Sabtu, 22 Oktober 2011

Suatu Ketika Berjalan Kaki Ke Markas


Ini suatu hari yang agak berbeda di Sanur. Sabtu, 08 Oktober 2011.
Biasanya berangkat ke markas BDS (Bensley Design Studios) Bali menggunakan sepeda (markas? mungkin awam lebih senang menyebut kantor. Kalau yang ngakunya arsitek menyebut sebagai studio)  
Tapi kali ini terpaksa ke markas tanpa sepeda karena si sepeda musti turun mesin di depot perbaikan (sebagai dampak eksploitasi berlebih tanpa memeliharanya).

Dalam situasi tanpa sepeda begini maka keputusan paling logis adalah ikut numpang kendaraan teman untuk ke markas. Tapi ke markas di hari Sabtu untuk urusan rutin adalah menjemukan (ini harusnya hari bersenang-senang dengan waktu luang!). Maka keputusan logis dari masukkan variabel data beginian adalah: Jalan Kaki!
Makin lambat sampai tujuan makin baik.

Terasa sekali perbedaan perjalanan antara naik mobil, motor, sepeda, dan jalan kaki. Selain memang soal waktu tempuh dan kalori yang digunakan adalah soal bagaimana melihat sesuatu diperjalanan. Dengan berjalan kaki segala sesuatu jadi terlihat lebih akrab. Seolah dunia jadi berbeda warnanya. Dan seandainya teman-teman waktu itu ikut berjalan bersama maka mungkin juga akan melihat warna-warna berbeda itu. Dan kalaupun tidak, kiranya foto-foto ini bisa menggambarkan apa yang saya lihat selama perjalanan.

Tidak seluruh perjalanan. 
Hanya setengah terakhir saja. 
Ini Sabtu, 08 Oktober 2011.

Menuju jalan Tunjungsari dari jalan Batursari dengan penanda arah Cafe Tunjung Biru (01).


Jalan Tunjungsari bukanlah jalan yang rapi dan elit (02). 

Belum beraspal. Belum berpenerangan. Penuh gonjang-ganjing. Kadang-kadang tergenang air (03).

Para tukang dengan kesibukan harian (04).

Bangunan elit yang telah, sedang, dan akan dibangun (05).

Ekonomi rakyat. Sederhana saja tapi penuh arti (06).

 Lahan hijau tempat sapi-sapi merumput. Mungkin sapi-sapi ini harus migrasi ke lahan baru (07).

Mungkin dulu ini tempat merumput sapi-sapi sebelum sebentar lagi jadi gedung elit baru (08).

Cafe Tunjung Biru. Aneh juga membuat tempat beginian yang jauh dari hiruk pikuk keramaian. Apa memang ini tempat bagi mereka yang ingin melupakan keramaian sambil mabuk (09)?

Beberapa waktu lagi gambaran jalan begini tinggal kenangan saja (10).

Terasa betul kesan bahwa ini di Bali melalui bentuk dan material gerbangnya. Tapi apakah pagar-tembok tinggi  berujung pecahan kaca ditambah tangkai-tangkai besi menggambarkan suasana hati Bali yang merasa tidak aman saat ini (11)?

Jangan berpikir ini kaum gerilyawan yang sedang merancang bagaimana merevolusi keadaan. Bukan, ini cuma anak-anak yang senang betul bisa berteduh meski pohonnya tak begitu rindang (12).

Ini juga bukan gerilyawan. Ini si Flores yang ketinggalan rombongan  dan ingin ikut berteduh bersama teman-temannya.

Setiap melewati ruas ini seperti berada di pedalaman-pedalaman terpencil nusantara. Imajinasi yang tak terlalu tepat karena pastilah ruas ini jauh lebih beruntung (13).

Bingkai-bingkai bekas yang mungkin mengajak berpikir bagi mereka yang lewat: apa yang bisa diberdayakan. Sebagaimana sebuah tembok ganjil yang juga mengajak berpikir: Mengapa tembok ini harus memotong jalan (14).

Menjelang belokan akhir ada anak-anak yang bermain di jalan. Apa mereka telah kehilangan lahan bermain atau baru saja bereksperimen dengan materi jalanan? Entahlah (15).

Tapi kelihatannya bahagia betul anak-anak ini. Mereka seolah menyelusuri sawah sambil menyapa sapi-sapi dengan tanpa beban di hati.

Tampaknya juga berbakat akrobatik. Coba ada sirkus di sini.

Setelah belokan akhir. Entah mengapa bangunan-bangunan dekat belokan ini senang dengan pagar-pagar. Bahkan bangunan belum jadi sekalipun. Seolah Bali sudah begitu kejam terhadap mereka sehingga perlu berlindung (16).

Ibarat pesawat mau mendarat (17).

Sambutan Sabtu siang: Welcome to the jungle!

Tamat. Saatnya nge-CAD!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar