Senin, 18 Februari 2013

Catatan (Lain) dari Diskusi 'MENGANGKAT NILAI KOTA LAMA MELALUI SKETSA'


Pemandangan yang saya lihat sore ini tak biasa: orang buang air besar di selokan tepi jalan besar, rombongan pemulung berkarung besar, gelandangan-gelandangan tua, orang mengencingi tembok, gubuk kumuh, jalan becek, sampah-sampah, dinding kuno-eksotis-lebih karena tak terawat, lalu anak-anak muda sibuk jepret sana-jepret sini tapi tetap fokus jepretnya ya si anak-anak muda ini (inflasi kamera bikin siapa saja jadi fotografer dan model dalam sekejap) dsb-dsb.

Bukan Main!


Itu pemandangan sekitar Kota Lama Semarang. Dekat rel kereta api jelang Stasiun Tawang. Kebetulan adik saya bawa motor lewati rute yang saya tak akrabi, semacam rute 'jalan belakang' atau 'balik karpet' tempat kotoran-kotoran disembunyikan dari mata tamu-tamu penuh sopan (saya yakin pak presiden republik, presiden partai, presiden dagang, presiden kota, dsb, tak bakal ditunjukkan hal-hal beginian. Kecuali presiden pengemis dan pecundang atau presiden merakyat yang penuh spontan suka blusukan).

Hal-hal tak asyik nan bikin tak nyaman di atas yang penuhi kepala saya selama acara diskusi MENGANGKAT NILAI KOTA LAMA MELALUI SKETSA. Berbeda memang dengan Galeri Seni Kontemporer Semarang di dekat taman Sri Gunting ini yang tipikal serba bersih, putih, polos, berbidang dinding luas. Karya-karya sketsa yang dipamerkan pun cenderung berindah-indah, main sisi arsitektur dengan garis yang rapih, suasana yang seolah tak ada masalah, bebas unsur-unsur bikin tak nyaman di atas. Dengan bidang galeri putih-polos-luas, karya-karya yang mungil, lebih besar (dan tampak mahal) bingkainya daripada karya di dalamnya itu jadi tampak mencolok. Ada 91 karya terseleksi-terpamerkan yang dikirimkan arsitek dan seniman meskipun tak semua karya itu masuk kategori sketsa.

Diskusi Minggu, 17 Februari 2013 ini dihadiri kaum-kaum yang tampaknya terpelajar, kelas menengah baik itu muda dan tua. Tak semuanya bagian dari komunitas ArsiSketur dan OrArt-Oret, dua komunitas yang berkolaborasi hingga pameran ini bisa terwujud. Tapi kesimpulan utama saya mereka semua tinggal di luar Kota Lama (sekilas saya cek buku tamu dan ramainya kendaraan).

Saat bapak-bapak narasumber menyajikan pemikiran-pemikirannya (satu 'profesor' seni rupa: Aryo Sunaryo, yang satunya lagi profesor arsitektur: Totok Roesmanto, dimoderatori dosen arsitektur) pikiran nakal saya membayangkan bahwa pameran, juga rangkaian diskusinya seputar tema pameran, diramaikan orang-orang yang selama ini menghuni dan menggantungkan hidup dari Kota Lama. Lengkap dengan atribut 'kumuh'-nya. Mereka jelas banyak tahu, banyak kisah keseharian. Dan mereka jelas berhak menikmati 'habitat' mereka dari sisi lain: sisi seni yang biasa dinikmati kaum mapan. Bukan lagi-lagi kalangan yang itu-itu saja yang sebetulnya juga sudah bosan dengan materi-materi beginian (sketsa, arsitektur, bentuk-bentuk seni, wacana Kota Lama, ini makanan rutin kaum arsitek, seni, penikmat kota, sejarawan).

Pembahasan tadi, juga pertanyaan-pertanyaan dari peserta, lebih banyak menyorot soal 'apa itu sketsa', 'yang mana yang masuk sketsa', 'apa nilai-nilai sketsa', 'peran sketsa buat Kota Lama'. Pembahasannya cenderung membosankan, gaya akademis yang datar, hingga orang-orang lebih asyik foto-foto atau utak-utik smartphone-nya (saya bayangkan orang-orang ini ramai-ramai update status dan cek status orang-orang buat bahan obrol-gosip orang-orang sebelahnya). 

Si profesor arsitektur (yang materi presentasinya senantiasa tak diketik tapi tulis tangan yang rapih dan tak pernah pake proyektoratau alat-alat canggih) bagus juga menyerempetkan pembahasan pada soal yang berkelanjutan dan konkret yaitu: 'bagaimana kegiatan yang berkelanjutan bisa menghidupkan Kota Lama'. Si profesor uraikan macam-macam kegiatan yang mungkin: bersketsa bersama lalu langsung pameran di tempat, bikin buletin sketsa yang dicetak dan diterbitkan rutin, lalu bikin acara-acara sketsa yang sampai undang orang luar Pulau Jawa. 

Setuju! 

Tapi rasa-rasanya si profesor ini kasih 'macam-macam' yang sebetulnya masih satu 'macam': sketsa. Misal pada soal buletin yang rutin-bulanan kok isinya hanya soal sketsa. Ini monoton dan jadi ekslusif buletinnya. Padahal banyak pihak, komunitas, dan macam-macam kegiatan yang menghidupi dan dihidupi Kota Lama seperti fotografi, penggemar barang antik, pecinta sejarah, sastra, musik, kaum dagang, wisatawan, tunawisma, dsb. Pikir-pikir lebih baik jika buletin jadi alat yang menyatukan (minimal mendekatkan) karena komunitas-komunitas inilah yang mengelola bersama-sama. Isinya akan lebih kaya. Lebih luas juga distribusinya. Dan ini akan selalu bikin ada alasan buat berkomunikasi: bagaimana isi buletin kita selanjutnya (bukan ini isi buletin kami).

Selesai acara.

Seperti yang selalu saya duga, bahwa diskusi sesungguhnya terjadi setelah acara (diskusi) formal selesai. Peserta yang sebelumnya duduk macam barisan satu arah ke narasumber kini berdiri sama rata bentuk lingkaran kecil-kecil. Narasumber tadi pun membaur. Serba spontan, alami, tanpa disuruh-suruh. Orang-orang tak lagi sibuk masing-masing dengan smartphone-nya tapi saling bertatapan, berkenalan, dan bercakap-cakap. Tanpa moderator, cair, dan mengalir lepas. Kata teman, inilah yang namanya 'after party'. Pada kesempatan inilah saya berbincang dengan Gilang, adik kelas yang bakal kerja di Bali yang pikirannya disibukkan rencana ke sana. Juga bertegur sapa dengan Han Pappilon, komikus Semarang yang ternyata masih ingat pernah bertemu saya di SMA 3 Semarang saat dia kasih workshop komik. Lalu dengan pak Koesmartadi, dosen arsitektur yang giat dorong mahasiswa belajar di luar kampus, dan dosen pembimbing tugas akhir saya, Pak Tarigan (si moderator tadi). 

Ketika melangkah keluar pintu  saya dan adik saya berpapasan dengan pak Chris Darmawan, empunya Galeri, dan malah obrol seputar pendidikan arsitektur negeri ini yang memprihatinkan. Mulai dari soal kemampuan presentasi kebanyakan mahasiswa yang payah, gagasan pemikiran yang 'dangkal' untuk mahasiswa akhir, profesi arsitektur yang seperti tak dihargai masyarakat maupun praktisinya sendiri, kalangan teknik sipil negeri ini yang masih amat berjarak dengan rasa estetika dalam karyanya, hingga soal ekslusifnya kaum arsitek dan seniman yang sepertinya mau jalan sendiri-sendiri. Terkait soal terakhir, Pak Chris tunjukkan foto-foto maket proyek villa-villanya di Bandung yang mengkolaborasikan beberapa seniman dan arsitek Indonesia (dari kalangan senior Arsitek Muda Indonesia yang berciri arsitektur rapi-bersih). Menurut saya tak ada yang baru dari arsitektur proyek itu (arsitek Eko Prawoto bahkan lebih sering berkolaborasi dengan seniman-seniman Jogja hingga tercipta karya arsitektural yang 'bisa bicara macam-macam', atau stadion 'Sarang Burung' Beijing yang kolaborasi seniman eksentrik RRC, Ai Weiwei, dengan kelompok arsitek Eropa). Tak ada yang baru sebetulnya tapi masyarakat rasa-rasanya (karena strategi marketing yang bakal dirancang pak Chris) bakal berpikir ini baru. Bagaimanapun, sekali lagi, patut diapresiasi segala upaya bikin kolaborasi.

Tak terasa obrolan berlangsung lama sampai semua orang sudah pulang (kecuali dua pengunjung yang baru datang dan terpaksa galeri dibuka lagi pukul 20.20 WIB).

Perjalanan pulang banyak pikiran soal-soal tadi.

Ya, pikir-pikir harusnya yang dibikin di Kota Lama ini adalah sesuatu yang lebih cair, terbuka, lintas minat-disiplin ilmu. Bisa apa aja. Kegiatannya d luar ruang. Pameran juga di luar ruang. Diskusinya pun begitu. Orang-orang lalu lalang akhirnya singgah karena penasaran. Warga sekitar yang dapat ilmu dan pengetahuan gratis tanpa mereka merasa minder jika itu ada di ruang yang terkesan ekslusif (karena mewah dsb). 

Ya, pikir-pikir ini bukan ide baru. Tinggal soal bagaimana (teknis) melaksanakannya. Dan rasa-rasanya kawan-kawan OASE sudah memulainya. Itu salah satunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar