Selasa, 15 Februari 2011

Ini Bukan Tentang Valentine


"Apa bedanya sosialisme dan komunisme?"

Seorang teman berjiwa gembira bertanya kepada saya si tukang melamun 
sekitar pertengahan 2010.
kaget juga, pertanyaan kritis-menelisik keluar dari seorang penceria sementara saya yang perenung penggemar sospolbudhankam justru tak pernah merenungkan hal itu.


------------------------

Mungkin penjaga kasir swalayan keheranan melihat saya berbelanja:

"Gila, ini orang kurus kecil rakus sekali.
Beli logistik makanan banyak banget.
Pagi beli, malem beli, besok beli, lusa beli lagi."

Ah... 

Itu penjaga tidak tahu nasib saya tukang lembur.
Ini logistik makanan begitu berarti 

dalam menemani hari-hari panjang penuh kerjaan.
Mulut dan perut saya wajib ikut bekerja agar solider dengan mata, otak,
dan tangan yang diperas untuk 'stan-by & Go!' sepanjang waktu.

(Itu kira-kira jawaban otak saya dalam diam)

Begitu pula kawan-kawan senasib di garis depan
yang juga butuh solidaritas antara divisi pencernaan 

dengan divisi pemikiran dan tindakan.
Logistik makanan ini menjadi bagian dari gerakan solidaritas senasib.
Saling berbagi makanan antar teman-teman yang bernasib harus lembur.


Selagi lembur tersempatkanlah saya membaca tulisan Arief Budiman.
Tulisan tentang sosialisme.
(Tentu sempat. Ngesave kerjaan bisa selama baca artikel dua halaman A5)

Kira-kira pikiran saya membaca:

Sosialisme itu bukan melulu komunisme.
Sosialisme juga bukan harus Marxis semua.
Juga bukan tentang ditaktor sebagaimana Castro, Soekarno, Chaves, dsb.
Tapi ternyata sejak Yunani kuno sosialisme itu sudah ada,
selalu diusahakan oleh para pemikir-arif bijaksana kemasyarakatan Yunani.

Dan yang menarik: 

Dalam sosialisme, imbalan material bukan menjadi tujuan utama 
tetapi martabat sebagai manusia yang membantu orang-orang disekitarnya.
Sosialisme sebagai cita-cita bahkan menjadi inti dari semua agama besar di dunia.
(Agama mana yang tidak mencita-citakan kebersamaan, kemanusiaan, dan keadilan (selain jualan surga!)?)




Dalam kasus saya (dan juga teman-teman) berbagi makanan di garis depan bisa dikatakan sebagai sosialisme.
Dan karena dilakukan atas inisiatif individu maka disebut sosialisme individual.
Persis sebagaimana tolong menolong antar tetangga 

yang selama ini sudah berlangsung.
(apa sudah punah di kota-kota kita?)

Memang sosialisme bisa memicu 'kemalasan'.

Setiap orang mendapat sama dengan yang lain tanpa berusaha.
Orang bisa makan tanpa perlu susah payah membeli 

dan tak perlu susah-susah cari uang karena toh pasti dapat.
Dan ide kapitalis pun jadi layak masuk, diterima akal.

"Jual ke teman-temanmu, keuntungan dikumpulkan, beli lebih banyak lagi, jual lebih banyak lagi, untung lebih banyak lagi",
gitu kira-kira saran kawan rasional dari awang-awang.

Tapi rasanya, sekali lagi ini rasanya, kejam sekali berkapitalis makanan
dalam situasi darurat garis depan beginian.
Apalagi melihat begitu pucatnya wajah teman-teman senasib di garis depan
yang terisolir dari pusat logistik dan keramaian malam hari.
kapitalisme bisa membuat wajah teman makin pucat
sementara saya makin cerah menghitung untung jualan 

plus surplus upah lemburan.


Dalam alam pikiran saya kapitalisme wajar dalam upaya apresiasi prestasi.

(Bahkan kapitalisme makin wajar ketika dilengkapi 'Welfare State' 
yang mengoreksi sisi kejam 'gila' liberal.)
Namun perlu kata kunci 'cukup' dalam diri
Sebagaimana kata-kata arsitek Adi Purnomo:

"Cukup adalah cukup"

Surplus upah lemburan haruslah cukup untuk kebutuhan sebulan.
Biarlah surlus logistik makanan cukup sebagai solidaritas, 

tak perlu jadi komoditas.

"Bumi cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan, tapi tidak akan cukup untuk keserakahan."
Begitu kan lontaran filosofis Mahatma Gandhi?

-------------------------------

"Bung, pikiran dan tindakan berbagi ini amat mulia, gimana kalo kita terapkan jadi sistem dalam lingkungan garis depan ini, menjadi tatanan masyarakat?"

"Maksudnya?"

"ya, semua yang punya makanan musti membagi dengan rekannya, gak ada milik pribadi ekslusif, semua milik bersama, sama rasa, sama rata, disistemkan, diMarxiskan!
Dunia yang lebih adil kan?"

Lagi-lagi kawan rasional sungguh cerdas mengkalkulasi.

Dan sekali lagi saya kurang sependapat.

Sesuatu yang diwajibkan rasanya 'kurang elok',
tidak lebih elok daripada inisiatif dan kesadaran diri.
Lagipula adil bukan berarti setiap orang dapat satu, serba pukul rata.
Tapi proporsional dan kontekstual berdasar keunikan.
Masyarakat kota di Jawa tentu tak bisa 'dipukul rata' dengan Papua.
Harus melihat apa yang telah dikorbankannya untuk mencapai/menghasilkan sesuatu.

(seharusnya orang-orang di Papua mendapat lebih dari di Jawa melihat tantangan geografis dan alam).


"Sebentar, lalu caranya gimana?"

Itulah susahnya.
Butuh pendalaman masalah.
Tapi perlu diperjelas bahwa cara-cara keras, ditaktorial,
sistem-sistem kaku, paksa-paksaan sepatutnya tidak perlu muncul.
Sayang memang jika akhirnya 'sistem mesin' (dingin-kaku-keras-ketat) 

menggantikan cara-cara manusiawi,
menggantikan hubungan saling percaya antar manusia.

Semua bergerak berdasar sistem kepastian,
hubungan manusia menjadi hubungan kode matematika benar salah.

(payahnya manusia suka menggadaikan aset kepercayaan itu. 

Mungkin karena mahal harganya!)

Dalam situasi begini saya hanya bisa berandai-andai:
Yang berkelebihan materi mau berbagi materi.
Yang surplus tenaga mau menyumbang tenaga.
Yang kuat mau melindungi yang lemah.
Yang berpengetahuan mau menyebar pengetahuannya.
Yang berwaktu mau meluangkan perhatian untuk sesamanya.

Tak ada sekat, tak ada jurang lebar..
Semua dengan senang hati berlandas niat baik dalam diri...

(Indah memang...

Sebagaimana 'Imagine'-nya John Lennon)

----------------------------------------------------

"Bung, penjelasan anda muter ke mana-mana.
Panjang, lebar, ngalor, ngidul, nggak jelas kayak tampangmu.
Sebenarnya apa sih bedanya sosialisme dan komunisme?"

"Haduh,.. saya gak punya waktu untuk jelasinnya.
Baca sendiri aja deh uraian Arief Budiman dalam 

'Pergulatan Intelektual Dalam Era Kegelisahan'.
Mudah dimengerti kok.
Daah,.. musti lembur lagi nih."

"?"

"Oh ya, met valentine!
Jangan cuma berbagi untuk pasanganmu aja lho"

"??"


I
I


Kalo ada yang ngotot tanya, jawab aja:
Sosialisme itu lebih lunak, Komunisme lebih keras. 
Itu perbedaan pada proses mencapai, tapi tujuannya sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar