Rabu, 23 Maret 2011

MENONTON DARI PINGGIR JALAN


Perkenalkan, saya pemuda dari Semarang yang merasa beruntung sekali bisa ‘sejenak’ menetap dan berkarya di Bali.  

Saya tidak punya angan muluk-muluk mengenai Bali. Tidak tahu akan seperti apa Bali. Saya dengan sepeda hanya bisa menonton dari pinggir jalan. Menonton Bali yang bergerak cepat. Menonton pertarungan-pertarungan ide dan modal. Mungkin pula dengan cara mengintip karena gegap gempita pertarungan berlangsung di balik tembok-tembok rapat berpengamanan lapis rangkap. Mungkin begitulah Bali hidup: sepi di satu sisi dan riuh di sisi sebaliknya. Dari situ saya bertanya-tanya mungkin ini harmoni Bali kini. 

Jika saya pulang ke Semarang, disuruh menceritakan arsitektur Bali, mungkin saya hanya bisa menyajikan tembok. Tembok yang membatasi jalan, menyembunyikan keunikan, menjaga tradisi, bahkan mungkin membantu menegakkan seleksi antara yang pantas dan tak pantas masuk. “Maaf, gembel dan rakyat biasa dilarang masuk”. 

Bolehkah jika saya berpendapat jika Bali kini adalah kumpulan egoisme-kapitalistik? Tempat kehidupan sudah menjadi begitu keras? Tempat di mana keramah-tamahan dan senyum menjadi dagangan? Mereka yang punya modal silakan menikmati Bali yang indah, yang pas-pasan boleh mengintip sejenak, yang tidak silakan menyingkir. Apa begitu? Entahlah. 

Saya hanya baru bisa menonton dari pinggir jalan tak bertrotoar. Menonton Bali yang kini berjalan tol agar bisa melaju lebih cepat. 

-Errik Irwan- 




(esai untuk mengikuti workshop 'Dimanakah Batas Bali?')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar