Senin, 08 April 2013

Arsitektur Tanpa Malu

Seringkali arsitektur dijadikan alat poles/make up wibawa ato gengsi pemerintah (dan juga swasta/individu). Arsitek sih seneng2 aja kalo dapet proyek gede, gagah, gigantik, serba heroik. Tapi kalo karya begitu berdiri di tengah kemiskinan rakyat kebanyakan (yg nyata2 ada, rahasia umum, tinggal jalan sedikit aja keluar gedung pasti nemu), wah, rasanya arsitektur demikian kok malah bikin miris.

kayak negeri Korea Utara: gedung pemerintahnya hebat2, mereka punya jalan2 besar, pencakar langit, serba rapi dan tertata ibukotanya. Rakyat terlihat penuh disiplin baris berbaris. Terlihat bangga. Tapi kan sebetulnya itu negeri miskin, rakyat sulit makan, tiap hari teror ketakutan. (bangunan2 pemerintah Inggris aja gak segegap gempita itu. Liat aja Downing Street 10, kantornya PM Inggris)

Mirip pilar2 yg gede & banyak banget sampe berlebihan kalo buat peran struktur gedung pengadilan (juga pemerintah lho). katanya cermin wibawa & tegak-kokohnya hukum. Tapi begitu keluar jalan sebentar:
"Prittt.... anda naek motor tak pake helm. Sini saya tilang. Cukup 200 rebu. Seratus buat gobermen, seratus buat beer.."

kalo punya duit banyak tak masalah tinggal di negeri beginian. Memang jadinya serba maen kuat2an: duit, kuasa, otot. Tapi buat yg miskin-marjinal? Itu bikin sakit hati. Pantes masyarakat seneng itu preman2 'habis' di Cebongan.

Tapi pemerintah tetep aja berdiri kokoh pamer make up seolah negerinya serba berhasil (make up-nya: kantor gede, rumah dinas mewah, mobil dinas elit, dsb..pake Voorijder biar makin gagah!)

Wah, itu kayak lari2 telanjang di jalan tapi ngakunya pake baju desainer kondang..

Nah, tinggal gimana nih kawan2 yg ngakunya arsitek nyikapi soal2 beginian?
(kalo tanya ke perut jawabannya sih udah jelas, ringkas, padat, pasti.. :D)



1 komentar:

  1. Ada tulisan Avianti Armand di fesbuk. Nyambung dengan gambarnya :)


    SPEKTRUM

    Suatu hari saya berkesempatan berbincang-bincang dengan seorang arsitek yang mendampingi warga di pinggiran waduk Pluit yang akan digusur. Ia bercerita tentang pergulatannya mendesain untuk 5000 kepala keluarga di atas tanah seluas 12 hektar. Tantangannya bukan cuma kepadatan, tapi juga kelayakan dan kemungkinan terealisasi, karena 5000 KK ini bukanlah orang-orang yang "mampu". Selain itu, dia juga dikejar waktu. Desain harus berlomba dengan mesin keruk (beku) yang selalu siap menghancurkan rumah warga di saat-saat yang tak terduga. Seorang ibu, salah satu penghuni pinggiran waduk, bercerita, sekarang pemerintah daerah menggunakan cara gusur yang berbeda. Jika dulu mereka mengerahkan SatPol PP, sekarang penggusuran adalah bagian dari kontrak dengan developer. "Oknum-oknum" developer akan datang ke tempat tingal mereka dangan membawa uang dan mesin-mesin besar. Tawar-tawaran terjadi di tempat dengan garu raksasa mesin beku yang sudah teracung di atas atap rumah mereka. Ini tentu tak bisa disebut "tawar-tawaran", melainkan "ancaman".

    Di hari yang lain, saya mendapat cerita dari seorang kontraktor yang sedang melaksanakan sebuah desain dari salah satu kolega arsitek; sebuah rumah di kawasan Kuningan seluas 7000 meter persegi. Saya tanya, "Itu luas tanahnya?" Dia bilang, "Bukan. Rumahnya." "Kok bisa?" Tanya saya polos. Tentu bisa, jelas kontraktor tadi, rumah itu dilengkapi dengan dua hall besar yang bisa menampung 1000 orang. Pantas. Saya tak berani membayangkan biayanya. Meskipun tak sulit, karena pada saat yang bersamaan saya sedang menangani sebuah proyek interior untuk seorang klien yang tak kunjung bisa memutuskan mau beli sofa 3 dudukan yang mana; yang harganya 45 juta atau 52 juta.

    Seberapa luas bentang spektrum dari praksis kita? Seluas 12 hektar untuk 5000 kepala keluarga hingga 7000 meter persegi untuk satu keluarga. Seluas sulitnya mencari makan untuk satu hari hingga kebingungan menentukan pilihan sofa berharga puluhan juta rupiah. Seluas satu rumah 3x5 untuk 8 orang hingga hall yang bisa memuat 1000 orang sekali pesta. Di bentang seluas itu, saya merasa gamang.

    Tapi keluasan spektrum itu juga memberi kita ruang dan pilihan yang tak terbatas. Setiap orang pada akhirnya menemukan posisi yang paling tepat untuk dirinya. Setiap orang pada akhirnya diam atau beredar di satu titik. Tak ada yang salah atau jadi lebih benar dengan pilihan-pilihan tersebut. Menyadari keluasan spektrum dari praksis kita bisa jadi sekedar pengetahuan belaka, atau semacam alarm pengingat yang siap mencubit nurani kita. Suatu ketika klien kita ingin membuat kamar tidur seluas lapangan basket, kita akan ingat pada orang-orang yang berumah di gerobak. Suatu ketika klien kita ingin, secara ilegal, membuat sumur artesis untuk sumber airnya, kita akan ingat pada kaum miskin yang terpaksa membelanjakan sepertiga dari pendapatannya untuk air bersih. Suatu ketika kita dihadapkan pada pilihan untuk melanggar Koefisien Dasar Bangunan, kita akan ingat pada orang-orang di pinggir kali yang akrab pada banjir.

    Tapi saya tak mau berharap banyak.

    BalasHapus