Jumat, 27 Mei 2011

Si Burung Manyar yang Ingin Mati Sebagai Guru SD


Sejarawan melacaknya sebagai tentara yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Para penikmat sastra mengenalnya sebagai novelis. Dunia arsitektur melihatnya sebagai arsitek brilian. Kalangan dan pemerhati pendidikan mengetahuinya sebagai guru dan pendidik. Orang-orang Katolik memanggilnya Romo sementara orang-orang Code, Gigrak, Gunungkidul, Kedungombo, dan Boyolali mengenangnya sebagai pembela wong cilik. Seorang negarawan yang juga budayawan. Jika Gus Dur mengakrabinya layaknya seorang sahabat, maka generasi muda (termasuk saya) dapat mengidolakannya sebagai seorang pahlawan.

Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, akrabnya Romo Mangun. Lahir Ambarawa, Jawa Tengah 6 Mei 1929,.....dsb. Mungkin profil umumnya bisa dicari sendiri (banyak yang nulis kok). Nah, tulisan ini bahas hal menarik yang membuatnya pantas diidolakan anak muda (termasuk saya).

Si Burung Manyar dan Kemanusiaan
Saat perang mempertahankan kemerdekaan, Romo Mangun ikut terlibat membela Republik ini dengan menjadi BKR dan TKR. Pertempuran Palagan Ambarawa adalah salah satu pengalamannya. Pada masa itu sempat menjadi supir Sultan HB IX sang Panglima Perang dan juga sempat di bawah Soeharto selaku komandannya di batalyon. Nah, ketika perang usai, Republik (relatif) lebih damai, maka berhentilah beliau dari ketentaraan dan melanjutkan hidup dengan ”cara” baru.

Saya ingin membayar utang kepada rakyat...”. Inilah ungkapan si Burung Manyar (Burung-Burung Manyar adalah novel roman karya Romo Mangun dengan latar awal kemerdekaan Indonesia yang cukup detail dan unik ceritanya) dalam sebuah wawancara dengan MATRA. Atas peristiwa ini, Michael Bodden (entah ahli apa yang pasti dia ahli) berkomentar: “Setelah revolusi, Mangunwijaya memutuskan untuk mengabdikan dirinya pada upaya melunasi utang angkatan perang pada rakyat Indonesia atas dukungan dan pengorbanan mereka. Namun, karena keinginan untuk menghindari korupsi moral dan spiritual, ia memutuskan untuk menjadi seorang pastor untuk melunasi utangnya sebagai seorang individu yang bebas dari kebutuhan mengejar kekuasaan dan uang.”

Selama hidupnya, Romo Mangun memang banyak terlibat dalam ruwet-renteng persoalan dalam masyarakatnya. Ia berkiprah di banyak tempat demi hidup masyarakat yang lebih baik. Tentang perjuangan Romo Mangun ini, Julius Kardinal Darmaatmaja menuliskan (yang lalu dicopy paste di sini):
Cinta dan perhatian beliau kepada kaum papa dan terhadap masalah kemanusiaan seluas kemanusiaan itu sendiri. Inilah yang menyebabkan beliau tak terkurung oleh sekat perbedaan agama, suku, dan budaya. Inilah yang membuat beliau berjuang melawan ketidakadilan bagi siapapun, inilah yang menjadi dasar dan kekuatan bagi perjuangan beliau di hampir segala bidang kehidupan.”
Kira-kira begitulah gambaran prinsip Romo Mangun yang melandasi segala pikiran dan tindakannya.

Religiositas dan Agama
Pemikiran Romo Mangun sangat mengesankan (terutama buat saya). Misalnya mengenai religiositas dan agama. Menurutnya, religiositas (kata sifat: religius) tidak identik sama dengan agama. Agama lebih merujuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada ”Dunia Atas” dalam aspek resminya, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir kitab-kitab keramat dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyrakatan (rumit?). Religiositas lebih melihat aspek yang ”di dalam lubuk hati”, riak gerakan hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain. Religiositas mengatasi, atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal, dan resmi. Yang tampak secara fisik dianggap lebih penting daripada sanubari atau inti pokok yang hendak diekspresikan.

Romo Mangun (terkadang) memang sangat kritis terhadap agama.
Dan Agama? Untuk apa agama bila selalu memihak para penguasa, menganaktirikan mereka yang lemah, mendukung kaum kapitalis dan kolonial. Banyak kemunafikkan menodai agama, dan jika itu yang disebut lembaga yang dikehendaki Tuhan, maka maaflah, selamat tinggal agama..
Bahkan sebagai warga Gereja, Romo Mangun kerap lantang menyerukan suara kemanusiaannya meski menyentil ”almamater”-nya: “Setiap rohaniwan gereja Katolik (yang notabene terkenal sebagai agama yang kaya raya dan kaya kuasa) sedikit banyak telah “terperangkap” dalam suatu sistem yang memang memberinya kesempatan dan fasilitas besar untuk memberi kepada kaum miskin, tetapi sangat menghalangi dia untuk menjadi kaum miskin.”

Fanatisme dalam agama (dan juga apapun) juga dikritik. Orang fanatik agama merasa bahwa ajaran agamanya yang terbenar dan terbaik. Menurut Romo Mangun, fanatisme itu campuran kepicikan dan ketakutan yang dilengkapi rasa minder. Seperti rasa minder kelompok ”sangat taat” agama terhadap sekularisasi yang terjadi di dunia barat (Gereja di Eropa tidak seramai di sini, minat jadi romo juga rendah sekali). Padahal (juga menurut Romo Mangun) proses sekularisasi adalah proses manusia yang berkembang menjadi semakin dewasa jalan berpikir dan cita rasanya; berdiri di atas kaki sendiri. Beragama yang didasari atas ketakutan adalah suatu penyakit,  begitu hasil olah pikir filosofis Frans Magnis Suseno dalam bukunya ”Menalar Tuhan”.

Jadi (menurut Romo Mangun lho) yang utama adalah ketulusan, bukan ritual agama.
Kesederhanaan kita adalah cerminan penghayatan keagamaan kita.

Perjuangan Lewat Pendidikan
Romo Mangun juga terkenal perhatian terhadap pendidikan yang memang menjadi fondasi dasar untuk kehidupan yang lebih baik, istilahnya adalah pendidikan yang memerdekakan. Kiprah nyatanya terutama di pendidikan dasar.
Pendidikan Dasar itu tidak ada yang mengurusi. Kalau Pendidikan Tinggi itu sudah banyak yang mengurusi. Pendidikan Tinggi kan mulainya dari Pendidikan Dasar dulu bukan?
Saking cintanya pada pendidikan dasar, pernah Romo Mangun berujar, ”jika saya mati, biarkan saya mati sebagai guru SD

Melalui pendidikan dasar, Romo Mangun membentuk paradigma generasi mendatang, menanamkan nilai-nilai dengan gaya unik sesuai pemikirannya. Misalnya di sekolah Mangunan, sekolah rintisan Romo Mangun, doa pembuka pelajarannya bukannya doa Bapa Kami, Salam Maria, atau doa dogmatis lainnya. Anak-anak justru mendoakan sebait syair lagu: ”Aku Mengasihi Tuhan, Dia Sumber kekuatan, Hidupku kan menjadi aman, dalam lindungan-Nya.”
Romo Mangun ingin menumbuhkan pendidikan yang tidak takut pada Tuhan. Pendidikan juga tidak boleh menakutkan dan berusaha melihat anak (siswa) dengan segala keunikkan kelebihan dan kekurangannya sebagai pendekatannya (manusia itu tidak ada yang sama dan karena itu unik). Kenakalan bahkan dilihat sebagai suatu potensi positif. Anak nakal dalam kamus Romo Mangun artinya anak (yang) kebak akal. Itu artinya bibit potensial kreativitas (kreativitas penting lho di zaman yang kian kompetitif ini).

Dan Akhirnya...
Ketika itu 10 Februari 1999, setelah panjang lebar menguraikan gagasannya selaku penceramah dalam sebuah seminar di Hotel Le Meridian, Jakarta, tiba-tiba saja Romo Mangun terkena serangan jantung. Seorang rohaniwan yang filsuf, budayawan pembela wong cilik, memancarkan idealisme lewat lekak-lekuk rupa bangunan dan rangkaian kata-kata nan sastra, yang pernah berjuang sebagai tentara namun ingin mati sebagai guru SD akhirnya pergi untuk selamanya meninggalkan kenangan di benak ribuan orang. Termasuk kenangan unik ketika beliau marah kepada pembantunya yang disuruh membuat lem kanji namun kebanyakkan sehingga disuruh memakannya hingga habis, atau ketika marah dan menyuruh menyambung kembali dahan-dahan pohon yang dipotong, atau notulennya yang kesal karena catatannya selalu dianggap salah oleh Romo Mangun (namanya juga manusia). Seandainya saja masih hidup. 
Apa komentarnya tentang dunia kini.. Khususnya Indonesia..

(Saya jadi ingat komentar cerdas teman saya, calon romo kelihatannya dia, bahwa ”Eropa itu religiositas dan Indonesia itu agama”. Artiin sendiri!)

-------
--------
----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar