Senin, 11 Maret 2013

BIJI UNGGUL DAN TANAH TUMBUH

Kawan2 yg (selalu) ceria di mana saja (& moga2 selalu dimikian), perkenankan saya membagikan sebuah cerita Y.B Mangunwijaya yg kocak tapi sekaligus inspiratif-mengundang perenungan (apalagi saat masa2 sekolah dulu!). Sayang memang buku 'Impian Dari Yogyakarta', yg berisi kumpulan 'gerundelan'/unek2 Mangunwijaya seputar dunia pendidikan, sudah sulit ditemukan di rak2 toko buku. Cerita yg saya 'digitalisasi' & bagi ini ada di halaman 66-75 buku langka tersebut. Semoga pihak penerbit tidak sakit hati isi bukunya saya bajak. Dan semoga kawan2 juga tidak sakit kepala membaca (apalagi meresapi) cerita di bawah ini.
------------------------------------------------------------------------------------------------------


BIJI UNGGUL DAN TANAH TUMBUH
 
POLITIK pengajaran pendidikan Belanda memang kolonial. Tetapi kita jangan main hitam-putih. Banyak hikmahnya.

+ Itu lho Pak, yang kami tidak mudeng. Pak Dirman, Pak Harto, Adisucipto, Haris Nasution, Bung Tomo dan banyak lagi pemimpin Revolusi 45, kan ketika itu belum berumur 30 tahun. Slamet Riyadi, Soedjatmoko baru 22 tahun. Bahkan banyak yang masih SMA atau STM dan tamatan SD, kok mereka sudah bisa jadi panglima tertinggi, diplomat, gubernur-militer, itu dari mana. Apa generasi dulu itu memang lebih pandai dari generasi Bebek-Honda sekarang ini?

= Ah ya tidak! Bahkan dalam beberapa hal kalian jauh lebih mahir daripada kami dulu. (Nah, soal menghapalkan, bukan.) Antara lain. (Deklamasi dan main gitar, ya to?) Antara lain. (Merias diri). Itu juga. Kan baik punya bangsa yang tampan dan cantik. (Tsj. Tapi malu. Merasa goblog tambah minder).

= Jangan! Merasa diri masih kurang itu baik, tetapi jangan minder. (Tapi kurang kami ini keterlaluan.) Kekurangan generasi kami dulu juga banyak. (Apa sekolah yang salah?) Sebagian. Seluruh iklim masyarakat sekarang memang tidak menguntungkan untuk menjadi manusia cerdas. Kuli pintar memang, tetapi cerdas berkarakter tinggi? Tidak hanya di sini. (Di Luar-Negeri juga?) Rupa-rupanya ya, kalau kita boleh mempercayai ahli-ahli antropologi di sana.

+ Tetapi itu bukan alasan kita boleh membodohkan diri.

= Jelas tidak. Apalagi mengingat kita masih ketinggalan banyak sekali.

+ Apa yang kurang pada cara kita bersekolah Pak?

= Perihal menyanyi, menari, main musik, main drama, mendalang, melawak, pendek kata perihal EKSpresi, memang kalian hebat. (Ah sudah tahu. Yang kurang apa.) Jiwa olahraga juga sudah jauh lebih bagus dari generasi kami dulu. Hanya jangan lupa, Bapak dulu banyak olahraga mencangkul di ladang, menimba air untuk nenekmu dan berjalan jauh kalau harus pergi ke sekolah, setiap hari berjalan 10 KM. (o ya?) Betul. Dulu penuh prihatin masa muda kami. Tetapi itu tidak perlu terulang pada kalian. (Bapak cuma memuji. Sekarang apa yang kurang.) Menghapalkan kali juga juara dunia (Waduh, meledek) dan seni meniru, ini juga Mister dan Miss Universe. (Awas lho Pak, nanti selimut Bapak saya kasih satu batalyon kutu yang modelnya seperti kulit salak itu.) Hahahaa...

+ Bagaimana itu orang-orang Belanda mengajar anak-anak pribumi? Kalau kami baca tulisan-tulisan Bung Karno, Hatta, Sjahrir dan lain-lain ketika mereka masih umur dua-puluhan, apalagi Kartini yang cuma tamatan SD, aduh heran kami tidak habis-habis bagaimana mereka dapat berpikir begitu dewasa, begitu teratur, nalar cemerlang dan perasaan berbahasa elegan, sungguh teka-teki. Juga angota-anggota KNIP dulu dan orang-orang partai kan masih muda-muda, itu dari mana? (Ya, mereka bagaimana pun orang-orang istimewa). Ah, tentu saja. Tetapi walaupun istimewa kan pasti itu hasil sistem sekolah dulu.

= Saya sendiri juga tidak tahu. Tetapi di SD dulu kami memang dipaksa untuk berpikir. Pertama soal bahasa. Kami harus belajar bahasa Belanda dengan sungguh-sungguh. Kolonial memang. Tetapi itu alat juga yang memperluas cakrawala kami. Kami dulu dalam tempurung pribumi yang memang aman dan tenteram, segala-galanya harmonis, akan tetapi terbatas. Dengan bahasa asing di tangan, kunci dunia-luar seperti telah terpegang. Itu ada ruginya juga, merasa sombong, mudah terasing dari kebudayaan pribumi. Tetapi rasanya dari naik kerbau lalu naik mobil. Soalnya sekarang hanya, bagaimana membuat keseimbangan dan penjagaan identitas. Tetapi itu persoalan orang dewasa. Bagi anak tahunya hanya: senang, hebat, gempar. Apalagi kalau mijnheer Guru sudah mulai vertellen, cerita tentang cakrawala-cakrawala dan negeri-negeri jauh. Melompong.

Tetapi kami murid-murid kecil mungil sudah dini-pagi harus mengerahkan nalar dan daya analisa kami. Setiap minggu kami harus juga vertellen voor de klas, bercerita di muka kelas. Wah, itu tugas berat. Public Speaking istilah sekarang. Dan juga: een opstelletje maken (Apa itu?) membuat karangan kecil. (Sudah dididik jadi wartawan?) 0 iya, bahkan tidak kepalang tanggung, pada hakikatnya membuat semacam skripsi ilmiah; dalam bentuk mini tentu saja. (Tentang apa?) Tentang macam-macam, tetapi tema selalu konkret. Misalnya: Pergi ke Pasar. Atau: Pencopet di Pecinan. Melihat Pasar Malam. Pergi Liburan. Atau juga: Menolong Ibu, Adikku Sakit. Ada Mobil Datang, ya kejadian-kejadian konkret. Jelaslah apa tujuannya; anak dipaksa belajar observasi, atau istilah sekarang, mengumpulkan DATA. Data observasi si anak itu tidak semua diceritakan. Guru membina, bagaimana menyusun data itu secara sistematis. Langkah selanjutnya nanti, si anak dibina untuk menganalisa segala datanya itu. Secara anak-anak tentu saja. Dan kalau sudah maju, lalu si anak disuruh mengeluarkan pendapat pribadinya. Maka setiap kali Mijnheer mengecek: Ini yang mengatakan bapakmu, abangmu, gurumu atau pendapatmu sendiri? Celaka kalau ternyata si siswa hanya membeo menjiplak pendapat orang lain. Dicaci maki dipermalukan sungguh. Soal menjiplak, menyontek, wah itu dosa besar. Pendidikan Minjheer dulu selalu: Lebih baik ksatria berkata: "Kali ini saya tidak tahu jawabannya," daripada menyontek dan membeo.

+ Apa dulu tidak diajar menghapalkan?

= 0 ya. Bahkan diberi sistem menghapalkan itu. Tetapi itu memang celaka jika diketahui kita hapal sesuatu tetapi tidak tahu apa yang dihapalkan itu. Pelajar membaca misalnya. Sesudah dua tiga kalimat dibaca, mijnheer bertanya tentang isi kalimat-kalimat yang dibaca itu. Lalu sedikit diskusi begitu juga dalam pelajaran ilmu bumi, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu sejarah dan lain-lain.

+ Dulu pelajaran sejarah yang diajarkan apa, Pak?

= Wah, terang sejarah model kolonial. Mau apa. Memang dalam soal ini kami dulu salah asuhan. Tetapi kolonial tidak kolonial, yang diajarkan minjheer betul-betul logika peristiwa. Jadi tidak cuma main hapalan kejadian-kejadian saja tanpa tahu sangkut pautnya. Terutama konteks dengan kejadian-kejadian di benua-benua lain sangat menolong untuk sedikit memahami, apa arti sejarah, bersejarah, menyejarah.

+ Tokoh-tokoh siapa yang oleh Belanda diajukan sebagai contoh? Jelas bukan Diponegoro.

= Ya, jelas bukan Diponegoro. Banyak yang diputar balik. Tetapi Raden Wijaya misalnya, yang mengusir tentara Kublai Khan, nah tentang beliau kami juga diajari secara positif. Juga Gajah Mada, karena maklumlah orang Belanda pengagum orang-orang pemberani yang menjelajahi samudera-samudera. Tetapi tentunya jangan mengharap pengajaran dulu membina kami untuk mejadi perintis kemerdekaan. Hanya perintis, titik. Tetapi itu sudah cukup untuk kelak dibuahi dengan semangat kemerdekaan.

+ Katanya orang Belanda itu tidak suka orang pribumi menjadi pandai.

= Ya, memang dari segi politik resminya. Tetapi sikap guru-guru sebagai pribadi dulu oh tidak begitu. Kami dulu punya jam yang paling kami senangi, selain Vertellen, yakni jam Vragenbus (Apa itu?) Kotak-pertanyaan. Selama satu minggu para murid disuruh mengajukan pertanyaan atau perkara yang ditemui di luar sekolah tetapi tidak mudeng. Entah karena membaca sesuatu dari koran, atau membaca papan di toko, atau pengumuman di stasiun, atau mendengar orang dewasa omong ini-itu tetapi tidak menangkap artinya pokoknya apa sajalah silakan tanya. Pertanyaan itu (ini termasuk sistem pembinaan) harus ditulis di atas secarik kertas, lalu dimasukkan dalam Vragenbus. Nah pada hari Sabtu siang, kalau anak-anak sudah mengantuk dan suasana sudah ingin berlibur Minggu, Minjheer membuka kotak pertanyaan itu. Dibaca satu per satu, wah ya sering geli mendengar pertanyaan yang aneh-aneh itu. Tetapi justru itu yang dimaksud. Sebab kalau murid ketawa dan gembira apalagi penuh tegangan mendengar jawaban, nah, pendidikan blung masuk, gitu.Yakni pendidikan serba bertanya. Kelak saya baru tahu, apa arti sikap bertanya itu dalam perkembangan peradaban bangsa manusia, dalam proses ilmu pengetahuan, teknologi dan sejarah tata-masyarakat. Bertanya... bertanya. Pertanyaan yang cerdas dan benar ternyata jauh lebih penting dan menentukan kemajuan manusia daripada menjawab sembarang pertanyaan.

Nah, ini mijnheer membina kami. Beliau selalu mengajar: Een idioot kan meer vragen dan een wijs man beantwoorden. (Wah, apa itu?) "Seorang gila dapat mengajukan lebih banyak pertanyaan dari yang dapat dijawab oleh seorang arif". (Hahahaaa!) Tetapi juga ini: Maar een verstandige vraag van een wijze kan onderd idioten wijs makan. (Wah, apalagi itu?) "Tetapi suatu pertanyaan cerdas seorang arifin dapat membuat bijak seratus orang gila." (Hahahaa! Tetapi, bagaimana bila yang gila itu generasi muda?) Jawab sendiri. Kalian yang berhak menjawabnya. Yang jelas, sampai meninggal, Einstein yang begitu genial, toh masih bertanya dan bertanya, dan pertanyaannya satu itu belum dapat ia jawab; dan juga belum dapat dijawab oleh ahli seluruh dunia. Tetapi tak mengapa, manusia yang mampu menanyakan pertanyaan yang sudah benar, itulah orang yang sudah memiliki kunci penjawabannya.

+ Wah, lha kami ini bertanya saja belum mampu. Kalau dosen bertanya: Siapa yang punya pertanyaan? Kami melompong seribu bahasa.

= Memang itu harus dimulai di SD. Juga kegemaran membaca. Sebab membaca pada inti hakikatnya ialah: ingin dikili-kili oleh suatu pertanyaan yang cerdas, tepat dan benar.

***

+ BAGAIMANAPUN, terus terang, toh pendidikan Belanda itu gagal, Pak. Nyatanya murid-murid mereka akhirnya merintis dan mencapai kemerdekaan, lepas dari mereka. Bukankah itu kegagalan dari pihak mereka?

= Boleh, boleh dilihat begitu. Tetapi dianggap sukses akan bisa juga. Bukankah kebanggaan setiap guru, melihat murid-muridnya menjadi dewasa lalu berdikari? Bahkan melebihi gurunya?

+ Ya, tetapi apa mereka merasakannya demikian? Belanda kan kecewa kita merdeka.

= Memang itu tragedi sejarah antara Indonesia dan Belanda dulu. Mereka yang mengajarkan metode berpikir bersih, bernalar tajam, observasi, analisa, menilai rasional, akhirnya gagal dalam menganalisa dan menilai Revolusi Indonesia.

+ Jangan-jangan kami juga berbuat begitu, Pak. Generasi kami ini kaum riset, tukang seminar dan lokakarya, penataran dan upgrading tentang macam-macam hal mengenai bangsa kita sendiri. Tetapi jangan-jangan kami pun gagal menganalisa dan menilai apa yang sebenarnya hidup di kalangan rakyat kita sendiri. Jika kami merenungkan ketidak-tahuan kami, ketidak-siapan kami, padahal persoalan semakin menggunung, rasanya hanya ingin frustrasi saja.

= Kaum muda tidak boleh frustrasi, apalagi yang terpelajar.

+ Habis, kalau memang banyak alasan sah untuk frustrasi, minder, jengkel, memberontak?

= Justru itu tanda, alat monitor hati nurani kalian masih belum rusak. Yang malapetaka itu bila generasi muda dalam situasi seperti ini lalu justru bahkan mabuk-mabukan melampiaskan kejayaan palsu, memperkosa gadis rakyat kecil, pongah ngebut menderu-deru menghamburkan debu penuh baksil kepada para pedagang kecil dan anak-anak tak berdosa di kaki lima; bila membusung dada merasa jangan pamer baju dan sepatu, kaset-telinga serta jaket mahasiswa yang memukul harga diri pemuda-pemudi miskin yang tak mampu sekolah, hanya karena miskin; bila kalian menyombongkan kekayaan dan pangkat ayah-ibu kalian, padahal setiap orang tahu mereka bisa begitu karena korupsi dan penikmatan struktur-struktur yang tidak adil, dan macam itu.

+ Tetapi apa yang saya salah bila menggugat kaum tua dan pemerintah untuk keadaan seperti ini?

= Siapa yang berhak mempersalahkan kalian. Tetapi itu jalan yang paling murah. Ada jalan yang lebih baik, dan yang juga sudah dijalankan oleh generasi Soekarno-Hatta dalam situasi yang tidak kalah sulit dengan situasi sekarang. Yakni, tidak selalu menengadah ke atas dan mengeritik raja-raja serta ningrat-ningrat yang menjual bangsa, tetapi turba ke bawah, menghimpun kawan-kawan secita-cita yang jujur dan intelijen, baik di kalangan swasta maupun pemerintahan, di mana pun, lalu merintis sendiri dalam banyak lubang kesempatan yang masih tersedia. Itu jika kalian jeli.

Tetapi lubang-lubang kesempatan itu memang harus kau cari sendiri, tidak pernah hadiah gratis. Beranikah kalian meninggalkan jaket-priyayi-kemahasiswaan di luar kampus untuk membaur dan menemani pemuda-pemudi saudara-saudarimu sendiri yang tidak berkesempatan bersekolah hanya karena mereka tak berduit? Tidak sebagai pemimpin besar, tetapi sahabat setia? Seperti yang dikerjakan oleh perintis di Rusia dan RRC? Yang sudah ABC menolong yang baru tahu AB dan yang tahu AB menolong yang baru tahu A? Bahkan anak-anak SD mengajar bapak-ibu-nenek agar melek huruf?

+ Uaaa, itu nanti dicap New Left. Celakanya PKI malam. Mengikuti pola Marx.

= Itu bukan New Left bukan Marx. Itu pola nenek-moyang kita sejak zaman Mpu Senduk yang sudah teruji, dan pola setiap bangsa yang cerdas. Di Eropa dan AS dulu juga begitu. Memang celaka menghadapi orang-orang bodoh yang gampangan obral dengan senjata tumpul melawan hantu kiri New Left. Ngqak mudeng, bahkan manusia utuh itu punya tangan-kaki dan paru-paru kanan dan kiri, mata-telinga, bahkan otak yang kanan dan kiri.

+ Ya, tetapi mendidik dari bawah itu kan jalan yang terlalu panjang terlalu lama. Perbaikan melalui kritik terhadap pemerintah kan jalan-pintas yang cepat.

= Silakan kalau mampu. Tetapi jalan pintas itu tidak ada dalam perkembangan manusia yang dibuat dari daging-darah dan penuh dengan praduga dan warisan mental tradisional berabad-abad. Dalam dunia tetumbuhan dan hewan pun juga tidak ada jalan pintas. Yang ada hanya: pematangan buah, pematangan lahan.

+ Tetapi kita kan dapat mempercepat pematangan buah itu.

= Nah, itu bisa dan diharapkan dari kalian.

+ Wah... gimana ya. Kami sudah lemas. Angkat tangan deh. Mengurus diri sendiri aje belum bisa, kok disuruh ngurusin orang lain. Kalian yang tua sajalah, kami masih bodoh.

= Hahahaa, ya sudah, mau apa. Memang bukan hanya salah kalian. Tetapi mbok ya jajal, dari sedikit. Tidak usah menggebu-gebu, tetapi step by step. Soalnya sih kau ini anak dari ayah-ibumu. (Lha siapa yang menyuruh!) Ha ha haaa, ya sudah,Tuhan yang salah. Paling gampang. Cuma, mbok ya kalian ini mau belajar dari rakyat kecil itu lho. Dari zaman Demak mereka menderita dan menderita, tetapi tidak pernah frustrasi.

Coba, kadang-kadang membolos sajalah dari kuliah dan amat-amatilah orang-orang kecil itu, kuli-kuli gadis-gadis itu, penjual minyak dan es, bahkan penjual rosokan ekologi di kaki lima, pemungut puntung-puntung Roro-Mendut, apa you tidak mau? Mereka berani dan tabah mempertahankan hidup, artinya resolusi memihak kepada kehidupan dan harapan pada hari-depan; paling tidak bagi anak-anak mereka. Diam tanpa banyak teori profesor. Babu-babu yang dianiaya tuan-nyonya sadis, bahkan pelacur-pelacur murahan yang bersusah-payah agar kelihatan sedikit cantik dalam kegelapan malam sepi, itulah seharusnya profesor-profesormu perihal keyakinan, bahwa hidup adalah anugerah yang sekaligus harus diolah, diperjuangkan mati-matian.

+ Kami bisa berbuat apa... kami sendiri sering korup juga dan sadis.

= Mosok semua sudah korup dan sadis. Pernah baca Max Havelaar apa belum? Kau tahu, di zaman Belanda sekali pun Max Havelaar menjadi bacaan wajib untuk sekolah menengah-atas jurusan budaya. Kau harus bersyukur punya H.B. Jassin yang sudah menerjemahkannya secara serius. Mengapa sekarang bukan bacaan wajib lagi? Malu? Takut? Perintis-perintis kemerdekaan kita dulu banyak belajar dari Max Havelaar yang sendirian dan penuh pengorbanan pribadi menantang dunia kolonial yang korup. Korup Belanda, korup Pribumi setalitigawang. Padahal penulisnya Douwes Dekker sendiri orang Belanda.

+ Ya, itu kan zaman dulu. Sekarang sikonnya sudah lain. Dulu gampang, sekarang soalnya lebih sulit.

= Itu omongan orang bodoh. Zaman dulu juga sangat sulit sikonnya. Setiap zaman setiap generasi punya kesulitan masing-masing, tetapi juga modal yang sepadan untuk mengatasi kesulitannya sendiri. Yang lain itu cuma bajunya. Tetapi hakikat permasalahannya masih sama. Proses sejarah tidak menghitung dengan dasawarsa tetapi dengan abad. (Wah, celaka!) Tidak celaka. Normal itu. Makanya, kalian sebagai anak modern mbok kadang-kadang mau mempelajari foto Rontgen, jangan cuma menghibur diri dengan foto Colour belaka.

+ Tsy, mau apa ya? Belum tahu harus apa...

= Nggak apa-apa kau belum tahu persis harus berbuat apa. Tetapi yang penting sikapmu dulu. Kau berdiri di pihak mana. Di pihak arus korup yang terus menerus melumpuhkan segala-gala ini, atau di pihak gerakan perintis-perintis segala zaman yang jujur?

+ Ya, di pihak jalur... maunya. Tetapi mulai dari mana...

= Dari mana? Cobalah dari...

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar