Senin, 04 Maret 2013

BIARKAN SAYA MENINGGAL SEBAGAI GURU SEKOLAH DASAR


(berikut isi kliping yang saya dapat dari harian Kompas soal YB Mangunwijaya)


KETIKA Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, atau ak­rab dipanggil Romo Mangun, meninggal dunia, tanggal 10 Februari 1999, ribuan pelayat meng­hadiri pemakamannya. Tidak hanya dari kalang­an rohaniwan dan penganut agama Katolik atau masyarakat Yogyakarta saja, tetapi juga masya­rakat dari berbagai agama, suku, kedudukan, pangkat, profesi, dan lain-lain.


BANYAKNYA orang yang mendoakan Ro­mo Mangun mem­buktikan bahwa so­sok budayawan seka­ligus pendidik ini sangat di­cintai. "Saya sangat kagum sama Romo. Ketika beliau me­ninggal, semua orang mengan­tar. Ini bukti bahwa Romo di­cintai semua kalangan," kata Erwinthon P Napitupulu, ko­lektor dan pengarsip karya-kar­ya arsitektur Romo Mangun, dalam sebuah Simposium So­sial Budaya dengan tema Bedah Sosok: Romo Mangun Sang So­sialis Sejati, di Bandung, 3 Mei 2003.

Dalam simposium yang di­adakan di Aula RS St Borro­meus itu, hadir sebagai pem­bicara adalah para sahabat ser­ta rekan sejawat Romo Mangun. Mereka adalah dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta A Sup­ratiknya, anggota Komnas Pe­rempuan A Nunuk P Murniati, budayawan FX Mudji Sutrisno SJ, Wakil Pemimpin Umum Kompas St Sularto, dan Erwin­thon Napitupulu. Hadir 30 pe­serta, di antaranya Uskup Ban­dung Mgr Alexander Djajasiswaja Pr. 

Simposium membahas tidak hanya sosok Romo Mangun, na­mun juga "warisannya". Wa­risan yang ditinggalkan Romo adalah pemikiran dan karya­karyanya, yang paling menonjol bidang pendidikan. Sebagian di antaranya dibukukan dalam Impian dari Yogyakarta (Pener­bit Kompas, 2003).

Sosok Romo Mangun sebagai pendidik memang begitu me­nonjol. Catherine Mills yang menulis tesis tentang Romo Ma­ngun di Curtin University Aus­tralia mengutip ucapan Romo Mangun, "When I die, let me die as a primary school teacher (ka­lau saya meninggal, biarkan sa­ya meninggal sebagai guru se­kolah dasar)." 
Mudji Sutrisno memiliki ke­nangan tersendiri mengenai ca­ra Romo Mangun mendidik. Ke­tika itu, Romo Mangun bersama anak-anak didiknya sedang me­rayakan ulang tahun salah se­orang anak. Anak-anak kecil tersebut tidak sanggup meng­habiskan makanannya.

Akhirnya, Rorno Mangun me­ngumpulkan sisa makanan ter­sebut menjadi satu dan mema­kannya agar tidak ada yang ter­buang. 

"Dengan menghabiskannya serta menjelaskan bahwa ma­kanan adalah rezeki Sang Pen­cipta, maka sebuah penghayat­an keteladanan dalam mena­namkan nilai syukur dan meng­hargai nasi tertanam amat me­nyentuh. Apalagi, santapan itu dihabiskan sang guru dengan rendah hati," kenang Mudji. 

ROMO Mangun, kata Sup­ratiknya, memiliki kepedulian yang mendalam terhadap kaum muda dan anak-anak. Dia juga punya pandangan positif-opti­mistis terhadap kaum muda. Dari beberapa generasi anak muda, yang sempat teramat.i dan teralami oleh Romo Ma­ngun, tampaknya dia prihatin terhadap kondisi anak-anak muda sekarang. Jika diban­dingkan dengan generasi muda angkatan 1928/1945, generasi muda sekarang, menurut Romo, kehilangan spontanitas, kebe­ranian, inisiatif, dan kecerdas­an.

Kesalahannya ternyata bukan terletak pada anak muda se­mata, tetapi juga sistem peng­ajaran yang kurang tepat. Se­perti mengutip perkataan Ro­mo, "setiap hari selama puluhan tahun sistem pengajaran dan pendidikan dasar (pada jenjang yang lebih tinggi juga) pada hakikatnya menganiaya anak ka­rena melawan kodrat anak, mencukil mata hati atau tangan kaki daya-daya eksplorasi dan kreativitas anak." 

Sularto menambahkan, keke­cewaan Romo terhadap sistem pendidikan di Indonesia menimbulkan gagasan-gagasan di benaknya. Dia lalu membangun Yayasan Dinamika Edukasi Da­sar. Sebelumnya, Romo mem­bangun gagasan SD yang ek­sploratif pada penduduk korban proyek Kedungombo, Jawa Tengah, serta penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta. 

Menurut Nunuk P Murniati, wacana Romo Mangun tentang pendidikan sangat jelas, yakni membangun manusia merdeka. Romo Mangun menganggap sis­tem pendidikan di Indonesia, yang berada di bawah kuriku­lum nasional mempunyai akibat produk robot. Alasannya, ori­entasi pendidikan lebih ditu­jukan pada hasil dan bukan proses. 

Romo Mangun sendiri, kata Mudji, tidak pernah membatasi diri hanya karena dia seorang pastor Katolik. Dia justru mem­praktikkan religiositas dengan berkurban dan menjadi suci di lapangan, di kekumuhan, dan di lumpur-lumpur. 

Romo Mangun menghayati keimanan dalam bahasa seha­ri-hari yang lintas agama, lintas suku, dan betul-betul universal untuk kemanusiaan. Fungsi ke­nabian dipraktikkan dalam ma­syarakat dan tidak dalam ling­kup yang sempit, tambah Su­larto.

Oleh karena itu, dalarn rang­ka revolusi kebudayaan, sasar­an utama pendidikan adalah perubahan dan pembentukan sikap-sikap yang baru. Menurut Supratiknya, bagi Romo Ma­ngun, yang harus digarap utama bukanlah segi-segi taktis, se­perti kurikulum dan pengajar­an, melainkan hal-hal strate­gis-paradigmatis. (Bu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar