Senin, 13 Mei 2013

Mohon Pencerahannya

Saya amati anak muda zaman internet ini punya 'pede' (pd: percaya diri) cukup tinggi. Mereka berani unggah karya mereka, apapun bentuknya, ke ruang publik ramai. Hebatnya lagi (ini yang bikin saya bilang mereka pedenya tingkat tinggi) mereka mengundang siapa saja untuk beri komentar. Bahkan (ini yang bikin saya kagum!) memohon nasehat dan kritik pedas dari siapapun. Dengan mantap mereka sampaikan,

"Mohon pencerahannya gan!"

---------

Karya yang bagus akan undang segunung 'like' ditambah sekian basa-basi pujian. Yang jelek? Wah, dihabisi sedemikian rupa karena ruang publik internet ini sesungguhnya semacam rimba raya. Kejam untuk mereka yang (terlihat) lemah. Masih untung jika cuma tak dihiraukan/like. Tapi kasihan mereka yang bermental minder kalau dikejami demikian.

Dulu ada mahasiswa arsitektur yang posting karyanya di fesbuk. Sebagai kakak kelas sealmamater saya lihat karyanya jauh sekali dari bagus dan benar untuk seangkatannya. Tulisannya kacau, idenya masih amat sederhana. Jelas ini menjatuhkan nama pribadinya. Namun tidak hanya pribadinya, nama almamater juga jatuh (karena jadi kontra pencitraan kampus seolah karya-karya dari kampus seperti itu semua). Parahnya lagi, ini menjatuhkan nama grup studi (ekstra kampus) mahasiswa tempat dia melekat yang dibentuk senior-seniornya sebagai sarana melengkapi pengetahuan+ketrampilan yang kurang diberikan kampus.

Tentu untuk karya terposting mahasiswa itu, karena saya kenal, saya 'bully' habis-habisan di kolom komentarnya. Tapi secara diam-diam saya kirim email dan sms ke dia bahwa itu bagian dari taktik agar dia tak dijatuhkan orang-orang yang tak dikenal dan nama kampus serta grup tak jatuh terlalu jauh. Bisa saja anggota rimba raya maya ini berlaku lebih kejam dan sadis. Dan benar, orang-orang urung niat mem-bully karena kasihan lihat korban sudah di-bully, bahkan malah memberi semangat (lho, masyarakat kita itu gampang kasihan. Melodramatik. Mega dan SBY jadi presiden adalah contoh bagus buat memahami itu).

Grup studi/komunitas ekstra kampus dibentuk selain buat melengkapi yang kurang-kurang tadi juga untuk ruang kritik yang membangun yang 'tingkat pedasnya' masih bisa dikendalikan. Toh juga yang mengkritik adalah orang-orang yang dia kenal yang sesungguhnya adalah kawan-kawan dekatnya sendiri. Minder bisa diatasi. Kakak seniornya (lebih tepatnya yang lebih tua) bisa memberi masukan berdasar pengalamannya. Jenjang usia yang tak terlampau jauh bisa kasih keuntungan berkurangnya jarak (gap) antar generasi-budaya, alias berkurangnya ketidaknyambungan komunikasi.

Di dalam grup ada yang berlaku sebagai 'editor' atau korektor. Yang menduduki posisi atau peran itu bisa ditentukan kawan-kawannya. Tapi yang jelas dia musti memiliki landasan pengetahuan yang kuat dan memadai untuk suatu isu. Dengan demikian penilaiannya memiliki bobot dan meminimalisir tingkat kengawuran. Mirip dengan editor dan redaksi yang ada di media massa cetak.

Proses diskusi dan 'koreksi' karya dan isu berlangsung tertutup. Hanya untuk grup itu. Karya yang keluar ke arena publik lebih luas adalah yang lolos tahap penghakiman grup tersebut. Dengan demikian anggota grup dibiasakan dengan proses seleksi dan tahu diri bahwa tidak semua karya dan 'omongan' bisa dilempar begitu saja ke arena rimba raya publik, semacam internet-sosmed yang sesungguhnya kejam. Dengan demikian pula dia tahu ada yang namanya reputasi yang dibangun dari jerih payah non-instan. Termasuk bahwa tidak semua informasi boleh ditelan sebelum dicek-ricek (riset+cek) terlebih dulu kebenarannya, termasuk reputasi pembuat-penyebar informasi.

Dan bagi dunia maya kita, 'sampah-sampah' visual dan kata-kata bisa diminimalisir yang ujung-ujungnya menyumbang kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat pula. Dengan demikian, tanpa perlu jadi guru, kita turut dalam penciptaan ruang pendidikan yang baik. Internet adalah sarana strategis pendidikan-pencerdasan selain TV bagi bangsa kita yang lebih melek lisan dan ingin serba instan.

Konsep grup atau komunitas seperti ini sudah jamak di kalangan seniman dan kaum kreatif. Bahkan ikatan antar anggotanya sangat solid dan reputasi kelompok seni ini bikin apapun yang mereka 'lahirkan' punya nilai materi tinggi (maksudnya mahal) dan seksi buat berita (maksudnya melulu dibicarakan tapi secara positif penuh kagum-puja-puji).

 ---------

Saya di atas menggerundel soal secuil fenomena anak muda dan kepedeannya di ruang publik dunia maya. Sayang bahwa kepedean akut juga menjangkiti kaum-kaum tua. Ruang publik kota (plus desa) jadi bukti betapa alay-lebay-ababilnya mereka. Dan sayang sekali partai serta institusi pemerintahan tidak bisa berlaku seperti grup yang saya ceritakan di atas. Seolah tak ada kaderisasi, seleksi, dan koreksi.

Tanpa malu-malu orang-orang itu bicara janji melulu dan hal-hal abstrak normatif yang sudah tentu siapapun setuju meski tak menyentuh bumi dan akar persoalan sama sekali. Itu belum ditambah seringkali diingkari pula. Anak-anak muda yang suka pamer karya jadi terasa lebih mending.

Nah, repotnya, orang-orang tua ini tak punya rasa estetika sama sekali. Muka tak cakep-cakep amat (padahal photoshop sudah bertindak!), komunikasi visualnya pun berselera rendah. Cuma mengandalkan uang dan kuasa, dan pede yang kelewat normal. Kenapa dibilang 'repot'? Karena selera rendah ini menular dan bisa mewabah di masyarakat! Begitu komentar kawan-kawan DKV (Desain Komunikasi Visual) dan pengamat iklan plus ahli kesehatan. 


Nah, parah dan repotnya lagi, kota kita tak punya editor atau korektor. Kalau ada mungkin editor-korektor itu sudah turut kacau. Maka jangan heran (tentu sudah pasti tidak heran lagi) kalau kota kita kacau. Ujung-ujungnya reputasi negeri kita bikin hati melulu galau. 


Tapi justru karena kacau itu segala materi dan jasa jadi serba mahal. Coba, berapa harga daging? Harga kayu? Buah-buahan dan sayur-sayuran? Belum biaya kesehatan. Sekarang ditambah pertemanan.

Waduh, Kalau sudah begini, saya jadi bingung sendiri.


"Mohon pencerahannya gan!"

1 komentar: