Selasa, 08 Juni 2010

Komentar Terhadap Semarang Pesona Asia (2007).

Teman saya, si Benny (informan andalan saya untuk wilayah Jogja & sekitarnya), beberapa hari kemaren (awal Juni, lupa tepatnya) mengirimkan sebuah link situs dunia maya komunitas Loenpia Semarang ke wall fesbukk saya. Katanya ada obrolan ngalor ngidul menarik, seru, tentang Kota Semarang khususnya terkait event 'Semarang Pesona Asia'. Meski udah kadaluarsa 3 taon, tapi tak apa-apa dikonsumsi karena isi 'gizi'-nya masih bisa buat menggelitik pencernaan pikiran, katanya (tentu ngomongnya tak seaneh demikian tadi). Saya buka besok-besoknya (akibat sibuk!). Dan ternyata memang seru cenderung 'hot' dan nampaknya banyak pula yang ikut mengkonsumsi berujung  nyebur karena tergelitik geli. Wah,.. saya pun jadi ingin ikutan nyebur meski 'makanannya' udah kadaluarsa 3 taon (coba deh ikut mengonsumsinya, http://loenpia.net/blog/berita/semarang-pesona-asia-vs-loenpia.html)

Begini gerundelan saya...

Sekarang sudah bulan Juni 2010,.. Dan apa yg diimpi-impikan warga kota Semarang terhadap kotanya melalui ‘event’ Semarang Pesona Asia tidak terwujud (bahkan perubahan ke arah yg lebih baik terhadap kota & kehidupannya tak terasa nyata di denyut jantung nafas sehari-hari warganya). Harus diakui konsep Semarang Pesona Asia telah gagal (kalo sebagai ‘proyek’ mungkin berhasil) dan mungkin juga program BRT (busway) Semarang.

Semarang memang butuh peran warga yang kecil2 seperti membersihkan lingkungannya, tidak membuang sampah sembarang, menjaga ketertiban dalam kehidupan kota, dsb. Tapi lebih dari itu saya membayangkan ada suatu strategi budaya,.. Suatu aksi membangun roh warga kotanya (bukan hanya pembangunan & pemeliharaan secara fisik sebagaimana pendekatan umum dilakukan). Maksudnya,.. Mengapa tidak ada usaha2 pemberdayaan komunitas,.. pemberdayaan warga2 kampung,.. warga2 bantaran kali. Pemberdayaan secara ekonomi (tentu saja) dan terpenting lagi pemberdayaan secara mental & budaya, tentu dengan cara masing2 (sesuai karakter potensi masing2). Berkesenian kadangkala dipandang sebagai bagian dari ekonomi sehingga muncul perhitungan untung rugi yg serba terukur. Berkesenian juga kadangkala dianggap milik sebagian kalangan elit saja,.. Atau perhelatannya musti membutuhkan perencanaan yang amat matang karena musti besar (kelihatannya itu tampak dari event Semarang Pesona Asia). Dan seperti sudah ada keterlanjuran bahwa Seni & bUdaya musti bermain erat dengan pariwisata sehingga seolah Seni & Budaya memang ada karena untuk tujuan pariwisata, bukan bagian dari pembangunan mental karakter manusia (Departemen Kebudayaan & Pariwisata kelihatannya semakin menegaskan itu).

Saya berpikiran Kota Semarang sebijaknya belajar dari Kota Bandung dan Jogjakarta. Kedua Kota tersebut memiliki peran warga yang kuat dan harus diakui menyumbang besar dalam ‘menggairahkan’ kehidupan kota menuju arah yg lebih baik. Komunitas2 anak muda, komunitas2 seni, dan juga warga2 kampung bergerak dengan caranya sendiri, membawa karakter khas,.. yang lalu bertemu dan berinteraksi dalam ruang publik kota dalam wadah2 event (entah skala kampung, kota, propinsi, nasional, ato boleh juga internasional). Tapi poinnya adalah partisipasi, keterlibatan warga dalam pengekspresian diri, sampai dalam sel mikro terkecil lapisan kota (SPA justru terlihat menggusur-gusur sel2 mikro tersebut, bayangan yg tak sempat terjadi pada kasus Pemukiman Kali Code Yogyakarta yg nyaris tergusur atas nama penghijauan & pengindahan kota).

Saya membayangkan komunitas2 dalam masyarakat (apalagi kaum muda yg lagi penuh2nya energi) bergerak memberdayakan diri, menghidupkan (dan menghidupi) kearifan2 lokal (sebagaimana saya lihat di masyarakat Jogja atau Banjar2 di Bali yg rutin mengadakan perhelatan seni & budaya di tingkat kampungnya atau anak2 muda Bandung bermain2 dengan inovasi-kreativitas khas anak muda seperti dalam kaos & musik misalnya). Saya membayangkan aktivitas2 sederhana ala warga yang kemudian mendorong tumbuhnya peradaban di tingkat terkecil yang pada akhirnya memunculkan kesadaran murni warga untuk (misalnya) membersihkan lingkungannya, tidak membuang sampah sembarang, menjaga ketertiban dalam kehidupan kota, dsb (sehingga tak perlulah program2 pemerintah yg menyedot dana besar untuk perbaikan2).

Memang susah, saya sendiri hanya bisa mendorong teman2 yg masih di kampus (hanya sesekali bisa terlibat langsung ketika ke Semarang), untuk membentuk komunitas (kebetulan kebanyakan dari arsitektur), untuk sering bergerak langsung ke lapangan, menghayati kehidupan kotanya, permasalahannya, potensinya, (karena kecenderungan ‘apatis ria – serba cuek’ kaum muda saat ini) agar kemudian mereka bisa satu ‘mimpi’ untuk (dengan latar disiplin ilmu & keintelektualannya ditambah lagi energi muda yang membara) menghasilkan ‘karya’ kreatif (entah apapun bentuknya atau caranya, entah tulisan, entah film, entah pameran, entah proposal desain perbaikan lingkungan, entah pendampingan ketrampilan berbasis lingkungan buat warga, dsb). Memang masihlah terbatas, masih tahap awal sekali, tapi saya yakin dari teman2 muda tersebut suatu saat muncul aksi inpiratif yang menggugah warga untuk turut terlibat aktif. Dan perhelatan kota akan mempertemukan & menginteraksikan berbagai ‘keunikan’ sel2 mikro lapisan kota, saling memberdayakan, hingga suatu saat kota Semarang benar2 tumbuh ‘jiwa dan raga’-nya (bukan raganya doank, jiwanya masih ketinggalan entah di mana). Mungkin saja itulah pesonanya.

(mari bergerilya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar