul dengan status-status melankolik. Semua orang jadi bisa berpuisi, marah-marah, atau sekedar narsis-pamer diri seolah superstar sinetron galau. Tapi jadi tak mutu isi media sosial kita. Belum lagi media massa ikut-ikut goblok-goblokan. Sialnya, seperti ujaran Rizeki dan Adhi, koran kriminil tak mutu atau media berita online digital macam ’Lampu Merah’ ramai peminat. Lucu memang kalau melihat sebuah koran di mana isi berita langsung diketahui dari judul. Mungkin itu sebab ramai peminat. Tak perlu repot-repot menjelajahi isi artikel. Cukup baca judul yang panjang itu dan langsung pahamlah apa yang telah terjadi.

Itulah masyarakat kita saat ini. Gemar yang dangkal-dangkal (maap, bukan berarti kami penuh kedalaman), juga yang mistis-mistis. Orang-orang lebih senang bicara ’metafisika’ mistis daripada fisika realistis (meta: dibalik, melampaui). Kami di meja kopi ini juga tak suka fisika yang rumit itu tapi juga tak perlu hanyut dalam ’metafisika’ (kecuali ketika ingin bodohi orang). Mistis bertaut erat memang dengan mitos. Dalam mitos, kebenaran seperti sudah terpampang jelas tanpa perlu lagi diteropong dengan mikroskop. Kita tinggal ikut dan angguk-angguk bahwa itulah semestinya semesta. Tak perlu pikir panjang-panjang dan dalam-dalam. Tak perlu bedah dan ricek objek. Dan jelas tak perlu fisika yang berumus-rumus rumit itu.

Kemudian pertanyaan kami, apa ini ada hubungannya dengan semangat beragama di Indonesia? Hampir seluruh penduduk negeri ini punya agama. Itu minimal tertera di KTP. Tapi justru semangatnya seolah menggerus pluralitas negeri ini. Rizeki bicara banyak soal salah kaprah terkait agama Islam. Soal ritual, tradisi, pemahaman, banyak dimaknai hanya sebagai yang tampak (entah kenapa kali ini masyarakat kita seperti suka yang fisik-fisika). Soal bentuk masjid misalnya yang seolah sudah sakral musti berkubah, juga soal ketaatan ibadah di tempat ibadah. Ukurannya serba yang tampak-tampak.

Tapi itulah soal cara memandang. Dan itu mempengaruhi cara berpikir (untung peserta gerilya kali ini cara memandangnya amat dinamis!). Seperti soal spirit, roh. Orang bisa langsung berangggapan soal hantu dan hal-hal mistis. Tapi kami melihat sebagai semangat, jiwa, ’roh’ yang menggerakkan fisik kami. Kami melihatnya lebih abstrak. Roh itu seperti sebuah tujuan, harapan, cita-cita. Jadi kalau misal Indonesia telah kehilangan roh Pancasila. Itu bukan berarti ada hantu macam Casper bernama Pancasila yang tiba-tiba lenyap tak lagi gentayangan di bumi Indonesia. Tapi adalah Indoesia telah kehilangan semangat dari nilai-nilai yang dikandung dalam Pancasila. Bukankah Pancasila itu jiwa utama kenapa Bangsa ini ada? Begitulah kira-kira pandangan politis kami.

Rizeki menyinggung lagi soal adapt gara-gara sajian makanan tradisional di meja kami. Seringkali adat diperlakukan sekadar ritual tanpa dicari lagi makna dibalik itu. Kalau saya bilang bahwa adat, tradisi, dan kebudayaan oleh kita saat ini umumnya masih diperlakukan layaknya hal-hal sakral. Tak boleh ditafsir lain. Kalau meminjam istilah pengamat politi Eep Saefuloh fatah, generasi kita ini cenderung hanya sekadar jadi ‘tukang lap’ kebudayaan. Jadi wajar tak berkembang. Tak berkembang maka jadi tak kontekstual-relevan dengan zaman. Padahal zaman selalu berubah, makin lama makin cepat. Maka wajar generasi zaman ini asing dengan identitas, tradisi, dan budaya nasionalnya sendiri.

Cara-cara mengembangkan kebudayaan memang perlu memanfaatkan semangat zaman, khususnya kemajuan teknologi. Kembali kami mengingat soal mental malas menyelidik, mencaritahu, mendalami. Sudah jadi pmandangan umum di kelas-kelas sekolah negeri ini murid-murid malas (apa malu?) bertanya tapi senang betul berkerumun bikin keramaian dan berkomentar-komentar di luar kelas (atau di dalam kalau guru tak ada). Kritik jadi tak lazim. Semua juga senang sopan-sopan di depan, tapi menghina-hina di belakang (kami juga begitu). Maka ketika Rizeki mengungkap kekurang ajaran tapi sopan dari Sudjiwo Tedjo di berbagai forum dan juga Twitter, maka kami pikir itu cara jitu merespon kemandekkan budaya yang lagi senang bersopan-sopan di depan, menghina-hina di belakang. Lebih baik blak-blakan di depan tapi jugalah tetap elegan. Twitter, juga Facebook dan media sosial lainnya, bisa jadi ujung tombak terciptanya revolusi sosial-budaya. Seperti kata Rizeki, Twitter memungkinkan seorang Sudjiwo Tedjo yang edan membentuk kerajaan Jancukers. Stand up comedy pun sarana tepat mengkritisi berbagai kemandekan proses menjadi manusia. Lawakan model ini memang lawakan berbasis pengamatan, wawasan, dan kecerdasan mengolah isu yang. Dan itulah otokritik yang baik. Itu karena stand up comedy umumnya tampil dengan kritik terhadap diri sendiri. Entah fisik, ras, suku, agama, atau apapun tanpa perlu berkerut bermuka masam. Peran media massa dan media sosial makin menjamurkan stand up comedy ke masyarakat luas dari yang sebelumnya hanya di lingkup cafe.

Itulah obrolan ngalor ngidul sebelum akhirnya Adhi sang bisnismen menutup dengan sesuatu yang lebih konkret yaitu mind map. Penjelasan panjang lebar gaya sales dari Adhi tampaknya berhasil menarik perhatian Cok Gung, Rizeki, dan Shinta. Nampaknya manajemen berpikir yang rapi, menyusun langkah konkret, praktik mind map, dan tawaran software pendukung akan bergayung sambut di gerilya meja kopi selanjutnya. Tapi seperti pernyataan penutup dari Shinta:
”Kami orang-orang yang berpikir random”.

Maka tak terjadilah kelanjutan obrolan penutup itu selain di tulisan ini.

- Errik Irwan -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar