Sabtu, 01 Oktober 2011

Berpikir KomprehenSipp!



"Coba renungkan kawan, nampaknya pelajar-pelajar kita awal abad 20 jauh lebih intelektuil dibanding pelajar-pelajar masa kini"


"Maksud kau?"


"Lho, begini. Mereka-mereka yang sekolah terutama sampai sarjana, yah boleh jugalah selevel SMA, atau mungkin juga SMP gak apa-apa, kalo SD tak yakin aku, hebat betul cara berpikirnya. Terkonkretkan jelas pada aktivitas-aktivitasnya yang terekam pada lembar-lembar sejarah pancaran mental intelektuilnya."


"Bung, tetap tak jelas maksud kau."




"Begini. Kalo bicara kaum terpelajar tempo lalu masa Kolonial Hindia Belanda beretis-etis itu yang muncul di kepala kita ya semangat bikin kelompok studi, berdiskusi, menulis, juga aktif mempublikasi. Mereka-mereka itu bikin koran, buletin, dan sebagainya. Pemikirannya luas. Jangkauan visinya 100 tahun ke depan. Coba, itu yang sekolah kedokteran bisa berpikir budaya dan pendidikan. Yang teknik mahir pula bicara sosial politik. Yang ekonomi paham dunia sejarah berabad silam. Ahli hukum melek dunia sastra, tak sekedar bahasa. Padahal ruang gerak mereka sempit lho. Belum lagi akses informasi di zaman kuda dan pak pos masih berjaya."


"Mohon jangan berat-berat bung. Ini sudah cukup berat persoalan bertahan hidup sehari-hari. Cobalah lebih ringan dan bersenang-senang."


"Pelajar-pelajar dulu, apalagi yang sarjana, jumlahnya segelintir. Tapi gerak mereka mampu mengubah keadaan. Coba, segelintir itu bisa bikin bangsa baru yang sadar punya tanah, dan ini yang sering lupa, air, ya tanah-air yang satu. Kesadaran fisik, ruang hidup. Coba, mereka punya kesadaran psikis, gagasan, soal nilai strategis bahasa sebagai pemersatu. Belum lagi mereka bisa gali filsafat yang khas yang cocok untuk negeri pulau ini. Tak melulu comot mentah-mentah pemikiran Barat atau Timur. Yang ilmiah-modern bisa akur dengan Ketuhanan-Tradisionil. Coba, hal-hal begitu bisa lahir dari anak-anak pribumi yang budayanya belum memasukkan toilet dalam rancang rumahnya."


"Wah, betul kau Bung. Rumah mbahKu tak punya toilet. Pusing aku kalo mau buang air besar."


"Sekarang orang hebat memang lebih banyak. Sayang mereka tenggelam. Dikeroyok isu-isu rendahan. Kalah populer dengan dengan bintang-bintang tampang. Repotnya, generasi sekarang gemar berekspresi tapi malas membaca dan berdiskusi. Dulu hanya orang-orang cerdas intelektuil yang bicara. Yang biasa-biasa tak bicara, ya tak punya media. Sekarang yang cerdas intelektuil tetap bicara, tapi kalah heboh dengan ekspresi kaum biasa-biasa yang kelewat 'ababil' dalam mengeksploitasi media. Sialnya ini zaman yang suka heboh-heboh daripada yang isi-berisi. Lebih sial lagi zaman penuh pemihakan pada yang materi-materi daripada gagasan bermutu tinggi."


"Hmm, gagasan rumah bertoilet itu memang cerdas bermutu tinggi!"


"Pelajar-pelajar zaman sekarang gemar adu otot daripada adu otak, senang berkerumun-kerumun daripada bikin klub-klub studi, rajin menghapal-hapal jawaban daripada rumit-rumit bikin pertanyaan, akrab pijit-pijit gadget daripada baca buku itu-ini. Ini zaman bangga-banggaan dapat sarjana meski tak akrab membaca daripada apa yang bisa disumbangkan dari kesarjanaan dan dunia membaca. Duh, yang cerdas-berbakat kasihan musti hanyut ditelan hukum alam kejam begituan."


"Moga-moga punya duit biar bisa bikin toilet di rumah mbahKu."


"Ah, untung bila kau yang punya duit. Repot kalo si ababil. Bisa dia beli itu ruang kebebasan berpikir kita ini. Eh kawan, kau tak ababil kan?" 


"Setidaknya tak seababil kau."









"Eh kawan, sebelum bubar mari Kuingatkan  harapan WS Rendra dalam 'Sajak Sebatang Lisong'. Masih kontekstual:


...
kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing
diktat-diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa-desa
mencatat sendiri semua gejala 
dan menghayati persoalan yang nyata
....

Ini tampaknya yang dihayati pelajar-pelajar kita tempo Hindia Belanda dulu"


"Ah,.. memang tepat persoalan nyataku: soal toilet!"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar