Jumat, 12 November 2010

Operasi Teras Atas Garasi (10)

"Novel" pengamatan tim lapangan pekan ketiga. Jika tulisan ini terlampau panjang dan berkesan bertele-tele silakan lihat gambarnya saja. 


Sengaja ditampilkan apa adanya (saya tidak mengedit lagi, biarkan jadi bagian khas tim dalam menyampaikan) dari blog sumber http://ajmariendo.blogspot.com/2010/11/operasi-teras-atas-garasi-episode-vii.html. 


Untuk mengetahui secara utuh awal operasi ini silakan pilih gerundelan tentang--> Operasi Sumurboto
-------------------------------------------------------------------------------------------------



Duka Nestapa Ayik
“Bos, maaf banget nih, kalau hari ini sepertinya aku baru bisa hadir menjelang tengah hari. Aku harus mengawasi rumahku dulu dan memang tidak bisa ditinggal begitu saja. Lagian, kemarin aku juga baru saja jatuh dari motor, kepeleset pasir-pasir nakal nan centil, seolah-olah mereka hendak menggerayangi motorku”, tutur Tam-tam lirih pelan. “Wahnyantai aja kali, Bos. Lagian, hari ini tidak banyak perubahan maupun hal-hal yang fatal. Semuanya dapat dijalani dengan lancar. Tunggu sebentar, tadi kamu barusan bilang kalau kamu semalam jatuh dari motor? Kok bisa ya? Padahal kamu kan bawa motor pastinya dengan hati-hati kan? Kegarangan pasir-pasir nan nakal tersebut memang tak berkompromi lagi. Terkadang, kita yang selalu mengendarai kendaraan kita dengan lebih hati-hati pun, sering mengalami hal yang hampir serupa seperti itu”, timpal Odot sedikit kaget dan was-was. “Oh iya, seperti itu lah, Bos. Oh ya, jadi hari ini aku minta kebijaksanaanmu karena aku benar-benar harus istirahat di rumah sembari mengawasi rumahku. Trims ya, Bos. Kalau ada apa-apa, tinggal bilang aku aja ya, Bos!”, timpal Tam-tam sembari mengakhiri perbincangan via ponsel tersebut. Entah apa yang tengah dirasakan Odot kala itu. Satu hal yang pasti bahwa kejadian buruk yang menimpa Tam-tam bukanlah satu-satunya kendala di sepanjang proyek unik tersebut, namun tidak terlepas pula keluh serta kesah yang kerap dituturkan oleh Ayik dengan penuh duka dan lirih.

Kisah diawali pada dua hari sebelum kejadian buruk yang menimpa Tam-tam malang tersebut. Tam-tam serta Odot tampak menikmati hari yang begitu luar biasa kala itu. Kendati awan-awan kelam nan nakal mulai beriak mengekang sang mentari, namun alam mampu membendung mereka dengan begitu gesitnya. Ayik, si gadis kecil yang kerap meramaikan suasana proyek, tak kunjung menampakkan batang hidungnya, tanpa kabar seolah-olah lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan sukma. Tak seperti biasanya, gadis yang berparas sedikit melebar akibat tak kuasa mengendalikan hasrat kuliner yang begitu menggebu tersebut tak memberikan pernyataan sedikit pun, baik pesan singkat maupun telepon via ponsel. “Ayo, Yik. Angkat dong teleponnya. Dari tadi aku telepon ndakdiangkat-angkat ya?”, gumam Odot kesal. Seketika, Tam-tam segera menimpali Odot karena ternyata ia pun mendengar gumaman Odot, ”Wah, kok begitu ya? Ndak ngasih kabar blas!”, timpalnya sembari sedikit kesal. “Akan tetapi, Bos, aku kok berfirasat bahwa Ayik pun akan segera hengkang dari proyek ini, menyusul Giden dan Bosky”, timpal Tam-tam pasti kendati menerka-nerka. “Aku setuju, aku pun berfikir demikian. Namun, kita lihat saja apa yang akan terjadi kelak”,  timpal Odot datar mengingat kejadian tersebut merupakan kali ketiganya dalam proyek sederhana tersebut. Selang beberapa menit seusai kegundahan kedua pemuda tersebut, muncullah sosok gadis bercirikan seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya. Sosok mungil tersebut segera mendekati kedua pemuda yang tengah gundah tadi sembari tersengal-sengal pasrah. Tidak seperti biasanya yang selalu melewati dapur kerajaan, kali ini ia memberanikan diri menerobos melewati proyek, sehingga tak bersua dengan Bu En-en maupun Mbak Mumun. Tampak kedukaan, kepasrahan, serta hilangnya harapan hidup menghiasi raut muka bulat bola pejal tersebut. Ia pun segera mendekati Tam-tam dan Odot dengan lirihnya, ”Koh, Mas, aku bingung...bingung banget.”, tampak kedukaan seketika berlumuran pada rautnya. “Ada apa gerangan?”, tanya Odot seolah-olah penasaran. “Aku cuma bingung sama peranku aja. Aku kok merasa bahwa selama hampir dua pekan ini, aku tidak banyak membantu apa-apa. Aku merasa bingung, kedudukanku disini hanya sebagai pajangan proyek saja. Aku kok merasa ndak bisa terlalu mengikuti kemana kah alur proyek ini hendak berlabuh. Coba deh, selama ini, kalian juga pasti bingung kan apa saja kinerja yang telah aku lakukan. Rasanya hampir ndak ada.”, timpal gadis itu dengan penuh duka nestapa. “Oke, begini lho, Yik”, timpal Odot hendak menanggapi tuturan gadis tersebut. “Bentar...aku belum selesai, Koh”, tangkasnya lirih. “Oke lah, kalian kan sudah sejak awal menggeluti proyek ini. Lha, aku? Aku aja baru masuk menjelang pekan kedua. Aku sebenernya ngerti kok tentang proyek ini, namun aku bingung dari sudut manakah yang hendak kutempuh. Aku sanggup kok, sekali mendayuh, dua tiga pulau terlampaui. Namun, aku tak menemukan hakekat dan jiwa dari proyek ini. Aku bak sukma tak berjiwa. Aku yakin kalian pun bisa merasakan kepedihan yang sedang kurasakan”, tegasnya. Tampak Odot dan Tam-tam saling pandang, membisu kelam satu sama lain, seolah-olah mereka bercakap-cakap dalam kalbu. Ternyata benarlah prediksi dari kedua pemuda tersebut. Ayik, sesosok mungil melebar yang berkepribadian ceria, kini harus membungkam tabiat aslinya dengan keterpaksaan. “Kalau menurutku sih, kamu tetap bisa terus menggeluti proyek ini hingga usai, Yik. Sebenarnya, semua ini tergantung dari dirimu sendiri. Hanya engkaulah yang sanggup mengerti kepiawaianmu dalam menangani proyek ini. Kita sama-sama dewasa, jadi kita pun tentu tahu pasti bagaimana menyikapi suatu aktivitas termasuk permasalahan yang ada di dalamnya, kan?”, timpal Tam-tam bagaikan kakak yang sangat menyayangi adiknya. “Iya, kalau menurutku, kamu itu bisa kok tetap bertahan dalam proyek ini. Harusnya kamu yang lebih berinisiatif. Kamu sebaiknya menanyakan apa pun tentang proyek ini. Kamu pun tahu kan bila kita berdua sedang sibuk menangani satu bagian, sebaiknya kamu segera menangani bagian yang lainnya, oke? Sudah, sekarang begini saja, saya akan memberikan pekerjaan yang lain buatmu. Apakah kamu sanggup menyelesaikan tulisanmu ketika dulu kita berkunjung ke Solo bersama Amar? Ah iya, satu lagi, tulisan tentang Rumah Pak Arif pun sebaiknya segera kamu buat, bukannya kamu yang sudah menyanggupi untuk menyelesaikan itu? Lebih dari itu, kamu pun bisa membantuku mengolah blog CS8?” tutur Odot serasa hendak menikam mentari lusuh. “Lha, itu kan tidak berhubungan langsung dengan proyek ini, kan?”, timpal Ayik menyangkal diri. “Benar sekali, memang tidak secara langsung. Akan tetapi, kesemuanya itu termasuk dalam agenda CS8, ingat?”, timpal Odot pasti. “Akan tetapi, Mas, Koh, tekadku sudah bulat hendak hengkang dari proyek ini selamanya. Aku hendak melenyapkan sukmaku selamanya dari proyek ini”, timpal Ayik penuh kedukaan. “Ah, bilang saja setiap engkau berada disini, engkau sebenarnya pun kecewa kendati Yoyok jarang bersua dengan engkau, kan? Ayik mah biasa seperti itu”, tangkas Odot sembari bercanda kecil. “Kendati bagaimana pun, kita berdua pun tak berhak memaksakan kehendakmu. Maka, semuanya terserah padamu, Yik”, timpal Tam-tam menengahi. “Baiklah bila memang begitu, berarti mulai pekan terakhir kelak, aku tak kan menampakkan sukmaku lagi di kerajaan ini, okeDeal ya?”, tuturnya sembari mengakhiri perbincangan penuh gejolak tersebut. Tak terasa sudah lebih dari satu jam mereka bertiga berbincang-bincang hangat, tanpa mempedulikan curhatan alam semesta kemudian. 

Mentari Agung
Tengah hari telah tiba mendadak, seolah-olah kehadirannya tak terpikirkan oleh ketiga insan muda. Cuaca yang kian ekstrim, tangisan dewata maupun kecongkakan mentari tak dapat terprediksi secara pasti. Pergelutan yang tengah dimenangkan telak oleh sang mentari memberikan nuansa kecil baru yang terbilang ambisus. Pasalnya, efek ruang teras yang tengah dalam proses penyelesaian tersebut memberikan ruang bagi sang mentari. Plafon yang terbuat dari kerai tersebut seolah tak mampu membendung kecongkakan mentari. Efek bayangan yang ditimbulkan sungguh cantik karena bidang lantai beserta dinding seolah-olah tercabik-cabik nakal oleh sang mentari. Secara visual mungkin ini merupakan sebuah anugerah. Namun, semuanya tak berlaku bagi insan-insan yang tengah beraktivitas disana. 






 Efek Pencahayaan Alami Di Tengah Hari Terik

Odot, Tam-tam, dan Ayik yang terlihat tak terlalu nyaman berada disana pun tak kuasa menghengkang akibat keganasan sang mentari. Lantas, apakah fenomena ini dapat tergolong sebuah anugerah atau sebuah malapetaka? Kesemuanya pun tergantung dari pemikiran subjektif masing-masing insan mulia. Para panglima pun akhirnya mengerti kehendak pangeran, Eiw. Ternyata permainan bayangan menjadi amat penting guna menciptakan ‘rasa’ alami ruangan. Dengan kata lain, pencahayaan buatan yang kebetulan menggunakan lampu jenis TL hanya akan dibutuhkan ketika petang. Proses pemasangan instalasi pencahayaan ruang teras tersebut terbilang cukup sederhana karena hanya dikerjakan oleh seorang pekerja saja. Lebih dari itu, tempo pengerjaan pun hanya berlangsung selama kurang dari dua jam saja.

Walaupun sistem pencahayaan dengan cahaya putih berkilau dirasa kurang cocok digunakan pada ruangan tersebut, namun kebutuhan ruang secara fungsional setidaknya dapat berlangsung untuk jangka waktu sementara. Sebenarnya, proses pencahayaan buatan pun tengah dipikirkan secara matang oleh Odot dan Tam-tam yang tentunya dibantu oleh Toto, yaitu mulai dari pengaturan efek pencahayaan hingga jenis lampu yang akan digunakan. Namun, kurangnya tempo pengerjaan ditambah titah Kanjeng Ratu membuat semuanya harus terhenti sementara.

Firasat Sang Ratu
Ketiga insan muda tersebut segera menghampiri Pak Imron. Tam-tam segera berinisiatif hendak menyapanya, “Pak, kira-kira kapankah sisa papan kayu beserta finishing plitur akan terlaksana? Kok, sampai sekarang pun semua yang dibutuhkan tak kunjung tiba?”, tutur Tam-tam. “Iya, Mas. Semuanya tergantung dari Kanjeng Ratu En-en. Hal ini dikarenakan sebagian dari material-material tersebut belum dibayar lunas, sehingga sisa-sisa material pun tak dapat diantar ke sini”, timpal lelaki tua tersebut dengan penuh lirih. “Lantas, bagaimana nasib keramik-keramik yang hendak dipasangkan pada toilet kelak? Wah, berarti semuanya bakal terkatung-katung nih, Pak?”, timpal Tam-tam penuh kekecewaan. “Betul, Mas. Selagi Kanjeng Ratu tak kunjung melunasi semua beban biaya material-material, kita tak kan bisa berbuat apa-apa. Sebaiknya, Mas-mas dan Mbak segera menghadap beliau langsung guna membahas semuanya. Kami pun tak berhak memutuskan sesuatu. Kami hanya melaksanakan perintah!”, tegas Pak Imron sopan.





Desain Estetika Kolom Struktur
 Desain Pencahayaan Buatan Yang Belum Terlaksana



Desain-Desain Pamungkas Yang Tak Semuanya Terlaksana (WC dan Bangku II)

“Lantas, Pak, bagaimanakah dengan kamar mandi beserta sistem pemipaan kelak? Terus terang saja, kami baru saja mendesain semuanya, termasuk material-material yang hendak kami diskusikan pada Bapak. Bila kondisi seperti ini, rasanya semuanya sirna sekejap. Akan tetapi, kami akan berusaha meyakinkan Ibunda Eiw guna menuntaskan proyek ini, Pak. Lantas, pekan terakhir telah usai, Pak. Bagaimana dengan nasib plitur, kamar mandi, penyelesaian pemipaan, serta penambalan bagian tepi yang bocor?”, tutur Odot. “Iya, Mas. Untuk minggu depan, saya akan meninggalkan tiga orang pekerja di sini, sementara saya beserta empat pekerja lain hendak melanglang buana guna memenuhi panggilan dari negeri lain”, timpal Pak Imron dengan penuh welas asih. Hal ini berarti proyek akan diperpanjang hingga sepekan kedepan. Berarti, total waktu yang dibutuhkan sudah mencapai penambahan genap seratus persen, sebulan penuh. Benarkah? Tidak, total proyek ini pada akhirnya hanya berlangsung selama dua puluh hari kerja persis. Dengan kata lain, kala itu merupakan hari kedua terakhir para panglima bersua dengan Pak Imron. Tiba-tiba dari kejauhan, terdengar sosok wanita paruh baya merayap mendekat penuh hati-hati, yang tak lain adalah Sang Kanjeng Ratu, Ibunda Eiw. “Mas, Mas...”, tuturnya sedikit terbata-bata sembari menggerakkan tangan-tangan anggunnya ke arah Odot. “Oh, iya, Tante, ada apa?”, tegas Odot. “Saya mau minta tolong, nanti jangan lupa bagian ini segera ditutupi dengan kayu, soalnya sekarang banyak sekali maling. Itu lho, teman saya juga malah mengerikan banget lho. Sampai masuk kerumah, dijarah, sampai dibacok segala kepala pemilik rumah. Wah, pokoknya nanti jangan lupa segera ditutupi ya. Bahaya, nih bila pencuri sampai memanjat masuk ke dalam rumah lewat atap”, timpalnya terbata-bata penuh kegundahan. “Oh, begitu ya, Tante?”, timpal Odot datar tanpa ekspresi. Seketika itu pula, gelak tawa kecil nan nakal segera terucap dari para pekerja, membuat Odot pun tak kuasa menahan gejolak tawa yang tengah dipendamnya sendirian.

Belumlah suasana kembali mereda, seketika Kanjeng Ratu pun segera menimpal, “Oh iya, satu lagi, Mas. Bagian pintu nanti segera dibuat lebih tinggi ya, supaya anak-anak kos tak masuk ke dalam ruangan ini bila teman-teman putraku tercinta datang kemari. Biar semuanya berlangsung aman tentunya”, timpalnya penuh kegundahan. “Iya, Tante”, timpal Odot tanpa menyela. Aneh bukan kepalang mendengar kegundahan sang ratu tersebut, semua para pekerja pun kembali tertawa terpingkal-pingkal. Namun, semua biaya pengerjaan tentunya pun berasal dari beliau sehingga para jenderal pun tak pelak menerima keputusan beliau dengan sedikit kekecewaan.

Tergantungnya Simalakama
Hari itu seakan-akan tak banyak arti, mengingat pengerjaan yang dilakukan para pekerja pun beralih fokus pada titah Kanjeng Ratu. Apa daya tangan tak sampai, semuanya terasa menjemukan para panglima, ditambah kepergian Ayik. Ayik merupakan pengawas ketiga yang mendadak lenyap setelah Gideon dan Bosky. Odot dan Tam-tam berusaha sekuat tenaga mempertahankan detik-detik terakhir mereka, mengingat beberapa penyelesaian belum ditangani secara maksimal.

Merasa belum puas bertitah, Kanjeng Ratu pun melanjutkan tuturan menusuknya. Namun, kali ini, perbincangan tengah berlangsung di dekat singgasananya. “Mas, hari ini para tukang bekerja untuk yang terakhir kalinya”, tutur beliau penuh kemenangan. “Oh ya? Bukannya Pak Imron sudah bilang bahwa tiga pekerja akan tetap dikerahkan guna menyelesaikan proyek ini, Tante?”, timpal Odot penuh rasa ingin tahu. “Iya, Cuma, saya ndak mau seperti itu. Saya pikir bahwa Pak Imron tetap menyelesaikan proyek ini, eh, malah ditinggal pergi. Palingan Bapaknya takut proyek ini akan diambil orang lain kali, ya”, tutur beliau seraya menghardik Pak Imron.”Oh, begitu ya, Tante?”, tutur Odot sembari melirih. “Iya, Mas. Lagian, dananya sudah nggak ada, tuh”, timpal Kanjeng Ratu penuh kemenangan. “Oke, Tante, berarti mulai besok, kami sudah tak bersinggah kemari. Kami hanya hendak memastikan saja. Terima kasih ya, Tante sudah mau menginformasikan hal tersebut”, timpal Odot lirih dan pasrah. Entah kesalahan apakah yang telah dilakukan oleh kedua pemuda malang tersebut sehingga Sang Ratu pun tampak sedikit tak menyukai mereka, pada akhirnya. Ya, mungkin semua ini disebabkan oleh membengkaknya waktu pengerjaan proyek yang tak kunjung usai. 
Proses Pembersihan Lokasi
Proses Pengankutan 'Sampah' Proyek
Desain Akhir Kolom Struktur







'Kegantungan' Di Tengah Jalan

Singkat cerita, Odot dan Tam-tam segera berpamitan hendak meninggalkan kediaman Kanjeng Ratu dengan perasaan berkecamuk. Bagaimana tidak, kegundahan kian merajalela mengusik ketenteraman jiwa para jenderal. Mereka selalu bertanya-tanya, akankah kejadian ini pada akhirnya menjadi kesalahan mutlak mereka? Haruskah mereka menanggung segala akibat konflik berkepanjangan di antara Kanjeng Ratu dengan Putra Mahkotanya? Lantas, bagaimanakah nasib desain-desain kamar mandi, pintu kamar mandi, serta bangku penutup pemipaan? Akankah desain yang telah dibuat oleh Odot dan Tam-tam akan terlaksana kemudian hari? Seperti bisa keji yang terperangkap dalam sukma menembus kelogikaan. Apa boleh dikata, kedua pemuda bak terperangkap layaknya buah simalakama, tak berkutik dan terkucilkan. Sungguh akhir yang misteri.

 Detik-Detik Kepergian Ayik
Kunjungan Myth dan Kanjeng Mbah (Tamu Istimewa II)
Selalu Berpikir!
Kondisi Proyek Akibat Titah Sang Ratu
 Akhir Pekan Ketiga
Suasana 'Sumur Boto' Pada Penantian Terakhir

Migrasi Di Kala Penantian Pangeran
Hari berganti hari, kegelisahan Odot kian memuncak menggeliat penuh murka. Kegundahan meluputi wajahnya, tampak jelas sekali. Beberapa hari berselang, seolah-olah damai mulai berpihak pada para jenderal. Salah besar, sungguh salah besar. Beban tergantung seolah-olah enggan menyingkir dari pikiran Odot dan Tam-tam. Kendati proyek ini tengah berhenti sesaat, mereka berdua kerap mendiskusikan spekulasi-spekulasi pada masa yang akan datang via ponsel mereka masing-masing. “Bos, aku merasa tidak enak dengan Eiw. Kita tak mampu menyelesaikan proyek ini hingga tuntas. Aku merasa bersalah”, tutur Tam-tam lirih. “Ya, aku sependapat denganmu. Namun, kita tak bisa berbuat banyak, Bos. Kita sudah berusaha menjadi penengah yang baik. Toh, kita pun berusaha semampu kita. Aku yakin, kok. Kita sudah berusaha...berusaha...sebaik keuletan kita sendiri, benar kan?”, tegas Odot sembari menghibur Tam-tam. “Iya, semoga saja Eiw berkenan”, timpal Tam-tam nan singkat tetapi penuh keraguan. “Selalu semangat, Bro!”, timpal Odot seraya mengakhiri diskusi media digital tersebut.

Sepintas ponsel tampak bersantai ria, menikmati kesendiriannya. Tiba-tiba, lantunan melodi pop jazz segera membelalak penuh nafsu memenuhi ruangan. Ternyata adalah pesan singkat Kris yang hendak bersua guna membahas sesuatu yang tak kalah pentingnya. Odot pun menyanggupi permintaan Kris di kala senja tersebut. Ada-ada saja, ketika petang menyambut penuh keraguan, Odot pun tiba di kediaman Amar, tempat yang telah dijanjikan Kris. Singkat cerita, terjadilah perkelahian nan sengit mengenai pekerjaan Pak Aan, kursus Bahasa Inggris, desain Cafe, hingga masalah magang di konsultan milik salah satu arsitek papan atas, You See.  Luar biasa, setiap individu memiliki alasan masing-masing demi mempertahankan argumentasi mereka. Diskusi yang tergolong cukup singkat dengan dua serangkai tersebut tentunya semakin membuat suasana memburuk. Namun, satu hal yang telah dipelajari dari kejadian tersebut, bahwa setiap individu pasti memiliki pandangan hidup yang berbeda dengan individu-individu yang lainnya. Mustahil, bila tujuannya selalu demi kepentingan bersama. Ada kalanya setiap individu berhak membatasi ruang pemikiran pribadinya tanpa campur tangan individu yang lainnya. Kebebasan tersebut sering dikaburkan dengan berbagai istilah-istilah kebersamaan, seperti simbiosis mutualisme. Namun, dalam pelaksanaannya, hubungan simbiosis jenis ini tak selalu berjalan mulus karena setiap individu pun memiliki sifat egois masing-masing sehingga ‘keadilan’ hubungan tipe ini tentunya pun berbeda-beda pengertiannya.

Selang beberapa hari penuh kedamaian, tiba-tiba Odot dikejutkan oleh kehadiran sosok sang pangeran, Eiw. Ia menghubungi Odot via ponsel. “Dot, kau dimana sekarang? Kapan kah kau ke Surakarta? Bagaimana kabar sumur boto?”, tutur Eiw secepat kilat. ”Belum, Eiw, aku masih menulis laporannya, soalnya kisah ini bakal panjang bukan kepalang. Banyak hal yang hendak aku ceritakan pada episode terakhir ini”, timpal Odot datar. “Iya, sebenarnya, menurutku, kau tak usah lah terlalu panjang lebar menceritakan kisah sumur botonya. Contohlah tulisan Emel, menurutku dia sudah pas. Kalau tulisanmu itu terkesan panjang sekali sehingga orang pun akan lelah membacanya”, timpal Eiw cepat. “Iya, Eiw. Aku mengerti. Tulisannya sengaja aku buat panjang sekali karena hendak ku jadikan sebuah buku. Jadi, aku memang hendak menyelesaikan semuanya, baru aku segera memposting ke dalam blogku serta emailmu”, tangkas Odot membela diri. “Iya, betul. Namun, sebaiknya kau segera menyelesaikan tulisan ‘sementaramu’, yang singkat saja, tak usah lah terlalu panjang. Aku sangat penasaran keadaan terakhir sumur boto. Apakah sekarang proyek tersebut masih berlangsung?”, timpal Eiw penuh selidik. “Proyek telah terhenti sejak beberapa hari yang lalu, Eiw. Sebenarnya, aku pun telah berada di Surakarta sekarang. Namun, aku akan segera menyelesaikan tulisanku secepat aku bisa, Eiw”, timpal Odot sedikit labil. “Sebenarnya...”, sambungnya. “Pak Imron telah menugasi tiga orang pekerjanya agar tetap menyelesaikan proyek ini hingga tuntas. Namun, Ibunda tercintamu, Kanjeng Ratu En-en, segera memutuskan kontraknya. Alasan yang aku ketahui adalah karena keterbatasan biaya dan kepergian Pak Imron lah yang membuat beliau bertitah demikian”, tutur Odot panjang lebar. “Um...”, gumam Eiw sembari mencerna perkataan Odot. “Oke, namun, apakah ada orang yang dapat diandalkan ketika kau tidak berada di Semarang? Apakah Ayik masih menggeluti proyek ini?”, timpalnya penuh teka-teki. “Ayik telah keluar beberapa hari sebelum proyek ini berakhir. Ia terlihat terpontang-panting dengan kesibukannya. Ia sendiri yang memilih lenyap untuk sementara waktu. Aku pun tidak dapat memaksakan kehendaknya, Eiw”, timpal Odot penuh keyakinan. “Lalu...”, sambungnya cepat. “Untuk masalah orang yang dapat diandalkan, aku tetap mempercayakan Tam-tam. Mengapa demikian? Selama proyek ini berlangsung, yang tetap bertahan dari awal hingga akhir hanyalah aku dan Tam-tam, sementara Gideon, Bosky, dan Ayik berguguran dan musnah”, tangkasnya kemudian. “Oh, oke kalau begitu. Oh ya, keberadaanmu tentunya sebagai wakil dari CS8, Dot. Kau ibarat mendapatkan titah dari CS8 guna menggapai ilmu disana. Pereratlah tali persaudaraan antarkomunitas dan diskusi. Bila kau membutuhkan subsidi anggaran ketika disana diadakan suatu diskusi”, timpalnya. “Lalu...”, sambungnya tanpa memberikan ruang berbicara bagi Odot. “Aku berencana hendak ke Semarang akhir tahun ini, sekitar pertengahan bulan terakhir tahun ini. Aku berecana hendak mengadakan diskusi yang santai dan hanya bersifat senang-senang saja, tidak seberat acara Imagination kemarin”, timpalnya kemudian. “Oke, Eiw. Namun, aku juga tak tahu pasti apakah aku dapat menghadiri undanganmu itu. Aku pun tak tahu kapankah aku bisa mengambil cuti”, timpal Odot sedikit bimbang. “Oke, tak masalah. Jangan lupa beritahu rekan-rekan lainnya ya. Oh ya, satu hal lagi. Blog CS8 telah siap untuk diisi. Apakah kau telah mengecek FB? Aku telah mengundang kau, Emel, dan Amar agar kalian menjadi pengisi materi blog tersebut. Sekian saja yang butuh aku informasikan kali ini, Dot”, timpalnya sembari mengakhiri perbincangan.

Gantung, sebuah kata singkat, namun amat berarti bagi Odot. Apakah sang pangeran mengetahui dilema yang tengah menimpa Odot? Apakah setiap anggota CS8 pun mengalami nasib yang serupa? Siapakah biang keladi dibalik semua ini? Mengapa masalah kian meluluh lantahkan persatuan dan kesatuan suatu komunitas? Apakah setiap anggota CS8 mampu mengerti kepentingan pribadi masing-masing anggotanya? Ya, semuanya patut dijalankan tahap demi tahap. Mungkin inilah titik awal pendewasaan karakter Odot, agar mampu berpikir lebih kritis dalam menyikapi setiap persoalan di dalam hidupnya. Namun, semuanya harus dijalani dengan penuh kesabaran, keuletan, serta kegigihan. Alhasil, semuanya pasti membuahkan suatu kebaikan. Semuanya akan terjawab dan terbukti seiring berjalannya waktu.

Written by AJMariendo
 =====================================================


Tidak ada komentar:

Posting Komentar