Senin, 30 Mei 2011

Indon_sia Bangkit 2011!

Maap, bukan karena kelupaan.
Harusnya kata 'Bangkit' ini didengung-dengungkan tepat 20 Mei kemarin.
Kita teriak bersama-sama.
Mengenang kembali 103 tahun yang lalu 
dimana sekelompok pemuda-pelajar-generasi intelek 
tampak kurang kerjaan, berkumpul, mendirikan Boedi Oetomo.


Untuk zaman itu mereka amat jelas kurang kerjaan.
Pemuda-pemuda yang harusnya sekolah dengan tertib
sebagai kesempatan 'hadiah' politik etis pemerintah
dan lulus untuk kemudian bekerja mapan lalu kaya raya
malah memilih berkumpul, bikin klub, dan berbicara mimpi-mimpi
tentang sebuah bangsa baru yang lalu mereka namakan 
"INDONESIA".


Saya yakin, dengan hitung-hitungan matematis dengan amat empirik-rasional
apa yang dilakukan pemuda-pemuda itu hal amat konyol.
Mengada-ada. 
Apa itu 'INDONESIA'?
Coba tanya pada jongos-jongos pribumi.
Atau nona-nona keraton.
Boleh juga tanya ambtenaar-ambtenaar produk lokal.
Tak ada yang kenal 'INDONESIA'.
Kalau 'Nederlands-Indische' tentu mereka akrab.


Hanya saja sejarah (dan waktu) membuktikan pemuda-pemuda itu benar.
Pelan tapi pasti kesadaran satu bangsa sebagai 'INDONESIA' menguat
dan selang 37 tahun sejak kumpul-kumpul kurang kerjaan itu 
INDONESIA lahir (secara politis) sebagai sebuah negara bangsa, 
menghimpun beraneka unsur nusantara,
menjadikannya salah satu bangsa terbesar di dunia.


Tapi jika pemuda itu gagal, ya nasibnya jadi jongos atau pesakitan.
Dan kita ejek-ejek di ruang kelas:
"Anak-anak, itu akibatnya jika kalian gak tertib belajar".


Nah, sebagai sebuah bangsa besar yang dibangun dari beraneka unsur
khas karakter maritim-kepulauan 
maka upaya membangun kesadaran sebagai bangsa besar itu harus dipelihara. 
Keanekaragaman harus senantiasa didialogkan. 
Selalu harus ada interaksi antar identitas. 
Ya karena INDONESIA itu adalah interaksi keragaman itu sendiri.
INDONESIA adalah dialog terus-menerus
sebagaimana kemerdekaan yang merupakan proses tiada henti
harus terus diperjuangkan.


(seperti terang lampu bersumber generator bertenaga sepeda kayuh. Kalau berhenti dikayuh ya terangnya padam. Itu peran kita. Kayuh terus, bukannya gak ngapa-ngapain)


Nah, Maap, bukan karena kelupaan.
Memang harusnya kata 'Bangkit' ini didengung-dengungkan tepat 20 Mei kemarin.
Tapi maklumlah dunia abad sekarang yang serba sibuk-berjalan cepat.
Untuk merenung pun butuh waktu yang tepat.


Merenungkan kekonyolan-kekonyolan 'Bangkit' gaya terkini.
Bangkit sendiri-sendiri untuk saling terkam-menerkam
menunjukkan siapa paling hebat-paling jago.
Bangkit ego-ego yang justru bikin kita tampak konyol
dan melahirkan (sekaligus mengekalkan) kata: 
INDON_SIA(L).









Eiit,.. jangan keburu bertindak konyol.

Mungkin (setelah gerundelan tak berguna di atas) ada baiknya menyimak cuplikan berguna tentang asal-usul kata 'INDONESIA'. Mencuplik dari Boni Hargens dalam "INDONESIA BUKAN KAMPUNG MELAYU!Kompas, Sabtu, 28 Mei 2011:

"Jelas, ”Indonesia” tentu bukan Indon, Indo, ataupun Melayu! Ia berasal, secara etimologis, dari kata indus (bahasa Latin, artinya India) dan nesos (bahasa Yunani, artinya pulau, kepulauan). Muncul pertama kali dalam tulisan etnolog Inggris, George Windsor Earl, 1850, dengan istilah Indunesians, orang-orang yang tinggal di Kepulauan India. Earl memaralelkan istilah ini dengan Malayunesians, orang-orang yang tinggal di Kepulauan Malaya.
Murid Earl, James Richardson Logan, kemudian memakai kata Indonesia dalam tulisannya, yang disusul banyak cendekiawan di Belanda. Abad ke-20, etnolog Jerman, Adolf Bastian (1826-1905), memasukkan signifikasi politik sehingga Indonesia bermakna sebagai identitas bangsa."




"Ia terbangun dari beragam pikiran rakyat, Völkergedanken, yang tersebar dalam latar geografis dan historis."






Sekali lagi, 
terbangun, 
bukan tertidur.


Jadi


Bangunkan yang tertidur.

I
I
I


1 komentar:

  1. saat ini kata "BANGKIT" memang tidak sesuai lagi dengan makna aslinya.

    Salam kenal ya.
    dari Rifai di Tangerang, Banten :D

    BalasHapus