Senin, 02 Mei 2011

Ada Yang Bercita-cita Jadi Nelayan atau Petani?

“Tugas pendidikan adalah mengusahakan emansipasi, yaitu mengantar dan menolong anak mengenali dan mengembangkan potensi-potensi dirinya agar menjadi manusia yang mandiri, dewasa dan utuh; manusia merdeka sekaligus peduli dan solider dengan sesama manusia lain dalam ikhtiar meraih kemanusiaan yang semakin sejati dengan jati-diri dan citra-diri yang semakin utuh, harmonis, dan integral”

- A. Supratiknya dalam ‘Pergulatan Intelektual Dalam Era Kegelisahan’ -
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Entahlah bagaimana situasi-suasana persekolahan sekarang untuk anak-anak. 
Apakah menyenangkan? 
Apakah menyeramkan?

Jika anak-anak begitu bergembira ketika bel selesai pelajaran berbunyi, begitu ceria ketika jam sekolah berakhir, tapi begitu tegang ketika akan ke sekolah, begitu suntuk ketika pelajaran kelas, tapi begitu senang kalau guru tak ada, maka jelas sekolah itu menyeramkan dibanding menyenangkan.

Kalau sekolah itu menyeramkan seperti hantu yang menghantui sepanjang hari lalu bagaimana belajar itu bisa terjadi? Manusia merdeka bisa tercipta? Jelas yang dipelajari adalah siasat mengakali hantu harian itu yang mungkin akan sangat jauh lebih berguna untuk kehidupan masa depan di Republik sikut-sikutan ini. Ya,.. lebih berguna daripada disuruh menghapal hal serba mengawang-awang, kering, tak menyentuh, untuk kemudian menyajikan menjadi jawaban-jawaban tepat, text book oriented, persis robot dan tentara

Entahlah sekarang, dulu siswa yang dipuji adalah yang mampu menjawab soal-soal yang diajukan. Semakin presisi dengan buku semakin tinggi pula prestasi dijangkau. Jadi benar-benar yang dipelajari 'hanya' yang ada di buku, atau (lebih luas sedikit) yang ada di kelas. Lebih jauh lagi belajar adalah yang ada di sekolah, sepanjang sekolah. Di luar itu (jelas!) bukan belajar. Maka tak perlu repot-repotlah memahami lingkungan habitat, tak perlu habiskan energi untuk peduli-peduli persoalan kehidupan. Itu tak ada di kurikulum, tak akan diujikan (nasional).

Entahlah mengapa jiwa-mental menjawab sebanyak-banyaknya pertanyaan atau soal dari orang lain begitu amat dihargai. Entahlah kok bukan jiwa-mental ingin tahu, bertanya, mengajukan pertanyaan yang timbul dari pergulatan diri sendiri, merancang pertanyaan yang tepat tentang hal-hal yang berguna dan berharga baik bagi dirinya sendiri maupun untuk teman-temannya. Bukankah jiwa-semangat bertanya, mencari, dan meneliti pangkal dari sikap eksploratif berujung pada manusia kreatif-inovatif? 

Mungkin sebaiknya sekolah bukanlah tempat menjejali beragam jawaban untuk dihapal layaknya pusat indoktrinasi militer, tapi tempat pemicu ingin tahu. Hingga mungkin nanti jika ada anak berhabitat pantai-laut atau akrab sawah-ladang tak perlu repot-repot bercita-cita pekerja kantoran kota dan lulus menjadi buruh pabrik pinggiran rawa. Biarlah mereka bertanya-tanya apa yang bisa dilakukan dengan pantai-laut ini, apa yang bisa diolah agar berdampak lebih dari sawah-ladang ini untuk kehidupan sendiri dan sesama manusia.

"Anak-anak, ada yang bercita-cita jadi nelayan atau petani?"



Pendidikan harus bermekanisme belajar untuk seumur hidup. Masyarakat adalah sekolah yang sejati. Semua orang adalah guruku dan pada saatnya (nanti) pun semua orang adalah muridku.

I
I
I

8 komentar:

  1. wow...wonderful..

    BalasHapus
  2. "Membatasi anak berorganisasi atau beraktivitas di luar sekolah hanya akan meciptakan generasi pintar namun tidak berguna."

    - Arief Rachman -
    --------------------------------------------------------------------------------------

    BERORGANISASI, BIKIN CERDAS DAN BERGUNA

    KOMPAS.com - Saat anak memiliki kegiatan ekstrakulikuler (ekskul) di sekolah, terlibat dalam organisasi siswa atau berkegiatan di luar rumah, ini pertanda positif bagi pengembangan dirinya. Sebagai guru atau orangtua, tugasnya adalah memberikan dukungan.

    Pakar Pendidikan, Prof Dr Arief Rachman MPd, menyarankan sebaiknya anak mulai dilibatkan dalam kegiatan kolektif sejak usia TK. Anak yang berorganisasi sejak kecil memiliki kepribadian lebih efektif dan efisien. Anak juga akan tumbuh menjadi pribadi cerdas dan berguna, bukan sekadar pintar di sekolah.

    "Anak mulai TK perlu terlibat dalam kegiatan bersifat hobi, kegiatan yang sifatnya kolektif. Bisa berupa drama, menari, pentas musik, menggambar, sesuatu yang digemari dan menjadi talentanya. Libatkan anak dalam berbagai festival, bukan kompetisi. Bebaskan mereka menampilkan dirinya dengan pendekatan heterogenitas, bukan homogen. Lalu, berikan apresiasi atas keberagaman ini. Kompetisi cenderung menggunakan pendekatan standar seragam, sementara anak akan lebih berkembang positif jika sejak kecil diajarkan untuk berbaur dalam keberagaman," jelas Arief kepada Kompas.com di Jakarta, pekan lalu.

    Aktivitas beragam yang dijalankan anak sejak belia sangat memengaruhi tumbuh kembangnya. Hal itu terutama terhadap pembentukan kepribadian dan jiwa kepemimpinan.

    Sebaliknya, kata Arief, membatasi anak berorganisasi atau beraktivitas di luar sekolah hanya akan meciptakan generasi pintar namun tidak berguna.

    Manfaat berorganisasi

    Arief mengatakan, kegiatan berorganisasi memiliki sejumlah dampak positif bagi diri anak maupun kemampuan sosialnya. Manfaat personal yang didapatkan anak di antaranya adalah memiliki potret diri positif. Artinya, anak memiliki persepsi yang baik atas dirinya, lebih kreatif, lebih berani, serta memiliki kemampuan mencipta.

    Potret diri positif dalam diri anak berdampak pada penghargaan atas diri yang lebih tinggi. Dengan berorganisasi, lanjut dia, anak juga belajar mengenai kepemimpinan.

    "Generasi global memiliki kepemimpinan dalam dirinya. Kepemimpinan dalam diri anak membantunya mengendalikan diri, memiliki keberanian, dan mampu berkomunikasi dengan orang lain," lanjutnya.

    http://edukasi.kompas.com/read/2011/05/04/10341494/Berorganisasi.Bikin.Cerdas.dan.Berguna

    BalasHapus
  3. “Ada seorang warga yang mengeluh pada anaknya kalau sekarang ini mau makan makanan yang bergizi harganya serba mahal. Lalu anaknya membawa permasalahan itu ke sekolah, anak-anak berdiskusi dan muncullah ide untuk membuat peternakan belut. Lalu anak-anak belajar tentang budidaya belut lalu sama-sama mereka praktek membudidayakannya,”

    - Bahruddin, tentang Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga -

    http://www.ummi-online.com/artikel-41-sekolah-tanpa-sekolah--pendidikan-alternatif-qaryah-thayyibah-di-salatiga.html---->
    ----------------------------------------------

    SEKOLAH TANPA SEKOLAH: PENDIDIKAN ALTERNATIF 'QARYAH TAYYIBAH' DI SALATIGA

    Tak terbayangkan dalam benak kita ada sekolah tanpa pagar, tanpa tiang bendera, tanpa bel, tanpa gedung sekolah, bahkan tanpa plang yang menunjukkan bahwa ada sekolah. Tetapi itulah yang terjadi di Desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah. Sebuah komunitas belajar yang mengusung ide pendidikan alternatif muncul dan mengagetkan dunia pendidikan kita yang carut marut ini. Gaungnya tidak hanya bergema di negeri ini namun sudah terdengar hingga kancah internasional.

    Sudah mengendap dalam benak kita bahwa kalau ingin menuntut ilmu berarti kita harus sekolah. Dan itu tidak sepenuhnya salah. Masalahnya, sekolah saat ini tidak hanya menuntut tekad bulat untuk menuntut ilmu, namun juga harus diiringi kesediaan merogoh kocek dalam-dalam. Untuk menyekolahkan anak setingkat SD di sekolah negeri, meski disebut gratis, tetap ada biaya yang harus dikeluarkan orangtua saat awal masuk sekolah berkisar antara 100 hingga 500 ribu rupiah, misalnya untuk seragam, buku, dan lain-lain. Sementara untuk masuk SD swasta, apalagi SD favorit di kota besar, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai jutaan rupiah.
    Demikian juga ketika kita ingin menyekolahkan anak di tingkat SMP dan SMA. Biaya yang dikeluarkan tentu lebih tinggi. Kira-kira 500 sampai 1 juta rupiah harus disediakan orangtua pada saat penerimaan siswa baru. Uang sebesar itu tentu tidak terasa besar bagi mereka yang berpenghasilan rutin dengan jumlah jutaan rupiah. Namun bagi mereka yang tidak punya penghasilan tetap tentunya uang sejumlah itu akan sangat membebani hidup. Bayangkan saja, untuk biaya makan sehari-hari saja sudah susah apalagi harus menanggung biaya sekolah yang tidak sedikit.
    Keresahan mengenai mahalnya biaya pendidikan pun mendorong Bahruddin, inisiator sekaligus penggerak model pendidikan alternatif di Salatiga mengajukan ide untuk membangun Learning Based Community (pendidikan berbasis komunitas) di desa Kalibening, kecamatan Tingkir, Salatiga. 'Sekolah' yang pada awalnya menampung 12 siswa setingkat SMP ini diberi nama Qaryah Thayyibah (QT) yang berarti Desa milik Allah yang dilimpahi keberkahan. Kini QT sudah memiliki 150 siswa setingkat SMP dan SMA.

    ................................ (bersambung)

    BalasHapus
  4. ................................ (lanjutan)

    Belajar sesuai kebutuhan
    Pendidikan akternatif yang digagas oleh Bahruddin merupakan konsep yang dia kembangkan sendiri berdasar pengalaman dan buku-buku yang dibacanya. Prinsip dasarnya adalah memberi kebebasan pada siswa untuk belajar apa pun yang mereka sukai. Guru (di QT disebut pendamping) hanya memberikan ide atau masukan, apakah nanti akan diterima anak atau tidak, semua dikembalikan ke siswa.
    Konsepnya mirip dengan homeschooling, namun ada beberapa hal yang membedakannya. Pertama, homeschooling masih memiliki kurikulum dan mata pelajaran yang harus dipelajari siswa. Sedang di QT tidak ada acuan mata pelajaran. Semua siswa bebas menentukan apa yang ingin mereka pelajari. Kedua, pelaksanaan homeschooling sering dikritik membatasi interaksi anak dengan orang lain. Sedangkan di QT, lingkungan sekitar dan masyarakatnya adalah 'sekolah' bagi siswa QT. Jadi model pendidikan alternatif dijamin tidak akan mengisolasi siswa dari lingkungannya. Justru mendorong siswa untuk terlibat aktif di lingkungannya.
    Karena berbasis pada lingkungan pulalah, siswa QT diharapkan mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi lingkungan tempat mereka berada. “Ada seorang warga yang mengeluh pada anaknya kalau sekarang ini mau makan makanan yang bergizi harganya serba mahal. Lalu anaknya membawa permasalahan itu ke sekolah, anak-anak berdiskusi dan muncullah ide untuk membuat peternakan belut. Lalu anak-anak belajar tentang budidaya belut lalu sama-sama mereka praktek membudidayakannya,” cerita Bahruddin.
    Sungguh berbeda jauh dengan kebanyakan kita yang sudah melahap berbagai pelajaran di sekolah namun tidak mampu memberikan solusi pada permasalahan sekitar. “Selama ini kita kan diajarkan agar banyak menyerap pengetahuan tapi akhirnya kita malah jadi konsumtif alias tidak produktif. Pengetahuan itu seperti vitamin, dibutuhkan untuk tubuh kita secukupnya saja jangan sampai berlebih,” tambah ayah 3 anak ini.

    ................................(bersambung)

    BalasHapus
  5. ................................ (lanjutan)

    Mandiri dalam belajar
    Pendidikan alternatif yang diusung Bahruddin sebenarnya mendidik anak agar mandiri dalam belajar. Ini hal penting yang justru sering tidak kita dapatkan di dunia pendidikan kita. Anak-anak yang pergi ke sekolah setiap pagi, pulang sore hari, 6 hari selama seminggu, kebanyakan datang ke sekolah lebih sebagai formalitas bukan dengan niat murni untuk menuntut ilmu. Sampai di sekolah pun anak memposisikan diri sebagai 'wadah' yang siap menerima apa pun yang diberikan oleh guru. Padahal hakekatnya, anak bukanlah tempat kosong yang tidak berisi apa-apa. Artinya, anak-anak itu sudah memiliki bekal-bekal yang dapat mendorong mereka untuk belajar. Misalnya pengalaman, informasi dari televisi, buku maupun dari tempat lain.
    Hal seperti itu tidak terjadi di QT. “Aku kan emang dari awal suka musik. Aku belajar sendiri dengan baca internet dan download video-video tentang musik. Terus aku mau belajar gitar, belajarnya dengan cari di internet gimana caranya main gitar lalu aku coba-coba sendiri sampai bisa. Terus kalau bikin lagu, aku kan punya temen yang bisa buat lagu ya aku belajar sama temenku itu dan ini bisa dilakukan sendiri saja dan kadang kami juga mendatangkan guru juga. Pas mau rekaman juga gitu. Aku ikut temen atau lihat Pak De (paman-red) yang memang pemusik, gimana caranya rekaman. Liat di studio, aku pelajari dan aku bawa ke sini untuk dipelajari sama-sama dengan teman-teman,” ungkap Ikhwan (19), salah seorang lulusan QT.
    Hal menarik yang bisa kita dapatkan dari QT ini, anak jadi terbiasa belajar secara mandiri. Bayangkan, jika selama 6 tahun mereka dilatih untuk memilih sendiri apa yang akan mereka pelajari. Juga merumuskan sendiri (bersama teman satu forum) materi yang akan dipelajari dan menyiapkan sendiri segala macam perangkat yang dibutuhkan untuk belajar, maka bisa dipastikan setelah lulus 'sekolah' dia tidak akan kesulitan untuk terus belajar meski sudah tidak berada di lingkungan sekolah.
    Sementara fenomena yang sering kita lihat, banyak anak lulus SMA belum memiliki karya, bahkan banyak yang menjadi 'masalah' bagi lingkungannya. Padahal dalam Islam juga ada terminologi bahwa orang yang paling baik adalah orang yang bermanfaat bagi lingkungannya. Dengan kata lain orang yang paling baik bisa menyelesaikan permasalahan lingkungannya.

    ................................(bersambung)

    BalasHapus
  6. ‎............................. (lanjutan) .

    Dibebaskan justru berprestasi
    Banyak yang berpikir bahwa untuk berprestasi anak harus diberikan pengarahan dengan ketat. Diikutkan berbagai les dengan jadwal yang padat, tidak banyak bermain-main dan penuh dengan hal serius lainnya. Ternyata hal ini terpatahkan dengan sistem pendidikan alternatif di QT. Dengan ketiadan jadwal pelajaran, tanpa guru, gedung sekolah, laboratorium justru mendorong para siswa untuk kreatif.
    “Maia Rosyida, sudah menulis 20 buku. Saat ini umurnya 18 tahun,” ungkap Bahruddin. Saat mulai bersekolah di Qoryah Thayyibah, Maia menyampaikan kalau suka menulis, maka yang dilakukan para pendamping adalah mendukung dan mendorongnya untuk terus menulis. Hasilnya, benar-benar tak terduga, karena si anak didukung melakukan sesuatu yang sesuai minatnya, dalam waktu singkat 20 buku berhasil ditulisnya. Sebagian dijilid, di-copy dan disebarluaskan oleh pihak sekolah, sebagian lagi diterbitkan oleh penerbit profesional.
    Fina, Izza dan Siti, tiga orang siswa QT berhasil menerima penghargaan Creative Kids Award dari Yayasan Creatif Indonesia pimpinan Seto Mulyadi. Ketiga anak itu membuat karya tulis berjudul “Haruskah UN Dihapus?” Karya tulis itu dibuat sebagai tugas akhir sebelum mereka lulus dari QT.
    Belum lagi sejumlah karya berupa hasil penelitian, film, musik yang dibuat oleh siswa-siswa QT. Semua karya tersebut ide orisinal dari si anak dengan masukan para pendamping. Beberapa siswa sudah biasa diminta berbicara di depan para pejabat publik, seperti Hilmy (15) yang diminta berpidato di depan 90 kepala sekolah berprestasi di seluruh Indonesia. Semua karya yang mengagumkan itu bersumber pada sebuah prinsip pendidikan yang membebaskan anak untuk mempelajari apa yang dia suka, sambil tetap mendampingi dan mendukung sebisa mungkin.

    ................................(bersambung)

    BalasHapus
  7. ‎............................. (lanjutan)

    Mengelola internet sendiri
    Salah satu perangkat yang berperan penting dalam pelaksanaan pendidikan alternatif QT adalah akses internet penuh 24 jam. Semua siswa 'dibiarkan' mandiri belajar, salah satunya dengan panduan “Om” Google. Akses internet memang ibarat samudra luas tanpa batas yang berisi segala hal, baik yang positif maupun negatif. Di QT, semua siswa bebas mengakses internet, tentunya tetap dengan aturan tertentu. Sebab kebebasan yang bertanggungjawab adalah prinsipnya.
    Bagaimana komunitas ini bisa memiliki akses internet 24 jam? Awalnya memang ada seorang pengusaha yang menyediakan internet di komunitas ini. Namun kemudian, komunitas ini memakai jasa internet yang diluncurkan Telkom dan dikelola secara mandiri. Mereka membuat aturan seperti biaya Rp2000 per-jam untuk pemakaiani internet. Dari hasil pengelolaan internet itu mereka mampu membayar tagihan internet plus membayar uang listrik per bulannya.
    Dari pengalaman komunitas ini kita bisa belajar bahwa jika anak-anak usia 13-19 tahun yang tinggal di lereng gunung saja bisa mengelola 'sekolah'nya dengan baik, maka sebenarnya hal yang sama bisa juga dilakukan di tempat lain dan oleh siapa pun. Hanya dibutuhkan komitmen yang kuat dan kemauan untuk mewujudkannya. Terasa berat? Bisa jadi, sebagai awalnya. Namun tidak ada kata tidak mungkin jika kita mau mencobanya.

    Aini Firdaus

    http://www.ummi-online.com/artikel-41-sekolah-tanpa-sekolah--pendidikan-alternatif-qaryah-thayyibah-di-salatiga.html

    BalasHapus
  8. ”Ada yang kurang pas jika banyak orang berpendidikan formal justru menjadi pengangguran,”

    - HAR Tilaar -

    Kompas, Sabtu, 28 Mei 2011
    ---------------------------------------------------------------------------

    SEKOLAH UNGGULAN SALAH KONSEP

    Jakarta, Kompas - Sekolah unggulan yang dikembangkan pemerintah dalam bentuk rintisan sekolah bertaraf internasional dinilai salah konsep karena menciptakan kelas sosial baru di bidang pendidikan. Harus dikembangkan sekolah unggulan yang bisa diakses luas semua lapisan masyarakat.

    Pengamat pendidikan Anita Lie dan HAR Tilaar secara terpisah di Jakarta, Jumat (27/5), mengatakan, pendidikan di Indonesia menghadapi dua masalah besar, yakni meningkatkan mutu pendidikan dan pemerataan. ”Dalam kondisi seperti ini, jangan justru pemerintah menciptakan sekolah-sekolah bermutu yang bersinggungan dengan kelas sosial, artinya yang hanya bisa dinikmati kelompok tertentu,” ujar Anita yang juga Guru Besar Pendidikan dari Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.

    Anita mengatakan, kebijakan pemerintah dengan mengembangkan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dirasakan masyarakat bersinggungan dengan kelas sosial sehingga pendidikan tidak menjadi lokomotif untuk menjadi unggul. ”Terasa aneh jika pemerintah mendorong kesenjangan sosial yang semakin tinggi melalui pendidikan,” katanya.

    Menurut Anita, pendidikan bermutu itu adalah pendidikan yang dapat membantu para siswanya berkembang sesuai potensinya, baik intelektual maupun karakter. Para siswa harus merasa menjadi bagian dari masyarakat dan negaranya sehingga punya keinginan untuk berkontribusi bagi masyarakat.

    HAR Tilaar, Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta, mengatakan, pendidikan bermutu tidak harus yang mengacu ke negara-negara maju seperti dalam konsep RSBI. Pemerintah harus menggali potensi bangsa dan menyesuaikan dengan kehidupan bangsa sehingga bisa menyejahterakan masyarakat.

    ”Ada yang kurang pas jika banyak orang berpendidikan formal justru menjadi pengangguran,” kata Tilaar.

    Retno Lisyarti, Presidium Federasi Serikat Guru Indonesia, mengatakan, banyak sekolah yang tadinya sudah baik, kemudian berubah menjadi RSBI dan mendapat kucuran dana sekitar Rp 500 juta dari pemerintah, justru menjadi sulit diakses siswa miskin.

    Saravanan Gopinathan, Guru Besar dari National Institute of Education Singapura, dalam seminar bertajuk ”A New Landscape in Teaching and Learning” yang dilaksanakan Sampoerna School of Education di Jakarta, mengatakan, pendidikan berkualitas menjadi kebutuhan vital dalam era globalisasi ini, yang semakin penting dalam membangun kapasitas individu. Pendidik harus membantu para siswa untuk menjadi kreatif, inovatif, kritis, melek teknologi, dan berkarakter.

    ”Proses pembelajaran harus mampu membangun kapasitas siswa untuk memiliki kemampuan belajar mandiri dan sepanjang hayat, inovatif, dan berkarakter,” katanya.

    Gopinathan mengingatkan, dalam era globalisasi ini, pendidikan yang mengutamakan pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai tidak bisa diabaikan. ”Bahkan, karakter dan nila-nilai yang diyakini di suatu negara jangan sampai hilang,” ujarnya. (ELN)

    http://cetak.kompas.com/read/2011/05/28/03563060/.sekolah.unggulan.salah.konsep

    BalasHapus