(berikut isi kliping yang saya dapat dari harian Kompas soal YB Mangunwijaya)
KETIKA Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, atau akrab dipanggil
Romo Mangun, meninggal dunia, tanggal 10 Februari 1999, ribuan pelayat menghadiri
pemakamannya. Tidak hanya dari kalangan rohaniwan dan penganut agama Katolik
atau masyarakat
Yogyakarta saja, tetapi juga masyarakat dari berbagai agama, suku,
kedudukan, pangkat, profesi, dan lain-lain.
BANYAKNYA orang yang mendoakan Romo
Mangun membuktikan bahwa sosok budayawan sekaligus
pendidik ini sangat dicintai. "Saya sangat kagum sama Romo. Ketika beliau
meninggal, semua orang mengantar. Ini
bukti bahwa Romo dicintai semua
kalangan," kata Erwinthon P
Napitupulu, kolektor dan pengarsip
karya-karya arsitektur Romo Mangun, dalam sebuah Simposium Sosial Budaya dengan tema Bedah Sosok: Romo Mangun Sang Sosialis Sejati, di Bandung, 3 Mei 2003.
Dalam simposium yang diadakan di Aula RS St Borromeus itu, hadir sebagai pembicara adalah para sahabat serta rekan sejawat Romo Mangun. Mereka adalah dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta A Supratiknya, anggota Komnas Perempuan A Nunuk P Murniati, budayawan FX Mudji Sutrisno SJ, Wakil Pemimpin Umum Kompas St Sularto, dan Erwinthon Napitupulu. Hadir 30 peserta, di antaranya Uskup Bandung Mgr Alexander Djajasiswaja Pr.
Simposium membahas tidak hanya sosok Romo Mangun, namun juga "warisannya". Warisan yang ditinggalkan Romo adalah pemikiran dan karyakaryanya, yang paling menonjol bidang pendidikan. Sebagian di antaranya dibukukan dalam Impian dari Yogyakarta (Penerbit Kompas, 2003).
Sosok Romo Mangun sebagai pendidik memang begitu menonjol. Catherine Mills yang menulis tesis tentang Romo Mangun di Curtin University Australia mengutip ucapan Romo Mangun, "When I die, let me die as a primary school teacher (kalau saya meninggal, biarkan saya meninggal sebagai guru sekolah dasar)."
Mudji Sutrisno memiliki kenangan tersendiri mengenai cara Romo Mangun mendidik. Ketika itu, Romo Mangun bersama anak-anak didiknya sedang merayakan ulang tahun salah seorang anak. Anak-anak kecil tersebut tidak sanggup menghabiskan makanannya.
Akhirnya, Rorno Mangun mengumpulkan sisa makanan tersebut menjadi satu dan memakannya agar tidak ada yang terbuang.
"Dengan menghabiskannya serta menjelaskan bahwa makanan adalah rezeki Sang Pencipta, maka sebuah penghayatan keteladanan dalam menanamkan nilai syukur dan menghargai nasi tertanam amat menyentuh. Apalagi, santapan itu dihabiskan sang guru dengan rendah hati," kenang Mudji.
ROMO Mangun, kata Supratiknya, memiliki kepedulian yang mendalam terhadap kaum muda dan anak-anak. Dia juga punya pandangan positif-optimistis terhadap kaum muda. Dari beberapa generasi anak muda, yang sempat teramat.i dan teralami oleh Romo Mangun, tampaknya dia prihatin terhadap kondisi anak-anak muda sekarang. Jika dibandingkan dengan generasi muda angkatan 1928/1945, generasi muda sekarang, menurut Romo, kehilangan spontanitas, keberanian, inisiatif, dan kecerdasan.
Kesalahannya ternyata bukan terletak pada anak muda semata, tetapi juga sistem pengajaran yang kurang tepat. Seperti mengutip perkataan Romo, "setiap hari selama puluhan tahun sistem pengajaran dan pendidikan dasar (pada jenjang yang lebih tinggi juga) pada hakikatnya menganiaya anak karena melawan kodrat anak, mencukil mata hati atau tangan kaki daya-daya eksplorasi dan kreativitas anak."
Sularto menambahkan, kekecewaan Romo terhadap sistem pendidikan di Indonesia menimbulkan gagasan-gagasan di benaknya. Dia lalu membangun Yayasan Dinamika Edukasi Dasar. Sebelumnya, Romo membangun gagasan SD yang eksploratif pada penduduk korban proyek Kedungombo, Jawa Tengah, serta penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta.
Menurut Nunuk P Murniati, wacana Romo Mangun tentang pendidikan sangat jelas, yakni membangun manusia merdeka. Romo Mangun menganggap sistem pendidikan di Indonesia, yang berada di bawah kurikulum nasional mempunyai akibat produk robot. Alasannya, orientasi pendidikan lebih ditujukan pada hasil dan bukan proses.
Romo Mangun sendiri, kata Mudji, tidak pernah membatasi diri hanya karena dia seorang pastor Katolik. Dia justru mempraktikkan religiositas dengan berkurban dan menjadi suci di lapangan, di kekumuhan, dan di lumpur-lumpur.
Romo Mangun menghayati keimanan dalam bahasa sehari-hari yang lintas agama, lintas suku, dan betul-betul universal untuk kemanusiaan. Fungsi kenabian dipraktikkan dalam masyarakat dan tidak dalam lingkup yang sempit, tambah Sularto.
Oleh karena itu, dalarn rangka revolusi kebudayaan, sasaran utama pendidikan adalah perubahan dan pembentukan sikap-sikap
yang baru. Menurut Supratiknya, bagi Romo
Mangun, yang harus digarap utama bukanlah segi-segi taktis, seperti kurikulum dan pengajaran, melainkan hal-hal strategis-paradigmatis. (Bu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar