Kawan2 yg (selalu) ceria di mana
saja (& moga2 selalu dimikian), perkenankan saya membagikan sebuah
cerita Y.B Mangunwijaya yg kocak tapi sekaligus inspiratif-mengundang
perenungan (apalagi saat masa2 sekolah dulu!). Sayang memang buku 'Impian Dari Yogyakarta',
yg berisi kumpulan 'gerundelan'/unek2 Mangunwijaya seputar dunia
pendidikan, sudah sulit ditemukan di rak2 toko buku. Cerita yg saya
'digitalisasi' & bagi ini ada di halaman 66-75 buku langka tersebut.
Semoga pihak penerbit tidak sakit hati isi bukunya saya bajak. Dan
semoga kawan2 juga tidak sakit kepala membaca (apalagi meresapi) cerita di bawah ini.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
BIJI UNGGUL DAN TANAH TUMBUH
POLITIK
pengajaran pendidikan Belanda memang kolonial. Tetapi kita jangan main
hitam-putih. Banyak hikmahnya.
+ Itu lho Pak, yang kami tidak mudeng. Pak Dirman, Pak Harto,
Adisucipto, Haris Nasution, Bung Tomo dan banyak lagi pemimpin Revolusi 45, kan
ketika itu belum berumur 30 tahun. Slamet Riyadi, Soedjatmoko baru 22 tahun.
Bahkan banyak yang masih SMA atau STM dan tamatan SD, kok mereka sudah bisa jadi panglima tertinggi, diplomat,
gubernur-militer, itu dari mana. Apa generasi dulu itu memang lebih pandai dari
generasi Bebek-Honda sekarang ini?
= Ah ya
tidak! Bahkan dalam beberapa hal kalian jauh lebih mahir daripada kami dulu.
(Nah, soal menghapalkan, bukan.) Antara lain. (Deklamasi dan main gitar, ya
to?) Antara lain. (Merias diri). Itu juga. Kan baik punya bangsa yang tampan
dan cantik. (Tsj. Tapi malu. Merasa goblog tambah minder).
= Jangan!
Merasa diri masih kurang itu baik, tetapi jangan minder. (Tapi kurang kami ini
keterlaluan.) Kekurangan generasi kami dulu juga banyak. (Apa sekolah yang
salah?) Sebagian. Seluruh iklim masyarakat sekarang memang tidak menguntungkan
untuk menjadi manusia cerdas. Kuli pintar memang, tetapi cerdas berkarakter
tinggi? Tidak hanya di sini. (Di Luar-Negeri juga?) Rupa-rupanya ya, kalau kita
boleh mempercayai ahli-ahli antropologi di sana.
+ Tetapi itu
bukan alasan kita boleh membodohkan diri.
= Jelas
tidak. Apalagi mengingat kita masih ketinggalan banyak sekali.
+ Apa yang
kurang pada cara kita bersekolah Pak?
= Perihal
menyanyi, menari, main musik, main drama, mendalang, melawak, pendek kata
perihal EKSpresi, memang kalian
hebat. (Ah sudah tahu. Yang kurang apa.) Jiwa olahraga juga sudah jauh lebih
bagus dari generasi kami dulu. Hanya jangan lupa, Bapak dulu banyak olahraga
mencangkul di ladang, menimba air untuk nenekmu dan berjalan jauh kalau harus
pergi ke sekolah, setiap hari berjalan 10 KM. (o ya?) Betul. Dulu penuh
prihatin masa muda kami. Tetapi itu tidak perlu terulang pada kalian. (Bapak
cuma memuji. Sekarang apa yang kurang.) Menghapalkan kali juga juara dunia
(Waduh, meledek) dan seni meniru, ini juga Mister
dan Miss Universe. (Awas lho Pak,
nanti selimut Bapak saya kasih satu batalyon kutu yang modelnya seperti kulit
salak itu.) Hahahaa...
+ Bagaimana
itu orang-orang Belanda mengajar anak-anak pribumi? Kalau kami baca
tulisan-tulisan Bung Karno, Hatta, Sjahrir dan lain-lain ketika mereka masih
umur dua-puluhan, apalagi Kartini yang cuma
tamatan SD, aduh heran kami tidak habis-habis bagaimana mereka dapat
berpikir begitu dewasa, begitu teratur, nalar cemerlang dan perasaan berbahasa
elegan, sungguh teka-teki. Juga angota-anggota KNIP dulu dan orang-orang partai
kan masih muda-muda, itu dari mana? (Ya, mereka bagaimana pun orang-orang
istimewa). Ah, tentu saja. Tetapi walaupun istimewa kan pasti itu hasil sistem
sekolah dulu.
= Saya
sendiri juga tidak tahu. Tetapi di SD dulu kami memang dipaksa untuk berpikir. Pertama soal bahasa. Kami harus belajar bahasa Belanda dengan sungguh-sungguh.
Kolonial memang. Tetapi itu alat juga yang memperluas cakrawala kami. Kami dulu
dalam tempurung pribumi yang memang aman dan tenteram, segala-galanya harmonis,
akan tetapi terbatas. Dengan bahasa asing di tangan, kunci dunia-luar seperti
telah terpegang. Itu ada ruginya juga, merasa sombong, mudah terasing dari
kebudayaan pribumi. Tetapi rasanya dari naik kerbau lalu naik mobil. Soalnya
sekarang hanya, bagaimana membuat keseimbangan dan penjagaan identitas. Tetapi
itu persoalan orang dewasa. Bagi anak tahunya hanya: senang, hebat, gempar.
Apalagi kalau mijnheer Guru sudah
mulai vertellen, cerita tentang
cakrawala-cakrawala dan negeri-negeri jauh. Melompong.
Tetapi kami
murid-murid kecil mungil sudah dini-pagi harus mengerahkan nalar dan daya analisa
kami. Setiap minggu kami harus juga vertellen
voor de klas, bercerita di muka kelas. Wah, itu tugas berat. Public Speaking istilah sekarang. Dan
juga: een opstelletje maken (Apa
itu?) membuat karangan kecil. (Sudah dididik jadi wartawan?) 0 iya, bahkan
tidak kepalang tanggung, pada hakikatnya membuat semacam skripsi ilmiah; dalam
bentuk mini tentu saja. (Tentang apa?) Tentang macam-macam, tetapi tema selalu
konkret. Misalnya: Pergi ke Pasar. Atau: Pencopet di Pecinan. Melihat Pasar
Malam. Pergi Liburan. Atau juga: Menolong Ibu, Adikku Sakit. Ada Mobil Datang,
ya kejadian-kejadian konkret. Jelaslah apa tujuannya; anak dipaksa belajar observasi, atau istilah
sekarang, mengumpulkan DATA. Data observasi si anak itu tidak semua
diceritakan. Guru membina, bagaimana menyusun
data itu secara sistematis.
Langkah selanjutnya nanti, si anak dibina untuk menganalisa segala datanya itu. Secara anak-anak tentu saja. Dan
kalau sudah maju, lalu si anak disuruh mengeluarkan pendapat pribadinya. Maka setiap kali Mijnheer mengecek: Ini yang mengatakan bapakmu, abangmu, gurumu
atau pendapatmu sendiri? Celaka kalau ternyata si siswa hanya membeo menjiplak
pendapat orang lain. Dicaci maki dipermalukan sungguh. Soal menjiplak, menyontek,
wah itu dosa besar. Pendidikan Minjheer
dulu selalu: Lebih baik ksatria berkata: "Kali ini saya tidak tahu
jawabannya," daripada menyontek dan membeo.
+ Apa dulu
tidak diajar menghapalkan?
= 0 ya.
Bahkan diberi sistem menghapalkan itu. Tetapi itu memang celaka jika diketahui
kita hapal sesuatu tetapi tidak tahu apa yang dihapalkan itu. Pelajar membaca
misalnya. Sesudah dua tiga kalimat dibaca, mijnheer bertanya tentang isi
kalimat-kalimat yang dibaca itu. Lalu sedikit diskusi begitu juga dalam
pelajaran ilmu bumi, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu sejarah dan lain-lain.
+ Dulu
pelajaran sejarah yang diajarkan apa, Pak?
= Wah, terang
sejarah model kolonial. Mau apa. Memang dalam soal ini kami dulu salah asuhan.
Tetapi kolonial tidak kolonial, yang diajarkan minjheer betul-betul logika
peristiwa. Jadi tidak cuma main hapalan kejadian-kejadian saja tanpa tahu
sangkut pautnya. Terutama konteks
dengan kejadian-kejadian di benua-benua lain sangat menolong untuk sedikit
memahami, apa arti sejarah, bersejarah, menyejarah.
+ Tokoh-tokoh
siapa yang oleh Belanda diajukan sebagai contoh? Jelas bukan Diponegoro.
= Ya, jelas
bukan Diponegoro. Banyak yang diputar balik. Tetapi Raden Wijaya misalnya, yang
mengusir tentara Kublai Khan, nah tentang beliau kami juga diajari secara
positif. Juga Gajah Mada, karena maklumlah orang Belanda pengagum orang-orang
pemberani yang menjelajahi samudera-samudera. Tetapi tentunya jangan mengharap
pengajaran dulu membina kami untuk mejadi perintis kemerdekaan. Hanya perintis,
titik. Tetapi itu sudah cukup untuk kelak dibuahi dengan semangat kemerdekaan.
+ Katanya
orang Belanda itu tidak suka orang pribumi menjadi pandai.
= Ya, memang
dari segi politik resminya. Tetapi sikap guru-guru sebagai pribadi dulu oh
tidak begitu. Kami dulu punya jam yang paling kami senangi, selain Vertellen, yakni jam Vragenbus (Apa itu?) Kotak-pertanyaan.
Selama satu minggu para murid disuruh mengajukan pertanyaan atau perkara yang
ditemui di luar sekolah tetapi tidak mudeng. Entah karena membaca sesuatu dari
koran, atau membaca papan di toko, atau pengumuman di stasiun, atau mendengar
orang dewasa omong ini-itu tetapi tidak menangkap artinya pokoknya apa sajalah silakan tanya. Pertanyaan
itu (ini termasuk sistem pembinaan) harus ditulis di atas secarik kertas, lalu
dimasukkan dalam Vragenbus. Nah pada
hari Sabtu siang, kalau anak-anak sudah mengantuk dan suasana sudah ingin
berlibur Minggu, Minjheer membuka
kotak pertanyaan itu. Dibaca satu per satu, wah
ya sering geli mendengar pertanyaan yang aneh-aneh itu. Tetapi justru itu yang
dimaksud. Sebab kalau murid ketawa dan gembira apalagi penuh tegangan mendengar
jawaban, nah, pendidikan blung masuk, gitu.Yakni pendidikan serba bertanya. Kelak saya baru tahu, apa arti sikap bertanya itu dalam perkembangan
peradaban bangsa manusia, dalam proses ilmu pengetahuan, teknologi dan sejarah
tata-masyarakat. Bertanya... bertanya. Pertanyaan
yang cerdas dan benar ternyata jauh lebih penting dan menentukan kemajuan
manusia daripada menjawab sembarang pertanyaan.
Nah, ini
mijnheer membina kami. Beliau selalu mengajar: Een idioot kan meer vragen dan een wijs man beantwoorden. (Wah, apa
itu?) "Seorang gila dapat
mengajukan lebih banyak pertanyaan dari yang dapat dijawab oleh seorang arif".
(Hahahaaa!) Tetapi juga ini: Maar een
verstandige vraag van een wijze kan onderd idioten wijs makan. (Wah,
apalagi itu?) "Tetapi suatu
pertanyaan cerdas seorang arifin dapat membuat bijak seratus orang gila."
(Hahahaa! Tetapi, bagaimana bila yang gila itu generasi muda?) Jawab sendiri.
Kalian yang berhak menjawabnya. Yang jelas, sampai meninggal, Einstein yang
begitu genial, toh masih bertanya dan
bertanya, dan pertanyaannya satu itu belum dapat ia jawab; dan juga belum dapat
dijawab oleh ahli seluruh dunia. Tetapi tak mengapa, manusia yang mampu
menanyakan pertanyaan yang sudah benar, itulah orang yang sudah memiliki kunci
penjawabannya.
+ Wah, lha kami ini bertanya saja belum
mampu. Kalau dosen bertanya: Siapa yang punya pertanyaan? Kami melompong seribu
bahasa.
= Memang itu
harus dimulai di SD. Juga kegemaran membaca. Sebab membaca pada inti hakikatnya
ialah: ingin dikili-kili oleh suatu pertanyaan yang cerdas, tepat dan benar.
***
+ BAGAIMANAPUN, terus terang, toh pendidikan Belanda itu gagal, Pak.
Nyatanya murid-murid mereka akhirnya merintis dan mencapai kemerdekaan, lepas
dari mereka. Bukankah itu kegagalan dari pihak mereka?
= Boleh,
boleh dilihat begitu. Tetapi dianggap sukses akan bisa juga. Bukankah
kebanggaan setiap guru, melihat murid-muridnya menjadi dewasa lalu berdikari?
Bahkan melebihi gurunya?
+ Ya, tetapi
apa mereka merasakannya demikian? Belanda kan kecewa kita merdeka.
= Memang itu
tragedi sejarah antara Indonesia dan Belanda dulu. Mereka yang mengajarkan
metode berpikir bersih, bernalar tajam, observasi, analisa, menilai rasional,
akhirnya gagal dalam menganalisa dan menilai Revolusi Indonesia.
+
Jangan-jangan kami juga berbuat begitu, Pak. Generasi kami ini kaum riset,
tukang seminar dan lokakarya, penataran dan upgrading
tentang macam-macam hal mengenai bangsa kita sendiri. Tetapi jangan-jangan kami
pun gagal menganalisa dan menilai apa
yang sebenarnya hidup di kalangan rakyat kita sendiri. Jika kami
merenungkan ketidak-tahuan kami, ketidak-siapan kami, padahal persoalan semakin
menggunung, rasanya hanya ingin frustrasi saja.
= Kaum muda
tidak boleh frustrasi, apalagi yang terpelajar.
+ Habis,
kalau memang banyak alasan sah untuk frustrasi, minder, jengkel, memberontak?
= Justru itu
tanda, alat monitor hati nurani kalian masih belum rusak. Yang malapetaka itu
bila generasi muda dalam situasi seperti ini lalu justru bahkan mabuk-mabukan
melampiaskan kejayaan palsu, memperkosa gadis rakyat kecil, pongah ngebut menderu-deru menghamburkan
debu penuh baksil kepada para pedagang kecil dan anak-anak tak berdosa di kaki
lima; bila membusung dada merasa jangan pamer baju dan sepatu, kaset-telinga
serta jaket mahasiswa yang memukul harga diri pemuda-pemudi miskin yang tak
mampu sekolah, hanya karena miskin; bila kalian menyombongkan kekayaan dan
pangkat ayah-ibu kalian, padahal setiap orang tahu mereka bisa begitu karena
korupsi dan penikmatan struktur-struktur yang tidak adil, dan macam itu.
+ Tetapi apa
yang saya salah bila menggugat kaum tua dan pemerintah untuk keadaan seperti
ini?
= Siapa yang
berhak mempersalahkan kalian. Tetapi itu jalan yang paling murah. Ada jalan
yang lebih baik, dan yang juga sudah dijalankan oleh generasi Soekarno-Hatta
dalam situasi yang tidak kalah sulit dengan situasi sekarang. Yakni, tidak selalu menengadah ke atas dan
mengeritik raja-raja serta ningrat-ningrat yang menjual bangsa, tetapi turba ke bawah, menghimpun
kawan-kawan secita-cita yang jujur dan intelijen, baik di kalangan swasta
maupun pemerintahan, di mana pun, lalu merintis
sendiri dalam banyak lubang kesempatan yang masih tersedia. Itu jika kalian
jeli.
Tetapi
lubang-lubang kesempatan itu memang harus kau cari sendiri, tidak pernah hadiah
gratis. Beranikah kalian meninggalkan jaket-priyayi-kemahasiswaan di luar
kampus untuk membaur dan menemani pemuda-pemudi saudara-saudarimu sendiri yang
tidak berkesempatan bersekolah hanya karena mereka tak berduit? Tidak sebagai
pemimpin besar, tetapi sahabat setia? Seperti yang dikerjakan oleh perintis di
Rusia dan RRC? Yang sudah ABC menolong yang baru tahu AB dan yang tahu AB
menolong yang baru tahu A? Bahkan anak-anak SD mengajar bapak-ibu-nenek agar
melek huruf?
+ Uaaa, itu
nanti dicap New Left. Celakanya PKI malam. Mengikuti pola Marx.
= Itu bukan
New Left bukan Marx. Itu pola nenek-moyang kita sejak zaman Mpu Senduk yang
sudah teruji, dan pola setiap bangsa yang cerdas. Di Eropa dan AS dulu juga
begitu. Memang celaka menghadapi orang-orang bodoh yang gampangan obral dengan
senjata tumpul melawan hantu kiri New Left. Ngqak
mudeng, bahkan manusia utuh itu punya tangan-kaki dan paru-paru kanan dan
kiri, mata-telinga, bahkan otak yang kanan dan kiri.
+ Ya, tetapi
mendidik dari bawah itu kan jalan yang terlalu panjang terlalu lama. Perbaikan
melalui kritik terhadap pemerintah kan jalan-pintas yang cepat.
= Silakan
kalau mampu. Tetapi jalan pintas itu tidak ada dalam perkembangan manusia yang
dibuat dari daging-darah dan penuh dengan praduga dan warisan mental
tradisional berabad-abad. Dalam dunia tetumbuhan dan hewan pun juga tidak ada
jalan pintas. Yang ada hanya: pematangan buah, pematangan lahan.
+ Tetapi kita
kan dapat mempercepat pematangan
buah itu.
= Nah, itu
bisa dan diharapkan dari kalian.
+ Wah...
gimana ya. Kami sudah lemas. Angkat tangan deh. Mengurus diri sendiri aje belum bisa, kok disuruh ngurusin orang lain. Kalian yang tua sajalah, kami
masih bodoh.
= Hahahaa, ya
sudah, mau apa. Memang bukan hanya salah kalian. Tetapi mbok ya jajal, dari sedikit. Tidak usah menggebu-gebu, tetapi step by step. Soalnya sih kau ini anak
dari ayah-ibumu. (Lha siapa yang menyuruh!) Ha ha haaa, ya sudah,Tuhan yang
salah. Paling gampang. Cuma, mbok ya kalian ini mau belajar dari rakyat kecil
itu lho. Dari zaman Demak mereka
menderita dan menderita, tetapi tidak pernah frustrasi.
Coba,
kadang-kadang membolos sajalah dari kuliah dan amat-amatilah orang-orang kecil
itu, kuli-kuli gadis-gadis itu, penjual minyak dan es, bahkan penjual rosokan
ekologi di kaki lima, pemungut puntung-puntung Roro-Mendut, apa you tidak mau?
Mereka berani dan tabah mempertahankan
hidup, artinya resolusi memihak
kepada kehidupan dan harapan pada hari-depan; paling tidak bagi anak-anak mereka.
Diam tanpa banyak teori profesor. Babu-babu yang dianiaya tuan-nyonya sadis,
bahkan pelacur-pelacur murahan yang bersusah-payah agar kelihatan sedikit
cantik dalam kegelapan malam sepi, itulah seharusnya profesor-profesormu
perihal keyakinan, bahwa hidup adalah
anugerah yang sekaligus harus diolah, diperjuangkan mati-matian.
+ Kami bisa
berbuat apa... kami sendiri sering korup juga dan sadis.
= Mosok semua
sudah korup dan sadis. Pernah baca Max
Havelaar apa belum? Kau tahu, di zaman Belanda sekali pun Max Havelaar menjadi bacaan wajib untuk
sekolah menengah-atas jurusan budaya. Kau harus bersyukur punya H.B. Jassin yang sudah menerjemahkannya
secara serius. Mengapa sekarang bukan bacaan wajib lagi? Malu? Takut?
Perintis-perintis kemerdekaan kita dulu banyak belajar dari Max Havelaar yang
sendirian dan penuh pengorbanan pribadi menantang dunia kolonial yang korup.
Korup Belanda, korup Pribumi setalitigawang. Padahal penulisnya Douwes Dekker
sendiri orang Belanda.
+ Ya, itu kan
zaman dulu. Sekarang sikonnya sudah lain. Dulu gampang, sekarang soalnya lebih
sulit.
= Itu omongan
orang bodoh. Zaman dulu juga sangat sulit sikonnya. Setiap zaman setiap generasi punya kesulitan
masing-masing, tetapi juga modal yang sepadan untuk mengatasi kesulitannya
sendiri. Yang lain itu cuma bajunya. Tetapi hakikat permasalahannya masih
sama. Proses sejarah tidak menghitung dengan dasawarsa tetapi dengan abad.
(Wah, celaka!) Tidak celaka. Normal itu. Makanya, kalian sebagai anak modern mbok kadang-kadang mau mempelajari foto Rontgen, jangan cuma menghibur diri
dengan foto Colour belaka.
+ Tsy, mau apa
ya? Belum tahu harus apa...
= Nggak
apa-apa kau belum tahu persis harus berbuat apa. Tetapi yang penting sikapmu dulu. Kau berdiri di pihak mana.
Di pihak arus korup yang terus menerus melumpuhkan segala-gala ini, atau di
pihak gerakan perintis-perintis segala zaman yang jujur?
+ Ya, di
pihak jalur... maunya. Tetapi mulai dari mana...
= Dari mana?
Cobalah dari...
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar