Kamis, 21 Oktober 2010

Operasi Teras Atas Garasi - Laporan Pengamatan (7 + 8)

Laporan pengamatan lapangan hari ke-7 & 8, Senin dan Selasa 18-19 Oktober 2010  dimuat ulang dari http://ajmariendo.blogspot.com/2010/10/operasi-teras-atas-garasi-bagian-vi.html
--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Perseteruan Sengit, Salah Paham Kah?
Selamat Pagi, Pambaca! (Salam yang selalu penuh dengan semangat. Salam tersebut sangat baik sekali dapam menciptakan motivasi-red). Tak terasa tiga hari terlampaui tanpa informasi hangat pada blog ini (Harap dimaklumkan, karena hantaman bertubi-tubi dari berbagai penjuru menumbuk fisik dan psikis penulis-red). Apakah yang terjadi selama beberapa hari lampau? Penulis berseteru dengan hebatnya melawan sang arsitek (Perhatian, jangan menerjemahkan kalimat ini secara harafiah karena tentunya sangatlah berbahaya bagi semua pihak!-red). Lantas, apa penyebab utamanya? Mari saksikan penuturan penulis berikut ini.
Ketika penulis telah selesai memperbarui blognya, penulis dengan rasa percaya diri yang begitu besar memberikan informasi tersebut pada sang arsitek. Semuanya tampak damai sejahtera diantara keduanya. Tiba-tiba saja, sang arsitek merasa desain yang penulis paparkan di dalam blog penulis kurang tepat alias gereget (bahasa gaulnya seperti itu-red). Pasalnya, menurut pemaparan sang arsitek, pola lantai yang disajikan terlalu teratur. Belum ditambahkan dimensi-dimensi kotakan (Istilah amatiran penulis untuk menyebut pola lantai-red) yang terlalu kecil. “Wah, dimensi-dimensinya kok teratur dan kecil sekali, seolah-olah mirip seperti pola ubin!”, timpal sang arsitek. Penulis segera menyanggah, “Begini lho, Rik. Semuanya itu kan perlu proses, apalagi kita kan punya target waktu yang sangat singkat, ini sudah memasuki minggu terakhir lho. Aku terus terang saja takut banget kalau semuanya tidak selesai dengan sempurna”. “Memang, ukurannya berapa aja?”, sanggah Errik. “jadi, kan kita sudah sepakat membuat modul yang proporsional, setiap grid-gridnya berdimensi 150 cm x 75 cm. Nah, kita sengaja membuat modul yang teratur dan kaku, tetapi mengacak pola parket kayunya tersebut. Tujuannya adalah agar pola parket yang acak tersebut dapat memberikan keseimbangan dampak visual, kombinasi antara keteraturan dan ketidakteraturan”, bantah penulis.“Ndak, ndak...bukan begitu maksudnya”, timpal Errik. “Gini lho, desainnya itu sengaja aku buat lebih besar dengan tujuan agar pengolahan rasa itu lebih baik. Memang, kalian harus lebih bermain soal rasa, karena memang soal rasa itu butuh proses yang lebih matang, tidak segampang itu. Terus terang saja dimensinya kok terlalu kecil. Aku tadinya mengharapkan bahwa pola lantai tersebut semuanya tidak beraturan. Nah, buat aja dengan skala yang lebih gede. Misalnya ada yang sampai dua hingga tiga meter”. Kontan saja penulis menimpali komentar tersebut, “Tiga meter? Ndak salah? Besar banget lho itu, Rik!”. “Ndak, ndak...Justru menurutku itulah yang pas. Memang aku sengaja buat yang lebih gede supaya pengolahan rasa main disini”. “Gitu? OK lah, aku segera merevisi semuanya malam ini juga.”, timpal penulis dengan nada datar.
Apakah perseteruan tersebut telah usai? (Mohon membaca hingga usai karena hal tersebut akan dibahas kembali pada bagian Selanjutnya...Pertarungan Demi Pertarungan!

Dan Pemenangnya Adalah...
Nah, mungkin pembaca sedikit sulit mencerna maksud desain yang telah direvisi. Sebenarnya, pola desain lantai yang seperti apakah yang pada akhirnya akan direalisasikan? Apakah alternatif-alternatif desain yang telah dipaparkan pada beberapa hari sebelumnya, terpakai? Ataukah, justru muncul desain pola lantai baru? (Penulis harus memikirkan jawabannya. Terus terang saja jawabannya cukup kompleks-red). Akhirnya, setelah kembali merevisi (Untuk kesekian kalinya-red) hingga jasmani bagaikan tersambar petir, pola lantai baru telah ditetapkan. Karuan saja, perdebatan tersebut sepertinya terlihat sia-sia (Bagi penulis, tentu saja tidak! Justru dari sinilah proses berpikir, berdiskusi, mempertimbangkan, serta menemukan solusi terjadi. Penulis banyak sekali mempelajari hikmah dari peristiwa-peristiwa tersebut-red). Desain awal yang berasal dari sang arsitek lah yang akhirnya diterapkan. Memang, untuk dimensi polanya ditentukan oleh penulis. Namun, konsep desain sepenuhnya berasal dari sang arsitek. Pada akhirnya, pemilihan tekstur dan motif ditentukan menjadi tiga macam, yaitu semen yang diaci dengan sangat halus, semen yang diaci dengan halus, serta parket kayu yang di-finishing dengan diberi plitur. Lantas, bagaimanakah dimensi-dimensinya? Untuk lantai semen memiliki tiga buah variasi dimansi, yaitu 150 cm x 75 cm, 200 cm x 100 cm, serta 300 cm x 150 cm. Sedangkan untuk parket kayu pun dibedakan menjadi tiga macam, yaitu 100 cm x 60 cm, 200 cm x 60 cm, dan 200 cm x 100 cm. Ketiga elemen tersebut yang masing-masing sisi dibatasi oleh balok kayu berdimensi 2 cm x 1 cm sebagai pengaku pola grid, dipasangkan secara acak menyebar pada area seluas 112.2 m2 (12 m x 9.35 m). Terdapat beberapa proses penghalusan pola lantai semen tersebut, diantaranya adalah mengaci plesteran lantai tersebut dengan alat acian dari kayu dan logam. Bagaimana teknik penghalusan tersebut? Pertama, setelah semen-semen dituangkan pada lantai, semen tersebut langsung diratakan dengan menggunakan alat aci dari kayu tersebut. Kondisi tersebut diselangi hingga keadaan setengah kering. Setelah itu, lantai semen tersebut diaci kembali dengan alat acian kayu tersebut. Kemudian, bagaimana pula cara membenamkan rangka kayu yang difungsikan sebagai pengaku grid antarruas bidang? Tentu saja, dalam kondisi setengah kering, semen tersebut dicoak hingga cukup membenamkan jasad kayu tersebut. Setelah permukaan dirasa telah datar kembali, masing-masing tepi frame kayu tersebut diisi kembali dengan semen hingga semua permukaan bidang lantai benar-benar rata.
 Revisi Pola Desain Lantai Terakhir
 Proses Pengukuran dan Pembagian Grid
Selanjutnya...Pertarungan Demi Pertarungan
Tampaknya, masalah pola lantai terselesaikan dengan cantiknya (Setidaknya untuk saat ini saja karena penulis tidak dapat memprediksi kejadian-kejadian pada masa yang akan datang, mengingat penulis bukan lah seorang peramal ataupun ahli metafisika!-red). Kontan saja, sang arsitek kembali membahas perkembangan tentang desain bangku.
Alur cerita kita kembalikan pada kejadian setelah penulis dan sang arsitek berseteru hebat mengenai masalah pola lantai. “Dot, lalu, bagaimana dengan desain kursinya? Kok, kalau aku liat desain yang kemarin kalian kirim ke aku, memang kalian buat pola permukaan duduknya tidak rata ya? Soalnya, bila desain diterapkan, mungkin akan mengurangi kenyamanan penggunanya”, hardik Errik. “Iya, Rik, kita buat kayak gitu juga sudah dihitung dengan standar kenyamanan untuk setiap pelaku kok. Jadi, walaupun pola-pola tersebut berbeda, setiap pelaku akan tetap terjamin merasa nyaman karena standar kenyamanan untuk satu orang, kita buat 40 cm x 40 cm dan 45 cm x 45 cm”, timpal penulis. “Iya, lalu bagaimana bila orang yang semisal hendak beristirahat disana, kemudian menggunakan bangku-bangku tersebut sebagai tempat tidur mereka? Pasti mustahil kan? Bisa dibayangkan bila orang tidur pada permukaan bangku yang tidak rata tersebut, sangat tidak nyaman sekali tentunya”, bantah Errik. Karuan saja, penulis bagaikan dicambuk dengan duri yang dilumuri oleh anggur asam.
Penulis sempat terhenyak untuk beberapa saat, merenungkan sedikit, apakah memang memungkinkan bila lokasi tersebut dapat digunakan sebagai tempat untuk beristirahat (Maksudnya adalah tidur-red). “O...kita sih berpikir bahwa ruang tersebut memiliki cakupan aktivitas yang sangat terbatas, yaitu hanya sebagai tempat bersantai, berdiskusi, atau hal-hal lain yang bersifat ringan”, alibi penulis. “Nah itu, dia, semuanya harus terjadi dalam ruang tersebut, tidak hanya untuk aktivitas ngobrol, santai, diskusi saja, dong. Kita juga bisa menggunakan tempat tersebut sebagai tempat tidur”. “Oke, Rik, kasih aku waktu dulu untuk menganalisis ulang semuanya, soalnya aku juga harus mendiskusikan semuanya ini sama rekanku juga”, balas penulis. “Ya, ya, tinggal atur saja bagaimana baiknya. Sebenarnya sih kalau menurutku, ide desain bangku yang kalian buat itu cukup baik, Cuma masalahnya memang terletak pada permukaan tempat duduknya. Baiklah, saya tunggu kabar selanjutnya dari kalian ya”, timpal Errik seraya mengakhiri pembicaraan melalui ponsel tersebut.
Revisi Desain Bangku Terakhir
Rahasia “Rasa”
Karuan saja, keheningan malam segera terkoyak. Penulis segera menghubungi salah satu rekannya dalam keadaan sedikit panik yang intinya adalah mengubah desain-desain kembali. Tak pelak lagi, seperti halnya ekspresi penulis ketika berkomunikasi dengan sang arsitek, kepanikan pun meluputi suara rekannya tersebut.
Sebenarnya, segala sesuatu akan indah dan menyenangkan bila didasarkan oleh rasa. Makanan akan hambar tanpa adanya rasa. Pekerjaan akan terasa hampa bila tidak didasarkan pada rasa kecintaan oleh pelakunya. Begitu halnya dalam membuat suatu keputusan yang dapat dianggap matang oleh semua pihak. Rasa sendiri akan tercipta ketika kita (Dalam kasus ini sebagai calon arsitek yang berbudi luhur pada masa depan-red) melatih serta menggunakannya secara tepat. Hal ini cukup sulit mengingat rasa yang terbentuk pada masing-masing individu pastinya berbeda-beda.
Untuk itu, perlu adanya segudang informasi tentang rasa yang dimiliki oleh para arsitek-arsitek yang manusiawi. Namun, rasa sendiri tidak dapat diukur dengan ilmu eksak karena ini menyangkut hubungan kemanusiawian seseorang. Intinya adalah bagaimana rasa tersebut dapat ditermia oleh semua pihak, tanpa menguntungkan beberapa pihak tertentu atau bahkan merugikan pihak-pihak lainnya. Selamat menemukan rasa yang sesungguhnya (Termasuk penulis tentunya!-red).

Mungkinkah Kesempurnaan Itu?
Pernyataan lazim yang kerap kita simak adalah bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Kita semua sepakat bahwa semua manusia yang tidak sempurna tersebut berusaha untuk saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya. Manusia boleh saja memiliki target dalam hidupnya. Lantas, apakah target yang diinginkan manusia tersebut harus selalu tercapai dengan sempurna? Penulis secara pribadi belum dapat menjawab pernyataan tersebut. Tak pelak lagi, penulis pun merasa bahwa walaupun suatu target telah tercapai, belum tentu pencapaian tersebut merupakan hasil akhir yang patut dipertahankan selamanya. Mengingat bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna diantara ciptaanNya yang lain, bahwa rasa tida puas pada dirinya selalu membuat manusia berambisi tanpa henti.
Bila hal tersebut dispesifikasikan pada satu kajian, anggap saja pada proyek ini, maka akan terlihat jelas pula banyak sekali kesempurnaan yang jauh dari harapan, baik harapan penulis maupun sang arsitek (Ingat, jangan diterjemahkan secara harafiah ya!-red). Artinya bahwa target-target pencapaian yang semula ditetapkan dalam waktu dua minggu, harus diselesaikan jauh lebih lama. Apakah penyebabnya? Mungkinkah karena banyaknya revisi-revisi yang kerap dilakukan? Jawabannya adalah mungkin saja. Sekarang, kita belajar menganalisis lebih tajam lagi. Bayangkan bila proyek ini dijalankan dengan sangat kakunya, harus diselesaikan dalam waktu dua minggu persis. Hasil yang diperoleh pasti sangat kaku. Mungkin secara tertulis, target tercapai seratus persen. Akan tetapi, target yang telah tercapai secara tertulis tersebut dapat menjamin target rasa? Belum tentu, bahkan cenderung gagal dan menyakitkan.

Kekalahan Dibalas Kemenangan
Selama dua hari pula, penulis pun merenungkan apakah semuanya hal yang telah dilalui pada masa-masa terakhir tersebut pantas untuk diacungi jempol. Saya yakin bahwa hampir semua pembaca pasti akan sependapat dengan penulis, akan bersama-sama menjawab masih terlalu jauh. Termasuk halnya di dalam hidup ini, pembaca pun pasti berpikir bahwa setiap kekalahan maupun kegagalan itu merupakan langkah awal menuju kemenangan serta keberhasilan. Parahnya, sebagian atau bahkan hampir semua dari kita sebagai manusia terlalu cepat mengambil keputusan untuk berhenti pada tahap kelam tersebut. Awalnya, terus terang saja, perasaan akan letih, jenuh, kacau, dan kesal seakan menjadi satu membelah jiwa penulis.
Tak dapat dipungkiri lagi, waktu sangatlah menentukan suatu proses. Waktu juga lah yang membuat segala sesuatunya menjadi lebih matang, terutama mengubah suatu kekalahan berbalik menjadi suatu kemenangan. Jujur saja, penulis yang suah memiliki ‘antibodi’ proyek ini pun masih sering terserang oleh virus-virus kekalahan yang bersifat mematikan tersebut. Tak heran, banyak kita jumpai bila suatu prinsip yang telah dipegang teguh dengan penuh harap dapat berakhir tragis dalam hitungan detik ketika virus-virus mematikan tersebut menyerang pada kehidupan kita. Pada akhirnya, rasa percaya akan kemampuan diri lah yang membuat penulis selalu eksis dalam setiap aktivitas hidupnya (Penulis selalu berharap demikian!Semangat!-red). Selanjutnya, marilah kita bersama-sama beraksi menuju kemenangan!

Saatnya Beraksi!
Sudah lebih dari enam puluh persen waktu disantap dengan lahapnya oleh proyek ini. Hal ini berarti bahwa bila pekerjaan dilakukan selama dua belas hari, berarti bahwa sudah lebih dari seminggu penuh proyek ini telah dijalankan hingga kini. Suasana proyek terlihat lebih kompleks. Serpihan-serpihan kayu berserakan memenuhi koridor penghubung antara lokasi proyek dengan ruang markas. Balok-balok kayu membisu penuh angkuh, menandakan ‘mereka’ telah siap untuk ditimang diantara tarian-tarian keji para pekerja. Balutan sinar matahari nan menembus sukma masih terasa karena penutup atap berbahan PVC belum mengorbankan diri mereka sebagai tameng. Namun, mengingat waktu tidak cukup ramah untuk berkompromi, para pekerja seperti biasa membagi tugas masing-masing. Sebagai kepala pekerja, Pak Imron sendiri selalu dengan tangkas menangani penghalusan tekstur kayu. Dua orang lainnya yang masing-masing dengan lincahnya menata bata sembari yang lainnya mengaduk adonan semen. Tampak yang lainnya menyembunyikan duka terhadap tindihan balok-balok kayu tersebut pada raga mereka sembari berkongkow. Sungguh suasana yang kompleks namun bersahabat. 
Proses Penyambungan Balok Reng Secara Rapi
Proses Awal Pengecoran Dasar Kolom
Suasana Lokasi Proyek Yang Belum Sempurna
Hikmah Bagi Para Pekerja
Sekarang, marilah kita bersama-sama melihat pandangan proyek ini dari para pekerja. Tidak mengherankan, proyek ini terbilang cukup kompleks (Beberapa pembaca akan membaca kata kompleks ini sebagai sebutan ‘sulit’-red). Pasalnya, ini merupakan kali pertama para pekerja diawasi secara penuh oleh pengawas lapangan sejak sang arsitek melanglang buana di negeri dewata. Tak pelak, sebagai pengawas yang bertugas mengkoneksi antara pihak arsitek dan pihak pekerja, penulis harus mampu mengawasi secara jeli tindak tanduk mereka. Menurut sang arsitek sendiri, para pekerja selama ini selalu mengerjakan konsep desain yang bertentangan dengan konsep dasarnya (Menurut sang arsitek, semua ini merupakan ulah dari ibunya yang tercinta-red).
Kecewa pasti, bahkan tanpa pikir panjang, para pekerja ini dengan senang hati menikmati kemudahan (Kemudahan; karena perintah yang dicanangkan oleh ibunya yang tercinta selalu memudahkan teknik pengerjaan para pekerja-red) yang diberikan oleh ibu sang arsitek tersebut. Dengan modal pengalaman seperti inilah duka yang mendalam begitu berkecamuk pada jiwa sang arsitek. Angin segar serasa menyebarkan kesejukan. Tampak seakan-akan roda telah berputar hampir seratus delapan puluh derajat. Pasalnya, kedudukan sang arsitek kini berada di atas, sedangkan para pekerja berada di bawahnya. Kepercayaan diri sang arsitek kembali, perlahan tapi pasti.
Lantas, bagaimana kenyataan ini dapat disikapi oleh para pekerja? Harus diakui, dapat dikatakan mereka semua bagaikan terhantam ombak tsunami. Banyak target-target yang harus dipenuhi oleh para pekerja. Sebut saja, ketika setiap batang kayu harus diperhalus kembali dan bidang lantai semen yang harus diaci sedemikian halusnya. Mungkin dari pihak perancang sangat sederhana, tetapi bagi para pekerja, tentunya sangatlah menyiksa. Pak Imron sendiri dengan terang-terangan mengeluh dengan sopan bahwa semua bisa dilakukan, walaupun akan menghabiskan banyak waktu untuk pengerjaan kali ini. Terlebih pola lantai yang tidak beraturan membutuhkan waktu pengukuran yang lebih lama oleh mereka.
Namun, dengan seluruh keyakinan bahwa segala sesuatunya dapat berjalan dengan harmonis, mereka pun belajar untuk bekerja lebih hati-hati. Sembari proses terus berbunga, penulis pun yakin bahwa sisa waktu proyek ini dapat menghasilkan pekerjaan yang sudah mempertimbangkan pengolahan rasa.
Tantangan Berikutnya: Ayo Lebih Hemat!
Tampak masalah desain bangku terpecahkan dengan baik layaknya desain pola lantai. Sekilas memang semuanya terlihat baik-baik saja. Namun, usaha untuk memanfaatkan material bekas tampaknya kurang berpihak pada proyek kali ini. Ironisnya, sang arsitek harus mampu menghadapi kenyataan, dalam arti memilih prioritas. Apakah itu? Ya, prioritas untuk memilih diantara mengutamakan rasa atau harus memanfaatkan material bekas. Pada revisi sebelumnya, penulis sudah berusaha mengutamakan pemanfaatan material bekas sebagai salah satu bahan utama pembuatan desain bangku. Namun, sangat disayangkan bahwa keputusan desain bangku terakhir yang lebih menitikberatkan pada pengolahan rasa harus mengabaikan pemanfaatan material bekas tersebut. Pasalnya, faktor dimensilah sebagai dalang utama pemisahan kedua prinsip tersebut (Mungkin dalam kasus-kasus proyek lain yang hampir serupa justru keduanya dapat berjalan beriringan-red). Selisih ketinggian satu sentimeter serasa cukup mengganggu kenyaman bagi pengguna bangku tersebut (Khususnya bila digunakan sebagai tempat untuk tidur-red). Jadi, pada desain baru, semua balok kayu yang digunakan memiliki ketinggian yang serupa, yaitu 3 cm, 1 cm lebih tinggi dari material sisa tersebut. Penulis tetap berharap bahwa material tersebut tetap dapat difungsikan secara layak. Entah pada proyek ini maupun pada proyek lainnya (Mungkin akan dibahas lebih detail pada bacaan hari berikutnya-red).
Selain itu, bila dilihat secara motif, tampak beberapa bagian pun berubah. Bila dilihat tampak atas, sangat jelas sekali pola anyaman tak beraturan mendominasi. Namun, konsep berselang seling antara bidang yang rapat dengan bidang yang renggang tetap dipertahankan. Konsep ini menggunakan dua buah balok (tanpa papan) berdimensi 10 cm x 3 cm dan 5 cm x 3 cm. Memang, harus diakui bahwa desain yang dihasilkan tetap memiliki kualitas yang serupa (Serupa tetapi tak sama-red) karena memiliki pola serta irama terbuka dan tertutup.
Pada akhirnya, tantangan demi tantangan selalu menghiasi proyek ini. Semakin banyak perubahan justru akan semakin banyak pula menghasilkan proses berpikir secara kreatif. Lelah pasti, baik secara fisik maupun secara psikologis. Satu hal yang pasti bahwa semuanya dapat berjalan dengan lancar berkat keuletan dan bertahan! Gracias!
 =====================================================



Tidak ada komentar:

Posting Komentar