(berikut ini tulisan Y.B Mangunwijaya yang saya ambil dari buku kumpulan esainya seputar dunia pendidikan, "Impian dari Yogyakarta", halaman 39-43. Tulisan saya ambil utuh mengingat keunikan gaya tulis dan bahasa beliau. Semoga pihak penerbit tidak berkeberatan 'keprihatinan' Romo Mangun saya sebar lebih luas.)
ANAK perempuan tujuh tahun mengemis pura-pura loyo di muka Gedung Negara Yogyakarta. Ayahnya yang masih muda sehat kuat duduk agak jauh, minum rokok, menunggu setoran anaknya. Kalau hanya mendapat sedikit, si anak ditampar. Kepada pekerja sosial kami, si anak menyatakan ingin sekali bersekolah. Tetapi ketika kami menyanggupkan diri untuk mengasuh dan menyekolahkannya, si ayah yang gelandangan tak punya rumah, tanpa malu berkeberatan: "Kalau anak saya disekolahkan, saya hidup dari mana?" Kami bujuk rayu mati-matian, tetapi tetap tidak boleh, anak harus mengemis untuk dia. Kecuali kalau kami mau beli anaknya. "Saya jual Rp 300.000 pasti laku," katanya dingin.
ANAK perempuan tujuh tahun mengemis pura-pura loyo di muka Gedung Negara Yogyakarta. Ayahnya yang masih muda sehat kuat duduk agak jauh, minum rokok, menunggu setoran anaknya. Kalau hanya mendapat sedikit, si anak ditampar. Kepada pekerja sosial kami, si anak menyatakan ingin sekali bersekolah. Tetapi ketika kami menyanggupkan diri untuk mengasuh dan menyekolahkannya, si ayah yang gelandangan tak punya rumah, tanpa malu berkeberatan: "Kalau anak saya disekolahkan, saya hidup dari mana?" Kami bujuk rayu mati-matian, tetapi tetap tidak boleh, anak harus mengemis untuk dia. Kecuali kalau kami mau beli anaknya. "Saya jual Rp 300.000 pasti laku," katanya dingin.
Menurut Dinas Sosial yang kenal si oknum itu, sebagian besar uang hasil pengemisan si anak dipakai ayahnya untuk berjudi. Istrinya telah lama meninggal karena sedih ngenas punya suami begitu dan yang pernah tega menjual kakak si anak tadi ketika masih balita.
Nasib anak yang lebih mengerikan dari kasus di atas masih amat banyak: anak yang diculik untuk dipaksa mengemis untuk si penculik sudah realitas di Indonesia. Apakah ada yang sudah senasib di India, di mana tidak sedikit anak yang diculik (hampir selalu oleh lelaki) lalu dicukil matanya dulu atau tangan kakinya dipatahkan? Hanya agar kelihatan sebagai pengemis mengiba hati yang lebih "meyakinkan"?
BAYI Natal Yesus atau Isa Al-Masih mengajak kita untuk khusus memandang dan mensyukuri anak sebagai anugerah berharga dari Allah yang tetaplah hak milik Allah. Anak bukan milik orang dewasa, termasuk orang tua, melainkan hanya titipan. Agar dikembalikan lagi kepada Allah selaku manusia dewasa yang seutuh sebaik mungkin demi dirinya sendiri maupun pemekaran tata alam semesta serta dunia manusia.
Untunglah sebagian terbesar orang tua kita tidak serendah sekeji ayah pengemis tadi, apalagi mencukil mata anak atau memotong kaki atau tangannya. Namun apakah benar para orang tua dalam arti yang mungkin lebih lunak atau kiasan tidak berbuat yang sama juga terhadap anak? Apakah setiap hari selama puluhan tahun sistem pengajaran dan pendidikan dasar kita pada hakikatnya tidak menganiaya anak karena melawan kodrat anak,'mencukil mata hati atau tangan kaki daya-daya eksplorasi dan kreativitas anak?
Betulkah sekolah-sekolah kita tidak berbuat yang sama seperti yang dikerjakan si ayah di muka Gedung Negara Yogyakarta itu? Anak dikorbankan masa anak-anaknya hanya untuk memuaskan politik atau gengsi kaum dewasa? Masih adakah di negeri ini guru sejati? Bukan penatar, atau administrator birokrat, komandan atau pawang belaka? Masihkah ada murid dihargai sebagai murid, dan bukan sebagai kader-politik-kecil? Pasti masih ada. Tetapi apakah mereka didukung oleh sistem dunia persekolahan?
Soal untuk anak SD kelas IV: Ada kawanmu yang nakal hanya ikut keinginannya sendiri. Pertanyaan: Anak itu melanggar UUD 45 pasal berapa butir berapa? Hari raya ini itu merayakan apa? Anak menjawab: Ini Hari Natal. Itu Lebaran. Salah! Yang betul: Hari kelahiran Nabi Isa. Hari raya Idulfitri. Seorang ibu muda berdebat dengan anaknya SD kelas I.
Soal PR: Yang menyediakan makan untuk kamu siapa? Pilih: Ibu, Kakak, Pembantu? Anak bersikeras: Pembantu! Karena memang ibunya bekerja di kantor dan kakak tidak akan punya karena sulung. Si ibu lembut mengatakan jawaban itu pasti disalahkan guru, sebab jawaban resminya ialah: Ibu. Anak ngotot. Saya mencoba menengahi: Sudahlah Bu. Sekarang pukul 18.00. Berilah si anak tersayang kesempatan waktu dari pukul 6 petang ini sampai pukul 8.00 pagi esok untuk membela kebenaran. Ini unsur pendidikan yang amat mahapenting. (Tetapi bagaimana jika esok anak saya disalahkan guru?) Yah, anak itu akan menangis. Memang kasihan. Tetapi beginilah sistem sekolah kita: indoktrinasi, hapalan segunung jawaban resmi.
Padahal para balita kita sekarang ini hebat bukan main: serba asyik, dinamis, sangat suka bertanya, eskploratif, tidak cuma diam, luar biasa bahasa mereka cas cis cus, berani membela apa yang mereka anggap benar. Kreatif, maka kesannya nakal. Tetapi nakal itu 'kan karena kebak akal. Tetapi apa lalu yang terjadi? Masuk TK mulai disuruh jalan tertib rapi "berdisiplin" dalam barisan. Di SD SMP SMA makin menurut, makin jinak, makin tidak berani bertanya, makin tercuci otak dan hatinya. Daya eksplorasinya makin padam, daya kreativitasnya makin mati. Anak serba penurut mengalah di sekolah. Tetapi keluar dari gedung sekolah reaksi dahsyat membludak. Memberontak dengan cara anak. Pelampiasan frustrasi bila sudah besar, saling berkelahi keroyokan dengan senjata maut. Bus dan mobil di jalan dirusak, eksperimen seks bebas (yang didukung TV swasta) pengganti rokok bius. Menggemboskan tenaga-tenaga dahsyat eksplorasi dan kreativitas yang sudah terlalu lama terbendung, seperti sungai liar, membanjir lahar merusak. Karena anak tidak boleh jadi anak, jadilah dia calon monster. Di zaman Belanda, Jepang, Revolusi, tidak ada anak membunuh anak, hanya karena ingin merebut kalung emas 8 karat.
HANYA di Jakarta saja ada sekitar 30.000 anak yang lari dari rumah menjadi anak-anak merdeka yang kendati dicap gelandangan dan penuh derita, akan tetapi mereka lebih suka gelandangan tetapi merdeka daripada ikut orang tua atau wali yang menganggap diri pemilik mutlak anak. Kita sedih memandang anak jalanan yang jumlahnya terus bertambah hanya karena undang-undang perlindungan anak dan wajib belajar atau belum ada atau ada tetapi kosong.
Dari pihak lain pertanyaan menyelinap: jangan-jangan justru mereka inilah ahli waris paling konsekuen dari idealis-idealis seperti Soekarno Hatta yang menghendaki bangsa Indonesia bukan bangsa yang terdiri dari kuli-kuli atau babu, tetapi manusia merdeka dalam negara dan masyarakat merdeka? Namun Soekarno Hatta pasti naik pitam bila melihat 100.000 anak terpaksa memilih kemerdekaan dengan kreativitas para murid pelan-pelan mati ditenggelamkan dalam suatu sistem hapalan yang begitu banyak dan program ajaran yang begitu berat sehingga si anak tidak mampu lagi berpikir bening dan benar, tidak dapat punya cita rasa yang berbudi, dan hanya dipawang menjadi anak-panda sirkus. Yang nanti sebagai mahasiswa hanya dapat mengeluh: Ah, kapan ya Pak, zaman berubah? Tubuh besar tetapi mental hanya mampu menunggu, menunggu. Menunggu Ratu Adil. Apakah Yesus yang lahir di Betlehem atau para nabi besar itu Ratu Adil? Jelas bukan. Karena ratu atau raja yang adil tidak pernah ada. Apalagi adil terhadap anak.
Kodrat anak normal dan sehat ialah serba bertanya, serba mencari, serba ingin mencoba, serba eksploratif. Lewat praksis belajar aktif. Sisi lain dari satu mata-uang: anak kodratnya kreatif. Mulai dari fase pralogis sampai pemekaran nalarnya si anak selalu serba mencipta. Mulai dalam imajinasi dongeng atau selama menyanyi, sampai membuat gubuk sendiri di atas dahan pohon atau permainan dari barang buangan. Serba mengkreasi. Maka berkat hasrat eksplorasi dan kreativitasnya itulah si anak sangat dini sudah tahu, bahwa untuk mencapai sesuatu ada jalan banyak. Kodrat anak ialah berpikir dalam dunia yang penuh alternatif. (Kalau meminta mangga dari pohon tetangga jalan buntu, maka alternatifnya ya mencuri mangga itu. Memang salah, tetapi maafkan, dia anak). Anak sejak dini sudah bereksperimen dengan berpikir alternatif atau lebih keren: lateral thinking menurut De Bono, mengarah ke cara pikir dan cita rasa integral. Komprehensif, menyeluruh dengan data, situasi, kondisi dan sejarah hidupnya yang real ada padanya.
Kalau benih-benih eksplorasi, kreativitas, dan pengintegralan dirinya dicekik, maka anak akan frustrasi. Dia dapat meleleh menjadi jongos atau babu saja dan bangsa kita menjadi yang paling bodoh paling babu di seluruh ASEAN. Atau anak dapat menjadi monster kecil maupun besar. Karena ia tidak pernah boleh menjadi anak yang anak sungguh. Dari orang tuanya yang sungguh. Dengan guru yang sungguh. Karena ia dicukil matanya, dipatahkan kaki dan tangannya.
Selamat Natal 1995 dan Selamat Tahun Baru 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar