Sabtu, 21 April 2012

Archigeddon



Saya teringat sebuah kejadian baru-baru ini yang menarik permenungan.
Ini di sebuah kegiatan arsitektur-sosial-kemanusiaan di pulau seberang.
Pemuda-pemudi berbagai kota asyik rehat siang dan saling bercengkrama.
Tiba-tiba saya dapati teman saya sibuk mengutak-atik CAD di laptopnya.
Dia sembunyi-sembunyi dengan kesibukan yang tak lazim itu.
Tapi akhirnya teman saya itu 'bernyanyi' juga.
Tentu setelah didesak selidik penuh ingin tahu teman-teman lainnya.
Ternyata dia sedang mengerjakan pekerjaan kantornya.

Saya dan teman-teman lain tertawa melihat kenyataan itu.
Mengerjakan kerjaan kantor saat yang lain bersantai-santai.
kayak tak cukup saja waktu melimpah di kantor itu.

Tapi juga memang harus kasihan.
Tadi malam dia lagi istirahat damai.
Itu setelah seharian banting tulang tangani kegiatan dan peserta.
Tiba-tiba bosnya menelpon menanyakan denah rumah klien.
Minta dikirim pula keesokan harinya.
Coba, kalau sudah begini siapa masih bisa santai-damai menikmati sisa malam?

Kami memang patut berhenti tertawa.

Tak tega lihat kenyataan sisi lain itu.

Pikir-pikir, apa bosnya tak tahu untuk apa teman saya ini membolos hari kerja?
Pikir-pikir tentulah si bos tahu. 
Teman saya pasti minta izin secara jujur. 
Kalau tidak dia tak akan sampai di Borobudur.
Dia anak alim.
Bukan tipe suka main-main, senang-senang, hura-hura, gemar hedon-hedonan.

Dia bukan seperti kami, juga temannya yang lain.
Kami masih bisa keluyuran karena cuma peserta.
Teman saya yang alim ini tak bisa meninggalkan posko tugasnya.
Dia relawan-panitia garda pertama.
Sudah siaga satu sejak peserta masih asyik di kota masing-masing.

Banyak kiranya yang seperti itu. 
Teman-teman semasa mahasiswa yang aktip-aktip agresip-agresip.
Penuh ide-ide besar, semangat banting tulang, ketrampilan gila-gilaan.
Tapi sayang tampaknya tak punya banyak pilihan. 
Musti kontinyu menyambung hidup.
Mentok di meja kantor.
Pakai dasi, pasrah revisi, siap nguli.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saya bayangkan jika merekalah orang-orang terbaik ibu pertiwi.
Terpanggil untuk membantu menyelamatkan bumi.
Lagi siap-siap menjalankan misi.
Lalu tiba-tiba telpon menari.

"Hai ini ada revisi,
revisi, revisi, dan revisi!"

Itulah arsitektur dalam industri.
Serba sibuk, serba sigap.
Bisa-bisa bikin bumi kiamat.

(Atau hidup pemuda-pemudi ini yang kiamat?)


1 komentar: